Bincangperempuan.com- Sungai berwarna hitam pekat, jembatan gantung, dan rumah-rumah panggung kayu berjejer sepanjang sungai. Begitulah kesan pertama menginjakkan kaki di Desa Sogo Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Sebagian besar masyarakatnya bergantung hidup pada kebun, ladang dan hasil tangkapan ikan. Tapi kehadiran perusahaan sawit mengepung desa dan mengancam kehidupan masyarakatnya. Sejak 2013, masyarakatnya berjuang mengembalikan lahan yang diserobot perusahaan sawit PT Bukit Bintang Sawit.
Susilawati, perempuan 48 tahun ini berjuang di garda depan untuk memperjuangkan nasib lahan Dia anak terakhir dari 10 bersaudara. Dia baru pulang dari merantau saat kasus konflik lahan baru mencuat. Ndo Lati demikian dia dipanggil orang di kampungnya. Ndo berarti mudo atau bungsu. Ndo Lati menghabiskan masa remaja dan dewasanya bekerja dan merantau di luar kampong.
Baca juga: Sulam Benang Emas Kreatifitas Turun Temurun Perempuan Jambi Kota Seberang
Dia sudah puas bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Malaysia menjadi tempat terakhirnya bekerja sebelum memutuskan untuk kembali ke kampong dan menemani ibunya. Ndo Lati tak pernah menyangka, kepulangannya menjadi semangat bagi perjuangan pengembalian lahan yang diserobot perusahaan.
“2005 pulang dari Malaysia, lalu buka warung dak pernah terpikir jugo kalau jadinya sering demo dan pendudukan lahan untuk ambil lahan kami kembali,” katanya.
Bukit Bintang Sawit (PT. BBS) mendapatkan izin lokasi berdasarkan Surat Keputusan No. 507 Tahun 2007 tertanggal 27 September 2007 seluas 1.000 ha di Desa Seponjen Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi, Jambi (SK No. 507 Tahun 2007). Tiga Bulan kemudian PT. BBS mendapatkan izin usaha perkebunan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Muaro Jambi No. 592 Tahun 2007 tertanggal 27 Desember 2007 dengan luas 1.000 ha (SK No. 592 Tahun 2007).
Sementara di Desa Sogo bermula 2007, PT.Bukit Bintang Sawit melakukan aktivitas pembukaan lahan untuk pembangunan jalan, mulai dari Kelurahan Tanjung melewati Desa Sogo, menuju lokasi lahan di Desa Seponjen. Setelah PT. Bukit Bintang Sawit melakukan pembukaan jalan, oknum masyarakat Kelurahan Tanjung mengkapling-kapling lahan di Kelurahan Tanjung, Desa Sogo dan Dusun Pulau Tigo dengan mengatasnamakan kelompok tani kemudian melakukan transaksi.
Pada Tahun 2008 masyarakat melayangkan surat pengaduan ke Polres Muaro Jambi, meskipun ada pelaporan dari masyarakat Kelurahan Tanjung, PT. Bukit Bintang Sawit tetap melakukan aktivitas pembukaan lahan. Di tahun yang sama masyarakat Sogo mencegah aktivitas PT. Bukit Bintang Sawit karena aktivitasnya sudah memasuki wilayah Desa Sogo dan di laporkan ke Polres Muaro Jambi. Aktivitas tersebut dan PT. Bintang Bintang Sawit tidak melakukan sosialisasi dengan masyarakat Desa Sogo. Masyarakat Desa Sogo berkali – kali melakukan pencegahan terhadap aktivitas perusahaan, namun tidak dihiraukan.
Pada Tahun 2008 Tanggal 4 November dan 10 Desember 2008 masyarakat Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung mengadakan pertemuan di aula kantor Camat Kumpeh yang dipimpin oleh Camat Faturahman untuk membicarakan kesepakatan penetapan tapal batas antara Desa Sogo dengan Kelurahan Tanjung. Tahun 2009 PT. Bukit Bintang Sawit terus melakukan aktivitas di lokasi Lahan Desa Sogo, dan Kelurahan Tanjung.
Baca juga: Purwani, Perempuan Pelestari Hutan Larangan di Bengkulu
“Kami mulai mengumpulkan bukti-bukti itu di 2013, dan sudah tidak terhtung lagi mengadu nasib ke Bappeda, DPRD, Bupati Muaro Jambi. Aksi pendudukan lahan selama berhari-hari juga sudah dak terhitung lagi,” katanya.
Ndo Lati menatap jauh ke ujung sungai yang membatasi Desa Sogo dan hiruk pikuk kehidupan luar. (Elviza Diana)
Tulisan ini pertama kali tayang di Ficus.id dengan judul yang sama.