Home » News » Menanggapi Krisis Iklim, Inisiatif Perempuan Kerap Diabaikan

Menanggapi Krisis Iklim, Inisiatif Perempuan Kerap Diabaikan

Ryen Meikendi

News

Menanggapi Krisis Iklim, Inisiatif Perempuan Kerap Diabaikan

Bincangperempuan.com- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat terjadi peningkatan bencana alam di Indonesia sebesar dua kali lipat sejak beberapa tahun terakhir. Krisis ini dipahami berdampak lebih besar.

Sejumlah data baik di tingkat global maupun di tingkat nasional menunjukkan bahwa ketika terjadi krisis iklim, perempuan mendapatkan dampak yang tidak proporsional. Hal ini tentu disebabkan adanya struktur-struktur budaya, ekonomi, politik, hukum dan lainnya yang memang sejak awal sudah timpang atau bias terhadap perempuan.

Data yang dipaparkan oleh Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) 2021, menyatakan bahwa pemanasan global dan cuaca ekstrem membuat tercerabutnya hak dasar manusia.

Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu mengatakan, dalam konteks feminisme situasi ini juga berkontribusi pada peningkatan angka kelaparan dunia, malnutrisi, paparan penyakit, hilangnya tempat tinggal yang layak, perpindahan, hilangnya mata pencarian secara permanen, serta berbagai persoalan lainnya yang memberi dampak secara tidak proporsional bagi kelompok perempuan.

Peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, UGM, Yogi Paramhita Dewi turut menambahkan. Berkaitan dengan krisis iklim, ada banyak tawaran solusi tergantung dari bagaimana cara kita melihat akar masalahnya. Hanya saja perspektif feminis dalam melihat isu lingkungan atau krisis iklim ini adalah dengan melihat struktur ekonomi politik, di mana masih ada relasi kuasa yang timpang.

“Jadi sebenarnya pendekatan feminis dalam melihat isu lingkungan ini, solusi yang ditawarkan adalah  mentransformasikan relasi kuasa yang timpang itu sendiri. Agar ke depannya solusi yang ditawarkan bersifat tidak parsial,” katanya.

Enviromental Culture sebagai Respons Krisis Iklim

“Kesadaran ekologis, kita sadari hanya dapat terwujud jika kita menghilangkan hierarki manusia dengan alam. Menjadikan manusia sebagai bagian dari ekosistem, sehingga kita dapat menghadirkan sebuah budaya yang lebih penuh kepedulian lewat enviromental culture.” Departemen Filsafat FIB Universitas Indonesia, Ikhaputri Widiantini.

Aby Gina Boang Manalu, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan

Ikha mengatakan, kesempatan bagi perempuan berpartisipasi dalam upaya mengatasi perubahan iklim masih perlu dipertanyakan. Selama ini inisiatif perempuan hanya dianggap keputusan sekali lewat, bukan keputusan penting. Padahal jika diperhatikan dari tulisan-tulisan artikel di dalam Jurnal Perempuan Edisi 113, justru dengan inisiatif perempuan juga kita bisa melihat bagaimana kesinambungan antara manusia dengan alam.

Adanya kerentanan-kerentanan yang muncul, kemudian menunjukkan terdapat pola penindasan perempuan yang beriringan dengan pola penindasan lingkungan harusnya dipahami bahwa feminisme juga melihat krisis iklim ini akan berdampak secara interfeksional dengan berbagai kategori sosial.

Berdasarkan data UN Enviroment dalam OHCHR, bahwa 80% orang yang terlantar karena perubahan iklim adalah perempuan. Artinya, terdapat situasi yang sangat timpang dan  sangat diskriminatif secara kultural dan struktural dalam masyarakat. Sehingga perempuan disingkirkan dari akses informasi, pendidikan dam ekslusif dari ruang publik. Hal ini membuat perempuan menjadi sulit untuk berpartisipasi dan mengamalkan inisiatif langsung ketika menanggapi bencana krisis iklim.

Baca juga: Perempuan Generasi Z: Antara Dorongan dan Beban Ganda

Padahal untuk tidak menempatkan hierarki pemikiran, hierarki posisi secara tradisional, maka inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh perempuan mestinya dianggap sebagai bentuk perhatian perempuan terhadap lingkungan mereka. Selain itu tentunya sebagai pembelajaran di ruang publik, bukan sekadar untuk kepentingan individual saja.

Serupa disampaikan Country Program Manager Australian Volunteers Program, Indah Susanti, turut menambahkan bahwa inisiatif kolektif yang umumnya dilakukan oleh perempuan mestinya dipandang bukan sebagai keterpaksaan. Jika diperhatikan melalui pendekatan ekologi feminis, inisiatif perempuan justru sebagai gaung suara untuk membuat suatu transformasi ketika berbicara krisis iklim serta bentuk solidaritas yang sangat penuh kepedulian akan ekosistem.

Seorang pemikir dari Australia, Val Plumwood (1939-2008), menawarkan konsep budaya lingkungan (enviroment culture) sebagai respons atas krisis lingkungan. Plumwood melihat adanya perkembangan teknologi yang seakan-akan membantu manusia. Padahal sebenarnya ketika manusia kemudian mengambil keputusan untuk mengembangkan teknologi, dampak yang terjadi pada lingkungan tidak mereka pertimbangkan.

Baca juga: Khatijah dan Kartini, Perempuan yang Luput dari Cerita Konservasi – Bincang Perempuan

Menurut Plamwood, cara seseorang merespons lingkungan ketika melihat krisis lingkungan (termasuk perubahan iklim) akan menentukan kadar penghargaan terhadap kehidupan sekitar. Membuat dualisme bahwa manusia lebih tinggi derajatnya dari yang bukan manusia (alam sekitar, hewan, lingkungan ekosistem) artinya seseorang itu tidak memiliki penghargaan sama sekali pada lingkungan. Perubahan cara pandang nalar di sini sangat diperlukan. Manusia harusnya tidak lagi terjebak pada antroposentrisme yang justru dapat mencemari nalar manusia itu sendiri.

Anggapan bahwa buang sampah sembarangan bukanlah sesuatu yang perlu dipersoalkan, bentuk mencemari nalar emosi dan keterikatan manusia terhadap lingkungan. Rasionalitas yang dibangga-banggakan manusia seharusnya tidak digunakan untuk mendominasi, tetapi justru dapat dimanfaatkan untuk membuat suatu pembebasan yaitu dengan cara mendekati diri pada kehidupan.

Manusia bisa mulai mendengarkan dan berbagi pengetahuan dengan yang lain. Kemudian, memberikan akses kepada mereka untuk mengisahkan pengalaman mereka, sebagai cara dalam berbagi dan juga saling mendengarkan. Dengan ini, maka akan muncullah inisiatif yang tidak mendominasi. Barulah kemudian aspek ekologis untuk bertanggung jawab dapat dilibatkan.

Upaya dalam Mencapai Enviromental Culture

Menurut Ikha, pengembangan kebijakan lokal dan nasional dalam menanggapi perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial, menjadikan buah pemikiran dan aksi perempuan memang seharusnya layak untuk mendapatkan apresiasi. Tidak hanya membuat perubahan secara individual tetapi juga secara kolektif, menunjukkan adanya integritas, pola demokrasi dan respons etis yang tidak mereduksi kehadiran bukan manusia yaitu alam. Kemudian adanya refleksi dan dialog membuat intensionalitas penuh dengan penghormatan. Keberhasilan dalam mengangkat sebuah kultur baru yaitu enviromental culture (budaya lingkungan) membuat manusia tidak lagi terjebak pada pola pikir hierarkis (memandang bahwa manusia itu lebih tinggi dari alam).

Beberapa aksi perempuan dalam menanggapi perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial yang ada diantaranya :

Kelompok muda Bye-bye Plastik (Melati dan Isabel Wijsen)

Gerakan Bye-bye Plastik (2013) yang melibatkan perempuan disabilation, 4 tahun terakhir berhasil mengajak 57.500 orang di 430 lokasi untuk mencegah 115 ton plastik yang dapat mencemari laut. Kegelisahan terhadap banyaknya sampah serta kekhawatiran akan sampah plastik yang dapat mencemari laut, membuat mereka berinisiatif melakukan tindakan-tindakan kecil yaitu mengumpulkan sampah plastik di beberapa titik lokasi, terutama di Bali (sebanyak 65 ton sampah plastik berhasil dikumpulkan). Pada 2018 mereka membuat petisi (1000 tanda tangan) yang kemudian melibatkan 20 ribu relawan, pengusaha setempat serta pemerintah. Gerakan Bye-bye Plastik ini juga mendapatkan atensi global dari pemerintah setempat, kemudian dinobatkan sebagai remaja paling berpengaruh versi Majalah Time.

Baca juga: Karina Audia Pitaloka, Perempuan dengan Profesi Kameramen

Rubama (Yayasan HAKA) Hutan Alam dan Lingkungan dari Aceh

Iniasiatif yang dilakukan yaitu melakukan sharing informasi tentang pengelolaan sampah plastik dan membuat Gampong Nusa menjadi wisata alam dan budaya. Kepedulian terhadap lingkungan hutan Aceh membuat mereka kemudian melakukan pendampingan laut pangan dengan mengajak para tokoh masyarakat untuk berdialog, sehingga dapat memetakan kebutuhan-kebutuhan perempuan desa. Perempuan tidak hanya dilibatkan dalam pengelolaan limbah plastik secara mandiri dan membuat pembangunan pengelolaan potensi desa, tetapi juga dilibatkan dalam rapat kegiatan desa untuk memperkuat pengelolaan dan pemberdayaan hutan serta mengambil kebijakan.

Baca juga: Santy Mery Melinda, Perempuan dengan Profesi Bidang Pertambangan

Masnuah (Perempuan Nelayan)

Adanya perubahan iklim yang membuat perempuan semakin rentan, menggerakkan Masnuah untuk membentuk komunitas Puspita Bahari yang berperan dalam mengantisipasi perempuan nelayan dengan pendidikan dan advokasi berupa pelatihan pengolahan hasil laut, membangun pusat pengolahan ikan, memberikan sembako serta menggalang kesadaran masyarakat terhadap pantai yang tenggelam.

Baca juga: Maryana, Perempuan Nelayan Gurita Mendobrak Stigma

Aisyah (Bank Sampah NTB)

Aisyah membuat kampanye pengelolaan sampah yang melibatkan perempuan-perempuan, kelompok disabilitas dan pengrajin sampah untuk membentuk Bank Sampah NTB Mandiri dan Kampung Wisata Sampah agar sampah yang terkumpul menjadi produk nilai jual. Awalnya dalam skala kecil tapi kemudian bisa menghubungkan LSM Swasta dam pemerintah.

Baca juga: Yulia Suparti: Dari Sampah Ingin Menyelamatkan Dunia

Westiani Agustin (Gerakan Penggunaan Pembalut Kain)

Westiani membuat kelompok bernama Biyung dengan slogan “Perempuan Bantu Perempuan”. Mereka kemudian menciptakan dan menggerakkan penggunaan pembalut kain yang juga berkolaborasi dengan beberapa lembaga seperti Perkumpulan Samsara dan dan Komunitas Perempuan Bumi. Biyung juga melakukan pendampingan-pendampingan kepada kelompok perempuan di Jambi dan Papua, sejumlah komunitas disabilitas di Jogja, Sukoharjo, Jakarta dan Jambi untuk membuat pembalut kain.

Baca juga: Neliwati Dalimo, Lestarikan Kuliner Khas Bengkulu

Yuktiasih Proborini (Pegiat Lingkungan, Aktivis Penyandang Disabilitas)

Budidaya magot untuk daur ulang sampah dan pembuatan masker kain yang melibatkan kelompok disabilitas rungu digencarkan, dalam rangka mendorong para perempuan disabilitas untuk bisa berbisnis. (Ryen Meikendi/eL)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, krisis iklim, Lingkungan, perempuan dan iklim

Artikel Lainnya

WAIPA 2024: Perempuan ASEAN, Kekuatan Politik yang Tangguh dan Terhubung

Misogini dan Bagaimana Cara Melawannya

Sistem Matrilineal Pewarisan Budaya yang Unik

Sistem Matrilineal: Pewarisan Budaya yang Unik

2 Comments

  1. Sebenarnya perempuan juga sangat berperan dalam perubahan nya iklim ,terkadang perempuan hanya di kandang sebelah mata

    Reply
  2. Sebenarnya perempuan juga sangat berperan dalam perubahan nya iklim ,terkadang perempuan hanya di pandang sebelah mata

    Reply

Leave a Comment