Bincangperempuan.com- Keterhubungan manusia di era global memberikan dampak yang signifikan terhadap pergerakan sosial, salah satunya gerakan perempuan. Dampak positifnya, hal ini memudahkan gerakan sosial untuk membentuk, mengoordinasikan, memobilisasi dukungan, menyebarkan ide dan gagasan serta berkolaborasi lintas gerakan melintasi jarak dan batas teritorial negara. Gerakan perempuan transnasional melibatkan perempuan di berbagai belahan dunia untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, kesetaraan gender, serta melawan kultur patriarki dan kekerasan berbasis gender.
Salah satu aktivisme digital perempuan yang paling terkenal saat ini adalah #MeToo. Berbagai penelitian sosial menyebutkan bahwa Gerakan #MeToo menjadi salah satu badai pendorong yang membantu mengubah pandangan tradisional masyarakat terhadap isu kekerasan seksual. Gerakan #MeToo adalah gerakan yang dipelopori oleh seorang advokat perempuan di New York, Tarana Burke pada tahun 2006 untuk mendukung dan memberikan kekuatan pada penyintas kekerasan seksual bahwa mereka tidak sendiri. Tanda pagar (tagar) ini menjadi ramai pada tahun 2017 setelah aktris Alyssa Milano menulis tweet agar para korban pelecehan dan kekerasan seksual juga membagikan kisah mereka di media sosial.
Sejak saat itu, #MeToo telah di-retweet sebanyak 23 juta kali di 85 negara dan hingga kini orang-orang terus membagikan kisah mereka dengan tagar #MeToo di seluruh platform media sosial. Di tahun-tahun setelah cuitan tersebut viral, ratusan pria berkuasa kehilangan pekerjaan atau posisi mereka setelah korban-korban pelecehan dan kekerasan seksual oleh pria-pria ini membeberkan perbuatan mereka di media sosial. Meski berawal dari Amerika, sekarang #MeToo telah berevolusi menjadi gerakan global dan memengaruhi negara-negara di seluruh dunia yang kemudian menghasilkan tagar baru atau spin-off dalam banyak bahasa. Di Indonesia, tagar #SayaJuga, #KitaAgni, #NamaBaikKampus, dan #PercumaLaporPolisi hadir sebagai kampanye anti kekerasan seksual di era #MeToo.
Meski terdapat pengaruh dari gerakan #MeToo, namun dinamika gerakan anti kekerasan seksual di Indonesia tidak semulus yang berjalan di Amerika dan Eropa, di mana banyak pelaku langsung kehilangan pekerjaan, peran, atau menanggung kerugian sosial dan materil akibat perbuatannya. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang agamis dan normatif, gerakan anti kekerasan seksual mendapatkan jalan yang lebih terjal. Ketika perempuan di negara-negara lain berhasil menjatuhkan para lelaki berkuasa yang melecehkan mereka, di Indonesia, korban pelecehan masih harus berusaha untuk mencari keadilan.
Masih banyak orang Indonesia yang percaya mitos bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi dalam masyarakat beragama atau masyarakat yang memiliki budaya Timur seperti Indonesia. Jika pelecehan seksual terjadi, masih banyak yang menganggap bahwa hal tersebut karena kesalahan korban yang ‘memancing hasrat’ laki-laki sehingga ia pantas mendapatkannya. Kultur patriarki yang kuat membuat sebagian masyarakat menganggap perempuan harus menjadi pribadi yang taat dan menjaga moralitas mereka. Hal ini ditunjukkan dengan memakai pakaian tertutup, berhijab, tidak pulang malam sendiri untuk mencegah nafsu laki-laki.
Tentu saja, asumsi tersebut keliru. Data Komisi Nasional Perempuan (Komnasper) Indonesia, Koalisi Ruang Aman, dan berbagai hasil riset sosial lainnya menunjukkan sebaliknya, bahwa perempuan yang menggunakan hijab (17%), berpakaian longgar dan panjang (47,09%), berpakaian seragam sekolah dan kerja (18,84%) juga menjadi korban pelecehan seksual. Sementara itu, waktu penyerangan paling banyak terjadi di siang hari (35%) dan sore hari (25%), di ruang publik, bahkan tidak jarang pelaku adalah orang-orang terdekat dan dipercaya oleh korban. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual terjadi tanpa memandang agama, hubungan sosial, dan cara berpakaian, karena kekerasan seksual adalah tentang relasi kuasa, bukan ketertarikan.
Stigma buruk ini membuat sebagian besar korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasusnya. Hal ini ditunjukkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dalam risetnya yang menemukan bahwa sebanyak 57,3% korban kekerasan seksual merasa takut, malu, atau bersalah untuk melaporkan kasusnya. Perasaan ini lekat dengan budaya patriarki yang sering menyalahkan korban (victim blaming). Stigma ini juga diamplikasi media dan aparat penegak hukum.
Di media, stigma ini disebarkan lewat reportase-reportase yang –baik tersurat maupun tersirat– menyatakan korban sebagai pengundang hasrat pelaku. Khusus, di tataran penegak hukum seperti kepolisian, banyak korban kekerasan justru disalahkan cara berpakaiannya, disangsikan kesaksiannya, ditanya ‘mengapa tidak melawan?’. Salah satunya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah melontarkan pernyataan kontroversial kepada BBC Indonesia bahwa penyidik perlu menanyakan apakah “korban nyaman atau tidak” saat diperkosa.
Dengan demikian, di Indonesia, kultur patriarki ini tidak hanya mengakar kuat di kalangan masyarakat, tetapi juga sering didukung pemerintah, media misoginis, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang mayoritas laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi dari budaya patriarki yang mengakar, nilai agama yang konservatif, dan praktik penegakan hukum yang tidak sensitif gender menjadi penyebab pentingnya untuk meningkatkan kesadaran dan membuka diskusi seluas-luasnya tentang isu kekerasan seksual di Indonesia. Setidaknya, ada tiga langkah dasar yang perlu dilakukan sebagai cara pandang dalam menyikapi kekerasan seksual:
Pertama, mengenali bias patriarki. Secara sederhana, patriarki dapat didefinisikan sebagai sistem dalam masyarakat di mana laki-laki mengontrol semua aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, moral, hingga hal-hal personal perempuan. Selama berabad-abad, patriarki telah menentukan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan perempuan, ke mana perempuan boleh pergi, bagaimana mereka bertindak, dan seberapa besar kendali yang boleh dipegang perempuan. Laki-laki, dalam jenis masyarakat patriarkal adalah otoritas dan kekuasaan tertinggi. Kebanyakan institusi secara alami memberikan hak istimewa laki-laki atas perempuan.
Hal ini mendikotomi masyarakat menjadi laki-laki dan perempuan serta bersikeras bahwa laki-laki lebih kuat, lebih pintar, dan lebih baik dalam hampir semua hal daripada perempuan. Atribut-atribut yang dianggap ‘feminin’ atau berkaitan dengan perempuan seringkali diremehkan. Dominasi laki-laki terhadap perempuan adalah pola relasi yang terbentuk antara laki-laki dan perempuan dalam sistem patriarki. Hal ini dibentuk dan diinternalisasi selama berabad-abad sehingga kontrol tersebut mempengaruhi alam bawah sadar manusia, seringkali tidak terlihat sehingga menyebabkan bias pada orang yang menginternalisasi nilai tersebut. Berikut adalah beberapa contoh kekeliruan logika karena terinternalisasi bias-bias patriarki:
- “Perempuan terlalu mengandalkan emosi dalam berpikir sehingga tidak cocok memimpin,” → Setiap perempuan mempunyai karakter emosi yang berbeda-beda. Seperti laki-laki, terdapat perempuan yang tegas dan dominan dalam berpikir dan bertindak. Feminitas dalam emosional perempuan tidak selalu berarti buruk dalam menjadi pemimpin, hal ini dapat menjadi kekuatan terbesar perempuan. Perempuan dapat menjadi pemimpin yang empatik, komunikator yang efektif, serta mediator yang handal dalam menangani krisis.
- “Perempuan tidak perlu sekolah dan berkarir tinggi-tinggi karena kodratnya adalah mengasuh anak dan melayani laki-laki,”→ Bentuk kontrol sosial: Setiap perempuan berhak untuk menentukan jalan hidup mereka, baik menjadi perempuan berkarir atau perempuan yang bekerja di ranah domestik, atau menjadi keduanya.
- “Kekerasan seksual terjadi karena korban menggoda pelaku baik karena pakaian atau tindakan,” → Simplifikasi: Berbagai riset membuktikan bahwa perempuan menjadi korban kekerasan seksual bukan karena pakaian atau tindakannya, namun karena niat jahat pelaku. Mulai dari yang berpakaian longgar, bercadar, hingga berseragam sekolah, semuanya pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi antara pakaian dan tindakan korban dengan kejahatan yang dilakukan pelaku.
Memahami pola pikir patriarki membuat kita menyadari hal-hal sederhana seperti perasaan tidak nyaman saat diremehkan karena perempuan adalah sign atau tanda bahwa ada yang salah dengan cara berpikir masyarakat kita tentang gender. Perlahan, kita akan melihat semua sign tersebut. Saat kita menyadari bahwa hal-hal dulu yang kita anggap lumrah sekarang adalah sebuah masalah, saat itu lah keberadaan patriarki terlihat jelas.
Kedua, setelah kita mengenali bias-bias patriarki, kita perlu menggunakan perspektif korban dalam merespon kasus kekerasan seksual. Berperspektif korban berarti memposisikan diri sebagai korban sebagai cara pandang atau cara berpikir kita tentang kekerasan seksual. Dengan memposisikan diri sebagai korban, kita dapat lebih berempati dan mempelajari kompleksitas emosional yang dirasakan korban sehingga dapat membedakan kasus kekerasan seksual dengan kasus kejahatan biasa. Dengan demikian, kita dapat memahami mengapa menyalahkan korban kekerasan seksual berarti mengobjektifikasi perempuan sebagai pemuas hasrat laki-laki. Masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Hal tersebut memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman.
“Ah, itu sih sama-sama mau. Buktinya gak ada perlawanan dari korban,”
“Perempuan ibaratnya seperti ikan dan laki-laki adalah kucing. Kucing mana yang menolak kalau ditawarkan ikan?”
“Suruh siapa pakai pakaian terbuka? Kamu sendiri yang mengundang hawa nafsu!”
Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut melaporkan kasus yang dialami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk, dianggap merusak nama baik, bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut. Lingkungan masyarakat yang melanggengkan bias-bias patriarki ini memperkuat budaya memerkosa atau rape culture. Budaya memerkosa didefinisikan sebagai lingkungan yang menyalahkan korban, cenderung memihak dan menoleransi kejahatan pelaku. Hal ini dapat terjadi jika kita tidak menggunakan perspektif korban dan terjebak dalam bias-bias patriarki. Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui humor seksis, misalnya bercanda tentang pemerkosaan.
Bercanda tentang perkosaan mengabaikan fakta bahwa penyintas pemerkosaan yang harus menghadapi luka fisik dan emosional sekaligus, karena setelah diperkosa ia juga disalahkan atau dijadikan bahan olok-olok oleh orang-orang di sekelilingnya. Budaya ini membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan korban kekerasan seksual.
Ketiga, menerapkan perspektif adil gender. Yang dimaksud perspektif adil gender adalah kita perlu mengingat bahwa meskipun perempuan lebih rentan menjadi korban pemerkosaan, dan mayoritas pelaku adalah laki-laki, namun kekerasan seksual dapat menimpa laki-laki juga. Sering kali karena identik sebagai “pelaku”, empati masyarakat terhadap korban laki-laki berkurang. Selain itu, dalam masyarakat patriarki memandang laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual sebagai laki-laki yang lemah, tidak jantan, dan maskulinitasnya harus dipertanyakan. Hal ini karena mereka dianggap kuat dan seharusnya dapat membela diri sendiri. Tidak jarang mereka mendapatkan komentar seksis seperti:
“Lha, laki-laki diperkosa kok melapor, harusnya enak dong?”
Respons negatif seperti ini lagi-lagi mengabaikan fakta bahwa korban kekerasan seksual dapat mengalami trauma apa pun identitas gendernya. Budaya toxic masculinity atau maskulinitas beracun ini membuat kasus kekerasan seksual yang dialami laki-laki seakan-akan harus ditutup rapat-rapat sebagai sebuah aib. Kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan yang tidak dapat diterima. Hal ini merugikan korban secara emosional, fisik, materi dan pada tingkat tertentu, menyebabkan lapisan trauma yang dapat merusak hidup korban. Dalam menentukan respons terhadap kasus kekerasan seksual, kita perlu mengenali bias-bias patriarki, berperspektif korban, dan menerapkan perspektif adil gender. Jika kita sudah menanamkan ketiga prinsip tersebut, kita dapat secara paripurna mendukung dan membantu korban untuk memulihkan diri dan mendapatkan keadilan. (Dian Amalia Ariani)
Daftar Pustaka
Alaggia, Ramona, and Susan Wang. ““I never told anyone until the# metoo movement”: What can we learn from sexual abuse and sexual assault disclosures made through social media?.” Child abuse & neglect 103 (2020): 104312.
BBC Indonesia. “Pelecehan Seksual di ruang publik: Mayoritas korban berhijab, bercelana panjang dan terjadi di siang bolong.” 2019, retrieved by https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49014401
Bethel, Claire. “# MeToo: The Perfect Storm Needed to Change Attitudes Toward Sexual Harassment and Violence.” Harvard Public Health Review 16 (2018): 1–5. https://www.jstor.org/stable/48515212.
Fairbairn, Jordan. “Before# MeToo: Violence against women social media work, bystander intervention, and social change.” Societies 10, no. 3 (2020): 51.
Kartika, Dyah Ayu. “Mengapa Dampak Me Too Tidak Sampai ke Indonesia?” The Conversation. 2019, retrieved by https://theconversation.com/mengapa-dampak-metoo-tidak-sampai-ke-indonesia-113038
Nurmita, “ Kekerasan Seksual Juga Menimpa Laki-Laki Tapi Tak Banyak Dibahas, Hak Mereka Terabaikan,” Konde.co. 2022, retrieved by https://www.konde.co/2022/12/kekerasan-seksual-juga-menimpa-laki-laki-tapi-tak-banyak-dibahas-hak-mereka-terabaikan.html/
Rege, Sangeeta, Padma Bhate-Deosthali, Jagadeesh Narayana Reddy, and Sana Contractor. “Responding to Sexual Violence: Evidence-based Model for the Health Sector.” Economic and Political Weekly (2014): 96-101.
Taub, Amanda. “How Should We Respond to Sexual Harassment?” The New York Times. 2017, retrieved by https://www.nytimes.com/2017/11/29/upshot/sexual-harassment-response-legal-system-guidelines.html
Asian Pacific Insitute of Gender-Based Violence. Retrieved by https://www.api-gbv.org/about-gbv/our-analysis/patriarchy-power/#:~:text=Patriarchal%20beliefs%20of%20male%2C%20heterosexual,they%20are%20abusive%20or%20not.
Yusuf, Iwan Awaludin. “Kuatnya budaya victim blaming hambat gerakan Me Too di Indonesia.” Communication UII. Retrieved by https://communication.uii.ac.id/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-communication-on-media/