Home » Isu » Kekerasan Gender » Kawin Tangkap, Diskriminasi Gender Atas Nama Tradisi 

Kawin Tangkap, Diskriminasi Gender Atas Nama Tradisi 

Kawin Tangkap, Diskriminasi Gender Atas Nama Tradisi

Bincangperempuan.com- Baru-baru ini viral video sekelompok laki-laki  di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur,  menangkap atau menculik seorang perempuan untuk diajak menikah. Praktik culik tersebut dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang diculik. 

Ini dikenal dengan tradisi kawin tangkap. Sebuah tradisi yang mengakar di beberapa daerah pedalaman Sumba, seperti Wawewa dan Kodi. Tradisi ini dilakukan oleh keluarga mempelai laki-laki yang terhalang mahar atau izin dari pihak perempuan. Sehingga untuk mempertahankan harga diri atas penolakan tersebut, pihak laki-laki melakukan penculikan. 

Meskipun sudah menjadi bagian dari tradisi, namun praktik kawin tangkap identik dengan kekerasan dan diskriminasi gender. Praktik ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Pasalnya, tradisi kawin tangkap sudah banyak melenceng dari aturan adat yang berlaku sehingga banyak merugikan perempuan karena diculik dan dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang tidak diinginkan. Meskipun perempuan tersebut sudah menolak dan meminta tolong kepada warga, namun tetap akan diabaikan karena dianggap sebagai urusan adat.

Dulunya, perempuan sudah didandani dan menggunakan pakaian adat akan ditangkap oleh laki-laki yang mengenakan pakaian adat dan menunggangi seekor kuda. Setelah ditangkap, perempuan tersebut akan dibawa ke rumah pihak laki-laki. Setelahnya pihak laki-laki akan membawa sebuah parang dan seekor kuda kepada pihak perempuan sebagai bentuk permohonan maaf dan tanda bahwa perempuan sudah berada di rumah pihak laki-laki.

Baca juga: Ibu Rumah Tangga, Kelompok Rentan Risiko HIV/AIDS

Biasanya perempuan yang ditangkap masih memiliki relasi kekerabatan dengan pihak laki-laki sehingga praktik ini sulit untuk ditentang oleh pihak perempuan. Selain itu, tradisi kawin tangkap ini dilakukan berdasarkan kesepakatan adat diantara keluarga laki-laki dan perempuan yang ingin melakukan pernikahan tanpa mahar.

Frans Wora Hebi selaku pengamat budaya Sumba berpendapat bahwa kawin tangkap merupakan perkembangan praktik yang berlindung di balik budaya agar tidak terjerat hukum yang berlaku. Menurutnya, tradisi kawin tangkap yang sesungguhnya dilakukan dengan prosedur yang lebih sopan. Biasanya, laki-laki akan mendatangi orang tua si perempuan untuk bertanya secara langsung dengan bahasa simbolisme seperti “Apakah di sini ada bibit jagung?”.

Dalam Pustaka Budaya Sumba (1976), tradisi kawin tangkap dilakukan laki-laki Sumba untuk mengakhiri budaya matriarki. Menurut mereka, budaya matriarki telah membuat laki-laki Sumba telah kehilangan hak sebagai kepala keluarga. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan dalam praktik kawin tangkap yang masih dilakukan hingga saat ini.

Kawin tangkap yang bermasalah

Data yang dikumpulkan Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba, kurun tahun 2016 hingga 2020, diketahui 2 dari 7 perempuan Sumba terpaksa harus melanjutkan perkawinan dari tradisi kawin tangkap. Kasus-kasus ini sebagian besar berasal dari Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya.

Beberapa kasus, perempuan dianggap sebagai objek yang tidak berdaya untuk memilih pasangannya. Selain itu, kawin tangkap terkadang dilakukan secara sengaja untuk memperkosa perempuan agar menerima pinangan dari laki-laki yang memperkosanya. 

Kasus teraneh yang pernah ditemukan adalah praktik kawin tangkap yang dilakukan kepada perempuan yang telah bersuami. Konsep ini jelas merugikan perempuan secara psikis, seksual, fisik, dan stigma negatif yang didapatkan dari masyarakat apabila ia menolaknya.

Pada tahun 2020, Komnas perempuan menyerukan untuk menghapus praktik kawin tangkap yang dinilai sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.  Komnas Perempuan menilai jika praktik kawin tangkap sebagai diskriminasi gender yang berkedok budaya. Komnas Perempuan menilai jika budaya kawin tangkap yang melenceng merupakan tindakan kriminal yang harus segera dihentikan.

Pernyataan ini juga disetujui oleh tokoh adat yang secara tegas menolak praktik yang membawa lari perempuan untuk dinikahi sebagai bagian dari budaya dan nilai-nilai adat Sumba. Para tokoh adat mengatakan bahwa masyarakat Sumba senantiasa memuliakan kaum perempuan sejak dahulu. Untuk itu, praktik kawin tangkap yang melenceng dinilai harus diatasi dengan proses hukum yang mengutamakan unsur perlindungan terhadap hak-hak perempuan.

Mengakhiri kawin tangkap yang melenceng

Tradisi kawin tangkap jelas merendahkan martabat perempuan, mengabaikan hak  perempuan untuk menentukan sendiri nasib hidup dan mengekang potensi perempuan dalam berkontribusi pada masyarakat dengan cara yang lebih produktif. 

Kawin tangkap menjadi manifestasi dari ketidaksetaraan gender yang masih terjadi di masyarakat. Hal ini tidak dapat diterima dalam masyarakat yang berkomitmen pada prinsip-prinsip kesetaraan dan hak asasi manusia 

Baca juga: Potret Tujuh Perempuan yang Berpengaruh di Bidang Hukum

Praktik kawin tangkap tidak hanya merugikan korban, kasus ini juga menimbulkan ketakutan pada perempuan Sumba lainnya. Kasus ini tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan yang tertulis saja, pasalnya meskipun pemerintah daerah sudah mencoba untuk mengatasi dengan mengeluarkan peraturan yang melarang kawin tangkap, namun tradisi ini masih sering kali berlangsung secara diam-diam dan dianggap sebagai urusan internal masyarakat.

Namun masyarakat harus dengan tegas melakukan pengawasan dan penerapan dari kebijakan yang ada. 

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan praktik kawin tangkap, yaitu:

  • Memberikan sanksi kepada pelaku.

Memberikan sanksi kepada pelaku kawin tangkap merupakan bentuk intervensi yang dilakukan untuk menghindari penerapan tradisi kawin tangkap yang melenceng dari nilai adat dan merusak citra budaya Sumba.

Untuk menghentikan tradisi kawin tangkap, pemerintah dan lembaga terkait harus mengedukasi masyarakat setempat tentang bahaya dan dampak negatif dari kawin tangkap. Cara ini dilakukan untuk menghapuskan budaya yang melenceng secara perlahan tanpa menyenggol tradisi yang sudah ada. Sosialiasi dapat dilakukan melalui media sosial, seminar, dan diskusi terbuka dengan masyarakat Sumba.

Memberdayakan perempuan dengan meningkat kesadaran akan hak-hak perempuan untuk memilih pasangan dan menolak praktik kawin tangkap dapat dilakukan melalui kampanye atau sosialisasi. Perempuan harus berdaya dengan memberikan pendidikan yang setara, pelatihan keterampilan, dan akses ke sumber daya yang dapat memperkuat hak-hak perempuan agar terhindar dari tradisi kawin tangkap yang melenceng.

Masalah kawin tangkap telah menjadi salah satu isu sosial yang sangat kontroversial dan rumit di Indonesia, yang menggambarkan ketegangan antara menjaga warisan budaya dan menghormati hak-hak individu, khususnya hak-hak perempuan. 

Pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat setempat harus bekerja sama untuk mengakhiri praktik kawin tangkap tanpa merusak warisan budaya dan tradisi lokal. Perlunya pendekatan yang lebih holistik, dengan melibatkan pendidikan dan kesadaran untuk merubah persepsi tentang tradisi ini dan mempromosikan kesetaraan gender. (**)

Sumber:

  • Nanda Aria, 2022. “Mengenal ‘Kawin Tangkap’ di Sumba, Sebuah Tradisi yang Dianggap sebagai Pemaksaan Seksual Berbalut Budaya”, dalam okenews
  • Puspasari Setyaningrum, 2023. “Mengenal Kawin Tangkap di Sumba, Bagaimana Tradisi ini Dilakukan?”, dalam Kompas.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Diskriminasi Gender

Artikel Lainnya

Apa itu KDRT

Melihat atau Alami KDRT? Ini Cara Melaporkannya!

Femisida dan Pemberitaan yang Tidak Memihak Korban

Kenali Jenis dan Dampak KBGO

Leave a Comment