Home » Isu » Kekerasan Gender » Hak Pilih Perempuan ODGJ ‘Mengalah’ pada Stigma

Hak Pilih Perempuan ODGJ ‘Mengalah’ pada Stigma

Bincangperempuan.com- Di Indonesia, hak pilih Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) selalu menjadi perdebatan. Orang-orang seperti itu, terutama perempuan, lebih sering menghadapi diskriminasi dan kesulitan dalam menggunakan hak pilih mereka karena kurangnya pemahaman dan dukungan dari masyarakat setempat.

Undang-Undang Pemilihan Umum dan undang-undang tentang penyandang disabilitas menyatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah warga negara dan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum di Indonesia. Hal ini semakin diperkuat dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang melindungi hak pilih penyandang disabilitas. Sejak tahun 2014, pemerintah bahkan telah menyelenggarakan pemilu yang memperhitungkan penyandang disabilitas, agar hak pilih mereka tidak dimanfaatkan dan dilanggar oleh kontestan tertentu.

Sayangnya pihak berwenang masih belum dapat sepenuhnya melindungi hak-hak orang-orang ini karena stigma masyarakat. Mereka yang menderita gangguan jiwa, terutama perempuan, selalu didiskriminasi dan dianggap tidak layak untuk memilih dalam pemilu. Prasangka semacam itu memaksa keluarga mereka dan orang-orang yang berhubungan dengan mereka untuk “mengikuti garis masyarakat” dengan “membatasi atau melarang” mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik, yang terbesar adalah pemilu.

Apa yang dikatakan pemerintah?

Sesuai dengan peraturan yang berlaku, pengecualian untuk mendaftarkan penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dapat dilakukan dalam kasus penyakit mental dan/atau kehilangan ingatan permanen, hanya setelah mereka menerima rekomendasi dari psikiater, yang menyatakan bahwa kondisi mereka telah mengganggu kemampuan mereka untuk memberikan suara dalam pemilihan umum.

Pemaksaan dan manipulasi terhadap penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak pilihnya dianggap sebagai tindak pidana. Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 bahkan menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, serta dapat mencalonkan diri sebagai Presiden/Wakil Presiden, selain sebagai penyelenggara pemilu.

Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas juga menggariskan bahwa setiap orang wajib menghormati atau menerima keberadaan penyandang disabilitas dengan segala hak-hak yang melekat padanya tanpa dikurangi. Hal ini mencakup pemenuhan kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.

Untuk mendalami masalah ini, provinsi Sumatera Selatan diambil sebagai sampel untuk mengetahui apakah penyandang disabilitas, terutama perempuan, dengan gangguan jiwa, menggunakan hak pilihnya.

Baca juga: Pendidikan Membaik,Namun Partisipasi Kerja Perempuan Masih Timpang 

Tidak semua bisa memilih

Mengizinkan orang yang menderita penyakit mental tertentu untuk ikut serta dalam proses pemilihan umum tunduk pada pemenuhan beberapa persyaratan yang ditetapkan, kata Dr Seiska Mega, seorang spesialis kesehatan mental di rumah sakit jiwa RS Ernaldi Bahar di Sumatera, Indonesia.

“Memang ada ketentuan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam pemilu. Namun, mereka harus memenuhi beberapa persyaratan utama untuk ikut serta dalam proses tersebut,” tambahnya.

Orang-orang seperti itu, kata Dr Mega, dapat memberikan suara mereka jika mereka menjalani perawatan rutin dan membuktikan kemampuan mereka untuk membuat penilaian yang “baik”.

“Mereka (pasien) dapat berpartisipasi dalam pemilu jika mereka dirawat secara teratur dan dapat membuat keputusan yang tepat, menunjukkan bahwa mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,” tambahnya.

Sejauh ini, beberapa pasien wanita dari bagian rawat jalan telah dapat berpartisipasi dalam pemilu di Sumatera Selatan tanpa mengalami stres tambahan. Namun, Dr Mega menekankan pada dukungan keluarga sebagai tambahan dari perawatan rutin mereka.

“Sebenarnya, keluarga dapat membantu pasien dalam keseluruhan proses. Mereka dapat memberikan wawasan tentang profil masing-masing kandidat yang bertarung dalam pemungutan suara. Mereka juga dapat menilai kemampuan pasien untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Yang terakhir, mereka dapat membantu memastikan bahwa pasien meminum obat secara teratur dan melakukan aktivitas fisik yang sehat,” pungkasnya.

Namun, tidak ada ruang bagi pasien perempuan yang berada di pusat rehabilitasi untuk memberikan suara mereka. Iwan Andhyantoro, seorang staf hubungan masyarakat di rumah sakit jiwa RS Ernaldi Bahar, mengklaim bahwa tidak ada tempat pemungutan suara yang disiapkan untuk para narapidana di fasilitasnya selama pemilu terakhir.

“Bagi mereka yang dirawat di rumah sakit, tidak ada ruang untuk memilih. Pemerintah belum membahas kebijakan atau instruksi lebih lanjut dan kami tidak bisa melakukan apa-apa sendiri,” tambahnya.

Apatisme pemerintah terhadap hak pilih pasien gangguan jiwa, yang memilih rawat inap, adalah aspek lain yang perlu dievaluasi kembali.

Baca juga: Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida

Tantangan yang dihadapi pemerintah

Rizki Maharani, sebagai pengamat dan dosen ilmu politik, menyoroti peraturan dan fakta sejarah, dengan mengatakan, “Di Indonesia, mereka yang menderita gangguan jiwa sudah masuk ke dalam arus utama sejak tahun 1955. Hal ini karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki pola pikir yang terganggu, yang mungkin saja bukan masalah genetik. Nah, ini yang harus diperhatikan, meskipun mereka sudah masuk sejak lama.”

Sementara itu, ia juga menyoroti kepedulian pemerintah dan mengatakan, “Orang-orang seperti itu sering menghadapi diskriminasi dan perundungan karena kondisi mereka. Jadi, Anda tidak bisa bergantung sepenuhnya pada pihak berwenang. Pemerintah sendiri telah bekerja pada aspek ini untuk waktu yang lama.”

Namun, Maharani juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam implementasi kebijakan mengenai hak pilih orang dengan gangguan jiwa oleh pemerintah.

“Pemerintah terkadang tidak konsisten, dan ada banyak hambatan. Masyarakat setempat juga sering menentangnya karena mereka menganggap orang-orang ini tidak layak,” katanya.

“Isu-isu seperti ini membutuhkan data yang sempurna dan survei yang komprehensif, tetapi banyak orang yang menentangnya, sehingga menjadikannya tugas yang sangat berat bagi pemerintah,” tambahnya.

Koordinasi dan kolaborasi adalah kebutuhan saat ini

Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah membuat program untuk memperkuat partisipasi orang-orang seperti itu dalam pemilu 2024.

“Panel jajak pendapat umum memang memfasilitasi orang dengan gangguan jiwa. Mereka akan didaftarkan di TPS terdekat dan disediakan bilik suara yang ramah bagi mereka,” kata Maharani.

Menurut para ahli, masalah ini membutuhkan koordinasi dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, pasien, dan masyarakat setempat. Alih-alih membuat cetak biru baru, pemerintah dapat melakukan tinjauan untuk memaksimalkan kebijakan yang sudah ada, menurut mereka.

*) artikel ini sudah tayang lebih dahulu di N3CON dengan judul “How Voting Rights Of Indonesian Women With Mental Illnesses Are ‘Succumbing’ To Societal Stigma” sebagai bagian dari Program Mentorship N3COnU dari Asosiasi Jurnalis Amerika Asia (AAJA-Asia) bagi para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan reportase di bawah bimbingan para profesional di bidangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Memutus KDRT untuk Menghentikan Kekerasan Intergenerasi

Memutus KDRT untuk Menghentikan Kekerasan Intergenerasi

19 Tahun UU PKDRT, Mengapa Angka Pelaporan KDRT Masih Tinggi?

Bagaimana Australia Melawan Kekerasan Berbasis Gender

Bagaimana Australia Melawan Kekerasan Berbasis Gender

Leave a Comment