Home » Isu » Kesetaraan Gender » Patriarki di Partai Politik, Sulitnya Perempuan Jadi Politisi

Patriarki di Partai Politik, Sulitnya Perempuan Jadi Politisi

“Ketika politisi perempuan berdebat, yang disorot itu bukan apa yang ia bicarakan, tapi apa yang dia kenakan, pakaiannya, gaya dandannya,” tutur Tsamara Amany.

bincangperempuan.com- Selama berabad-abad, budaya patriarki mengunci akses perempuan ke ranah publik, khususnya dalam posisi-posisi strategis seperti politik. Keterlibatan perempuan dalam proses politik merupakan elemen kunci dalam mencapai demokrasi yang inklusif bagi semua pihak. Dengan demikian, perempuan harus memiliki suara, kesempatan, hak untuk berpartisipasi intens dalam pengambilan kebijakan publik.

Berbagai riset sosial menunjukkan pentingnya partisipasi politik perempuan pada isu-isu penting seperti perubahan iklim, keadilan rasial, kesetaraan gender, serta pembangunan berkelanjutan. Perempuan merupakan pendukung kuat kebijakan kolaborasi dan akuntabilitas antar generasi menuju dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan setara. Sayangnya, hingga saat ini data menunjukkan bahwa suara perempuan masih kurang terwakilkan di setiap tingkat pengambilan keputusan di seluruh dunia.

Data UN Women per 1 Januari 2023 menunjukkan dari 195 negara di dunia, hanya 17 negara yang memiliki Kepala Negara perempuan, hanya 9 negara yang memiliki Kepala Pemerintahan perempuan, dan hanya 14 negara yang mencapai 50% atau lebih jumlah perempuan dalam kabinet. Artinya, 90% posisi pengambilan kebijakan tertinggi di negara-negara di dunia didominasi laki-laki. Dengan kondisi ini, kesetaraan gender di dunia politik mungkin baru dapat tercapai 130 tahun lagi. 

Kendati berjalan dengan sangat lambat, tingkat keterwakilan perempuan di parlemen nasional secara global mengalami peningkatan  bertahanp, dari 15% pada tahun 2002 menjadi 19,8% pada tahun 2012. Pertanyaannya, mengapa angka partisipasi perempuan di dunia politik hingga saat ini masih sangat rendah?

Nasib Perempuan Berpolitik, Sekedar Untuk Penuhi Kuota?

Sejarah mencatat betapa sulitnya hak pilih (voting rights) untuk perempuan didapatkan. Pemilu pertama di dunia diselenggarakan di Athena, Yunani pada 508-507 SM. Saat itu, perempuan dikecualikan dari pemilihan umum karena otak perempuan dianggap tidak memiliki nalar yang sempurna untuk menentukan pilihan politik. Bahkan di negara yang dianggap paling demokratis sekalipun, di Amerika Serikat, perempuan baru mendapatkan hak pilihnya setelah 144 tahun Amerika merdeka.

Hingga akhirnya pada tahun 1952, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Politik Perempuan menetapkan bahwa “perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa diskriminasi apa pun.” Oleh karena itu, tidak heran mengapa hingga saat ini partisipasi politik perempuan masih minim. Jangankan untuk mencalonkan diri, untuk mendapatkan hak memilih saja, perlu lebih dari seratus tahun perjuangan.

Di Indonesia sendiri, hak pilih perempuan sudah diberikan sejak pemilu pertama tahun 1955. Hasil rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan Indonesia pada pemilihan umum tahun 2019 lebih banyak dari laki-laki. Dari total 187 juta pemilih, 92,9 juta pemilih tersebut adalah perempuan. Namun, jumlah pemilih perempuan yang banyak ini tidak diimbangi dengan jumlah perwakilan politik yang proporsional.

Upaya tindakan afirmasi (affirmative action) untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan di Indonesia sudah didorong sejak tahun 2003 dengan lahirnya berbagai aturan hukum yang mendorong kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di dalam organisasi sosial politik dan badan perumusan kebijakan, mulai dari menjamin persamaan hak memilih dan dipilih hingga menempati posisi jabatan birokrasi. Selain aturan pemberlakukan kuota pencalonan perempuan minimal 30% pada setiap partai politik, diterapkan pula “zipper system” yang mengatur agar dalam setiap tiga bakal calon di badan legislatif atau eksekutif, ada sekurangnya satu orang perempuan yang mendapatkan nomor urut jadi, yaitu pada tiga nomor urut pertama, tidak di bawah nomor urut tersebut. Kendati demikian, aturan-aturan ini belum dapat menjadi jaminan keterwakilan politik perempuan.

Hal ini dikonfirmasi oleh Ikhaputri Widiantini, Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) sekaligus akademisi feminis Jurnal Perempuan yang akrab disapa Upi. Upi mengatakan bahwa berbagai aturan hukum yang dibuat itu belum tentu akan menambah jumlah perempuan atau menambah jumlah kebijakan pro-perempuan.

“Indonesia memang memiliki berbagai kebijakan afirmasi seperti kuota 30% untuk perempuan, tapi kadang-kadang orang-orang merasa cukup dengan kebijakan afirmasi saja. Padahal kenyataannya, banyak partai-partai mencalonkan perempuan hanya untuk memenuhi persyaratan administratif. Jadinya tokenisme, yang penting ada perempuannya,” ujar Upi.

Oke, ada partisipasi, tapi apakah opini atau suara perempuan di dalamnya dipertimbangkan?” tanya Upi.

Tsamara Amany, politikus perempuan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua DPP PSI selama 2017-2022 melontarkan hal senada. Berdasarkan pengalamannya, Tsamara melihat sistem dan kultur partai di Indonesia masih sangat maskulin, sehingga ajakan untuk masuk ke dunia politik terhadap perempuan tampak sebatas basa-basi saja.

“Apakah perempuan-perempuan ini akan terpilih atau tidak, seperti bagaimana kaderisasinya, kampanye, distribusi pembiayaannya, itu semua ngga dipikirkan –oleh partainya. (Sekadar-red) ‘eh, ada saudara perempuan, ngga? suruh nyaleg’ untuk memenuhi kuota,” ujar Tsamara kepada reporter Bincang Perempuan pada hari Rabu (15/03).

Dengan modal politik yang minim, hanya sedikit dari perempuan-perempuan ini yang bisa bertarung dan menang dalam politik formal. “Akhirnya cuma sedikit dari perempuan-perempuan ini yang punya kemampuan bertarung melawan politisi-politisi yang lebih handal dan senior,” tambah Tsamara.

Mengekor ironinya, Tsamara menegaskan bahwa belum banyak partai yang berinisiatif dalam melakukan pemberdayaan serius terhadap anggota-anggota perempuannya.

“Harus diakui, bahwa saat ini belum banyak partai di Indonesia yang serius dalam melakukan kaderisasi terhadap anggota-anggota perempuannya,” terang Tsamara.

Budaya Patriarki Masyarakat Hambat Hak Politik Perempuan

“Pertanyaan pertama yang diajukan publik kepada perempuan yang maju jadi politisi bukan rekam jejak politiknya, tapi udah bener belum rumah tangganya? Yang ditanya justru urusan domestiknya dulu,” tutur Tsamara.

Pengalaman miris Tsamara ini bukan sekedar kejadian personal, namun menjadi fenomena yang seringkali menimpa politisi perempuan. Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2018 menunjukkan iklim patriarkis dalam perpolitikan Indonesia menghambat kesempatan mereka untuk menang. Stigma misoginis bahwa perempuan tidak cocok memimpin masih kental bertahan dalam kultur politik, baik di Indonesia maupun di tingkat global. Sejak zaman Yunani Kuno di Athena, pemikiran bahwa dunia politik yang ‘kotor’ tidak cocok dengan karakter feminim perempuan. Alhasil, ketika mencalonkan diri, perempuan seringkali diragukan dan diremehkan kemampuannya.

Jika perempuan di posisi strategis menunjukkan sifat yang lembut, maka disebut tidak cocok untuk memimpin karena terlalu emosional. Sementara jika dia menunjukkan sisi asertifnya, Ia akan menerima cemoohan sebagai terlalu bossy. Dengan demikian, pemimpin perempuan pun berada di posisi double bind atau apa saja yang dilakukannya adalah salah. Tidak hanya diremehkan, jika perempuan tersebut memiliki kapasitas memimpin, tetap publik akan mempertanyakan niatnya karena ia dianggap akan menelantarkan anak dan suaminya. Hingga saat ini, memang tugas domestik masih lebih dibebankan pada perempuan saja.

Oleh karena itu, tidak heran ketika seorang perempuan masuk ke dunia politik, yang disorot publik bukan gagasannya, melainkan ketubuhannya dan urusan rumah tangganya.

“Ada yang menganggapnya konsekuensi berpolitik perempuan, menurut saya itu bukan sesuatu yang perlu dinormalisasi, kalau politisi laki-laki tidak bisa menerima –prinsip kesetaraan-, kenapa politisi perempuan harus dipaksa menerima?,” tegas Tsamara.

Menurut Upi, stereotip-stereotip ini yang perempuan, khususnya perempuan muda enggan berkarir di dunia politik.

“Antusiasime tinggi, kecemasan luar biasa membuat banyak perempuan takut. Ada norma sosial yang terlalu kental yaitu budaya patriarki,” tutur Upi.

Dinasti Politik: Meningkatnya Angka Pemimpin Perempuan Tidak Menjamin Keterwakilan

“Kalau pun ada perempuan, biasanya perempuan tersebut memang bagian dari keluarga politik, akibatnya perempuan yang lahir bukan dari keluarga politik, sulit menembus pagar tersebut,” tutur Tsamara.

Di tingkat nasional, sepanjang sejarah, Indonesia hanya sekali dipimpin oleh presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri. Namun, Megawati sendiri menjadi presiden bukan karena terpilih melalu pemilihan umum (pemilu) langsung, melainkan karena Presiden Gus Dur mundur dari jabatannya sehingga Megawati yang saat itu memegang jabatan sebagai Wakil Presiden menggantikan kursinya.  Megawati pernah dua kali mencalonkan diri sebagai presiden yaitu pada pemilu 2004 dan 2009. Meski PDI Perjuangan saat itu mendapat suara cukup banyak, Megawati tetap tidak berhasil memenangi pemilu. Alasan kekalahan Mega memang tidak dapat disederhanakan, namun keperempuanannya menjadi salah satu faktor yang dikampanyekan rival politiknya untuk menolak pencalonan Mega sebagai presiden.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah salah satu yang menolak calon presiden wanita kala itu dengan menggunakan hukum agama Islam sebagai pembenarannya. Hal ini juga dialami oleh Khofifah Indar Parawansa saat mencalonkan diri sebagai gubernur di Jawa Timur. Meski Khofifah dikenal sebagai pemimpin organisasi perempuan Nahdlatul Ulama, Muslimat, hal itu tak menghentikan kampanye penolakan pencalonan Khofifah dengan dasar haramnya pemimpin wanita.

Sementara di tingkat legislatif, terdapat tren peningkatan keterwakilan politik perempuan yang konsisten. Jika pada pemilu tahun 1999 hanya ada 9% perempuan di badan legislatif, pada pemilu tahun 2004 naik menjadi 11,8%. Lalu, pada pemilu tahun 2009 melonjak hingga 17,86%, dan naik lagi pada pemilu 2019 yaitu di 20,52%. Kendati tetap belum mencapai kuota 30% yang didorong lewat Undang-Undang. Angka ini masih jauh lebih kecil dibanding rasio warga perempuan dan laki-laki yang diwakilkannya.

Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga diketuai oleh sosok perempuan, yaitu Puan Maharani. Namun, keberhasilan Megawati dan Puan Maharani sebagai presiden perempuan pertama di dunia politik juga tidak dapat menjadi landasan untuk menganggap bahwa politik Indonesia sudah cukup terbuka dengan politisi perempuan. Terdapat faktor eksternal yang memuluskan kiprah perpolitikan Mega dan Puan, yakni dinasti politik. Sebagai anak dan cucu presiden pertama Indonesia, Megawati dan Puan memiliki modal yang besar, baik dari segi relasi, popularitas, maupun uang. Hal tersebut tidak dimiliki oleh kebanyakan politisi biasa, khususnya perempuan.

Begitu di tingkat nasional, begitu pula di tingkat daerah. Di tingkat daerah, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat partisipasi politik perempuan secara keseluruhan masih kurang. Pada pilkada tahun 2017, kandidat perempuan hanya berjumlah 48 (7,17%). Pada pilkada 2018, kandidat perempuan mengalami sedikit kenaikan menjadi 101 (8,85%). Kemudian, pada tahun 2020 naik menjadi 159 kandidat atau hanya 11% dari total 1.431 kandidat. Meski masih jauh dari angka ideal keterwakilan, namun tren representasi tersebut meningkat.

Memang, sejak era 200-an sudah mulai bermunculan pemimpin-pemimpin daerah perempuan. Jumlah kepada daerah perempuan pada Pilkada 2017 mencapai 5,35% dari keseluruhan. Meski relatif besar, namun sebagian di antaranya mengandalkan modal dinasti politik. Riset Tirto.id tahun 2017 mendapati hampir 40% dari kepala daerah perempuan di Indonesia memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat lain, baik saat itu maupun di masa sebelumnya. Hubungan kekeluargaannya pun macam-macam. Ada yang menggantikan posisi suami, ada yang mendapat posisi saat bapaknya sedang menjabat, dan lain-lain. Oleh karena itu, memang ada peningkatan kuantitas, namun belum tentu meningkatkan kualitas.

Fakta mirisnya, studi Perludem saat Pilkada 2016 menunjukkan hanya 37% dari pemimpin perempuan terpilih yang melontarkan visi keberpihakan pada perempuan. Beberapa contoh visi keberpihakan pada perempuan misalnya program spesifik untuk mengurangi angka kematian Ibu melahirkan, memberi bantuan modal untuk usaha bisnis yang dikelola perempuan, mewajibkan pemberian cuti haid dan pemberian fasilitas ibu dan anak di ruang-ruang publik, seperti ruang laktasi dan tempat penitipan anak. Dengan demikian, tidak heran meski DPR RI telah diketuai oleh sosok perempuan, kebijakan pro-perempuan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga tetap harus menunggu lebih dari satu dekade untuk disahkan oleh legislatif. Oleh karena itu, sudah jumlahnya sedikit, belum tentu pula representatif.

Hal ini menunjukkan bahwa hak politik perempuan tetap harus disokong kesetaraan akses dalam hal lain. Tidak hanya kebijakan afirmasi, namun komitmen politik untuk memberdayakan kader perempuan sama seperti kader laki-laki. 

“Saya tidak mau perempuan-perempuan muda, harus mengantri puluhan tahun untuk menduduki kursi-kursi strategsi yang seharusnya bisa mereka dapatkan,” tutur Tsamara.

Dari sisi masyarakat, diperlukan perubahan kesadaran yang masif untuk menghilangkan stigma misoginis terhadap politisi perempuan. Hal ini diperlukan agar perempuan tidak ragu jika ingin bersuara melalui politik. Jika tidak, hanya perempuan dari keluarga yang mempunyai keistimewaan ekonomi, pendidikan, dan nama besar saja yang bisa maju. Karena sejatinya, masyarakat membutuhkan pemimpin perempuan yang mewakili dan memperjuangkan hak-hak perempuan.

“Demokrasi tidak pernah mengecualikan siapapun, termasuk perempuan. Kita butuh institusi yang bisa dipercaya, politisi yang dipercaya –yang dapat mendorong kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan,” tutup Tsamara. (Dian Amalia Ariani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Patriarki

Artikel Lainnya

Marie Antoinette: Bias Patriarki dalam Penghakiman Publik

Perempuan dan Akses Pendidikan yang Setara

Menanti Akses Pendidikan yang Setara

Media berperan mengedukasi masyarakat agar adil gender

Media Berperan Mengedukasi Masyarakat agar Adil Gender

Leave a Comment