Home » Isu » Kekerasan Gender » Memutus KDRT untuk Menghentikan Kekerasan Intergenerasi

Memutus KDRT untuk Menghentikan Kekerasan Intergenerasi

Bincang Perempuan

Kekerasan Gender

Memutus KDRT untuk Menghentikan Kekerasan Intergenerasi

Bincangperempuan.com- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kekerasan yang menimbulkan kekerasan intergenerasi. Literasi masyarakat untuk penghapusan KDRT sangat perlu dilakukan.

Hal itu disampaikan Eni Widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, KemenPPPA RI, dalam Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT pada Selasa (12/09/2023) yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI bekerja sama dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia.

“KDRT ini sangat membahayakan dan merugikan perempuan dan anak,” tegas Eni.

Pada anak, KDRT dapat menimbulkan dampak negatif termasuk potensi pewarisan kekerasan intergenerasi. Misalnya, anak menyaksikan ibu menjadi korban, atau anak dipukul keluarga sewaktu masih kecil.

“Pengalaman tersebut dapat menimbulkan warisan seseorang menjadi pelaku atau menjadi korban,” urai Eni.

Baca juga: Problematika Alpha Girls, Apa yang Seharusnya Dilakukan?

Eni mengingatkan, berbagai kasus KDRT yang terjadi harus menjadi perhatian bersama, apalagi karena yang tidak melapor lebih banyak.

Di sisi lain, sekalipun UU PKDRT sudah 19 tahun diundangkan, Forum Pengada Layanan mencatat berbagai tantangan masih saja mengemuka.

Di antaranya, “Konseling perubahan perilaku bagi pelaku KDRT masih belum dijatuhkan hakim dalam putusan,” jelas Siti Mazumah, Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) dalam forum yang sama.

Padahal, Mazumah mengingatkan, konseling ini sangatlah penting untuk mengubah cara pandang masyarakat yang selama ini dibesarkan dalam budaya patriarki.

“Tumbuh dalam budaya patriarki, laki-laki tidak mengerti bagaimana melakukan manajemen perasaan marah, akhirnya muncul toxic maskulinity yang menimbulkan konsekuensi pelaku KDRT,” jelasnya.

Tantangan lainnya adalah terkait penafsiran Pasal 44 ayat (4) tentang kekerasan fisik, sepanjang frasa “tidak menimbulkan penyakit, berhalangan kerja dan aktivitas sehari-hari.”  Demikian juga persoalan dalam penanganan KDRT apabila perkawinan tidak dicatatkan. Dalam praktik, FPL menemukan adanya perbedaan penerapan hukum, antara UU PKDRT atau Pasal 351 KUHP.

Penafisran terkait penelantaran rumah tangga juga masih menjadi persoalan. “Untuk menerjemahkan pasal ini, kepolisian merujuk ke perjanjian nikah, yang antara lain mengatur batas waktu 3 bulan,” ungkap Mazumah.

Sementara, terdapat kasus penelantaran rumah tangga di mana suami tidak menafkahi secara berturut-turut dan tidak dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan sehari-hari.  

Persoalan saling lapor juga masih menjadi tantangan. “Biasanya kasus korban lama sekali proses hukumnya, sementara jika suami (yang melapor) malah cepat,” jelas Mazumah.

Selain itu, dalam banyak kasus, FPL mencatat bahwa suami tidak mencabut laporan. Berbeda jika istri yang melapor, seringkali mencabut laporan atas berbagai pertimbangan, misalnya memikirkan nafkah anak.

Hal senada disampaikan juga oleh Livia Iskandar, Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Manakala perempuan (korban) bukan pencari nafkah utama, ini menjadi tantangan,” ungkapnya. Biasanya korban mencabut laporan saat korban merasa suami akan masuk penjara, terutama manakala istri bukan pencari nafkah.

Tantangan lainnya, ada keterbatasan bagi LPSK memberikan perlindungan pada korban, karena tidak semua korban KDRT dapat menjadi pihak terlindung LPSK.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, korban berhak atas perlindungan kerahasiaan identitas. Namun demikian, seringkali terjadi pelanggaran, misalnya oleh media. “Misalnya, inisial dirahasiakan, tapi alamat atau lokasi tempat tinggal disebutkan, atau tempat anak bersekolah,” urai Livia.

Baca juga: Stop Baper dan Membandingkan Diri dengan Orang Lain!

Setiap tahun, lembaga penyedia layanan mencatat kasus KDRT yang selalu memprihatinkan. FPL mencatat DKI Jakarta sebagai wilayah yang paling banyak korban melapor dan meminta pendampingan. Sementara itu, UPT PPPA DKI Jakarta mencatat sepanjang Januari sampai Agustus 2023, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tercatat 1089 kasus.

Menurut Mazumah, berdasarkan UU PKDRT masyarakat berkewajiban mencegah berlangsungnya tindak pidana KDRT. Upaya ini masih harus ditingkatkan agar KDRT dapat dihentikan.

Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI bekerja sama dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia. Kegiatan yang berlangsung secara hybrid ini merupakan bagian dari rangkaian Kampanye Penghapusan KDRT Jelang Dua Dekade UU PKDRT. Sebelumnya, telah terselenggara Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan KDRT pada 4 September 2023 dan Dialog bersama Tokoh Agama pada 8 September 2023.

Kegiatan selanjutnya adalah Dialog dengan Aparat Penegak Hukum pada 19 September 2023. Rangkaian kegiatan akan ditutup melalui aktivitas Kampanye Penghapusan KDRT di ruang publik yang direncanakan bertepatan dengan Car Free Day pada 8 Oktober 2023.

“Kegiatan ini terbuka untuk umum, masyarakat dipersilakan untuk mengikuti dialog berikutnya,” pesan Ninik Rahayu, Direktur Eksekutif JalaStoria. Sebagai informasi, seluruh rangkaian kegiatan dapat disimak secara daring melalui kanal Youtube KemenPPPA RI dan Instagram JalaStoria.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

KDRT

Artikel Lainnya

Peran tokoh agama menghapus KDRT

Tokoh Agama Berperan Menghapus KDRT

Femisida dan Pemberitaan yang Tidak Memihak Korban

Hak Pilih Perempuan ODGJ ‘Mengalah’ pada Stigma

Leave a Comment