Home » Gaya Hidup » Hubungan » Ketika Aku Memilih Berjuang: Dari KDRT Hingga Kebebasan

Ketika Aku Memilih Berjuang: Dari KDRT Hingga Kebebasan

Disclaimer : Peringatan (trigger warning): artikel ini mengandung konten kekerasan eksplisit yang dapat memicu kondisi emosi dan mental pembaca. Kami menyarankan BPer’s tidak meneruskan membacanya jika mengalami kecemasan dan mempertimbangkan untuk meminta bantuan profesional.⁣

Bincangperempuan.com- “Saat saya tidak mau memberikan uang untuk depo judi online, suami akan memukuli saya,” ungkap D menuturkan kisahnya pada Bincang Perempuan, Selasa (18/06/2024). 

D, ibu rumah tangga dengan dua orang anak yang tinggal di Provinsi Jambi. Suaminya A merupakan pengangguran sekaligus pecandu judi online. Tak ada pilihan, D memilih bertahan demi masa depan anak-anaknya. Khawatir dampak perpisahan jika ia memilih bercerai terhadap tumbuh kembang anaknya nanti.  

Hari demi hari, D “rela” menanggung beban dipukuli hingga diancam akan dibunuh oleh suaminya sendiri. Ketika KDRT terjadi, D memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya. Sembari tak putus berharap suaminya akan berubah menjadi suami sekaligus ayah yang baik demi masa depan anak-anak, buah dari pernikahan mereka.

“Saya selalu pulang ke rumah orang tua setelah dipukul suami saya. Saya pikir, cara ini bisa membuat suami saya lebih tenang. Saya masih berharap dia sadar dan mau berubah,” imbuh D. 

Alih-alih berhenti melakukan KDRT, sebaliknya suami korban justru kembali melakukan hal yang sama. Korban kembali dipukuli, bahkan mencoba membunuh korban dengan cara mengikatkan kabel setrika ke leher korban.

Namun lagi-lagi, kekerasan yang diterima korban tidak memudarkan harapannya agar suami berubah menjadi lebih baik. Ia kembali memberikan ruang bagi suaminya agar lebih tenang. Pada akhirnya, kembali terulang dan terus berulang. D kembali mendapatkan kekerasan dari suaminya ketika tidak memberikan uang untuk deposit judi online.

Baca juga: #MeToo, Dukungan untuk Penyintas Kekerasan Seksual

Sempat stres karena tak mendapatkan dukungan 

Selama menikah, D mengaku sempat mengalami stres  berkepanjangan. Bagaimana tidak, ia harus mempertahankan pernikahan demi anaknya tetapi suaminya justru melakukan kekerasan padanya. Selain itu, korban mengatakan bahwa ia kerap didatangi oleh penagih hutang karena suaminya.

Mirisnya, suaminya justru melarikan diri ketika para penagih hutang itu mendatangi istrinya. Tindakan ini memberikan tekanan finansial dan emosional bagi korban. Korban harus mencari nafkah dan membayar hutang suaminya yang terus bertambah. Ditambah kekerasan dan tindakan korban yang memilih untuk bungkam.

“Setiap hari, ada saja rentenir atau orang yang datang menagih hutang suami saya. Dia (suami) justru selalu pergi, terpaksa saya membayarnya,” ungkapnya.

“Saya mencari uang dengan berjualan makanan, tetapi suami saya terus meminta uang saya untuk judi online atau membayar hutangnya. Tidak pernah saya bisa menabung. Kalau saya tidak memberikan, ya saya mendapatkan kekerasan dari dia,” tambahnya.

Tindakan ini membuat korban mengalami frustasi berkepanjangan, ia bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai. Pelaku membuat korban terus merasa tidak aman dan terjebak dalam pernikahan yang tak pernah diinginkannya.

“Saya terus merasa frustasi hingga stres, hutang suami saya tidak pernah habis dan dia terus melanjutkan judi onlinenya. Saya bahkan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saya dengan terjun ke sungai agar tidak ada lagi hutang,” ungkapnya.

Selain mencoba untuk mengakhiri hidupnya, korban meminta bantuan dari keluarga suaminya. Alih-alih membantu, keluarga pelaku justru membela pelaku dengan alasan ‘istri harus berbakti pada suami’. Hal ini semakin memperburuk kondisi mental korban.

“Saya datang ke rumah mertua saya, saya kasih tahu perilaku anaknya dan minta agar mereka menasehati suami saya. Bukannya memberikan solusi, keluarga suami saya justru membela suami saya. Mereka bilang kalau seorang istri harus patuh dengan suaminya,” jelas korban.

Mendengar pernyataan keluarga pelaku, D merasa kecewa dan memilih untuk kembali ke rumahnya. Korban merasa tak habis pikir dengan sifat keluarga suaminya yang justru memaklumi kecanduan judi online anaknya. Akibatnya, stres yang dialaminya semakin parah dan membuat korban terus mencoba untuk mengakhiri hidupnya.

Memilih untuk pisah rumah

Selalu mendapatkan kekerasan dari suaminya, D memilih untuk tetap bertahan pada awalnya. Puncaknya, ia mendapati anaknya mendapatkan kekerasan dari suaminya ketika korban tidak memberikan uang untuk deposit judi online. Korban menjelaskan bahwa anaknya dibanting oleh suaminya.

“Terakhir kali, saya melihat anak saya dibanting oleh suami saya ketika saya tidak memberikan uang. Anak saya menangis karena tulang belakangnya sangat sakit setelah dibanting ayahnya,” ungkap korban.

Mendapati anaknya yang dibanting oleh suaminya, korban memilih untuk pisah rumah dan kembali ke rumah orang tuanya. Kali ini, ia tidak dapat menoleransi kekerasan yang dilakukan suaminya.

Menurut korban, ia mempertahankan pernikahan agar anaknya tidak kehilangan sosok ayah. Ironinya, suaminya justru melakukan tindakan yang membahayakan anaknya karena kecanduan yang dimilikinya.

“Saya bertahan karena anak-anak, tetapi suami saya justru membanting anak saya. Untuk apa saya mempertahankan pernikahan? Saya sudah muak dengan dia,” ucap korban.

Ketika D memutuskan untuk berpisah, pelaku justru mengunci D dirumah agar tidak dapat kembali ke rumah orang tuanya. Hal ini disebabkan karena suaminya tidak ingin berpisah dengan D dan anaknya. Meskipun demikian, D dan anaknya berhasil keluar setelah ia menghubungi orang tuanya.

“Pas saya memutuskan untuk berpisah dan ingin kembali ke rumah orang tua saya, dia mengunci saya dan anak saya di rumah. Saya berteriak agar dia membukakan kunci, tetapi dia mengabaikannya. Jadi saya telpon orang tua saya untuk menjemput saya di rumah,” kata D. 

Ironinya, keputusan D yang memilih pisah rumah dengan pelaku disebabkan karena ia tidak memiliki cukup uang untuk mendaftarkan perceraian di pengadilan agama. Selain itu, ia menyadari bahwa suaminya pasti akan menggagalkan perceraian tersebut. 

“Saya hanya pisah rumah dengan suami saya, saya muak dan tidak ingin melihat wajahnya lagi. Kalau didaftarkan juga saya tidak punya uang, dia (suami) juga pasti berusaha untuk menganggalkannya. Jadi, untuk apa saya daftarkan perceraian ke pengadilan?” ungkap D. 

Pasca memilih untuk pisah rumah dengan suaminya, D melanjutkan hidupnya dengan menjual makanan di sekitar rumahnya. 

“Setelah pisah, ya saya menetap di rumah orang tua saya. Nggak mungkin saya ngontrak, saya nggak punya uang dan suami saya pasti menyusul saya kalau mengetahui itu,” ungkap D.

“Untuk sehari-hari, saya jualan makanan seperti es potong. Sebelumnya saya jualan ayam goreng seperti KFC, tapi nggak laku banget kalau disini,” tambahnya.

Sama halnya dengan ibu tunggal lainnya, D menuturkan jika ia mengalami banyak kendala pasca memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Salah satunya, anak terkecilnya yang kerap menanyakan ayahnya. Mau tidak mau, ia harus menjelaskan realita yang terjadi.

“Pas pisah rumah, anak saya yang kecil sering nanya ayahnya. Dia kan dekat banget dengan ayahnya meskipun sering dipukuli. Jadi agak sulit untuk menjelaskan kalau sudah pisah sama ayahnya,” ucap korban.

Baca juga: Women Support Women: Membangun Empowerment Perempuan

Kenapa perempuan sulit keluar dari KDRT?

Kasus yang dialami oleh D hanyalah segelintir dari banyaknya kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa 9.001 perempuan di Indonesia mengalami KDRT sepanjang tahun 2024. Lantas, apa yang menyebabkan banyak perempuan memilih bertahan meskipun telah di KDRT?

dr. Andri, SpKJ, FAPM spesialis psikosomatik menjelaskan jika perempuan yang bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan kekerasan didasari oleh beberapa faktor. Salah satunya, masalah finansial dan stigma masyarakat.

“Yang membuat perempuan tetap bertahan dalam pernikahannya meskipun sering mendapatkan KDRT itu ada beberapa faktor. Pertama, finansial yang tidak aman karena perempuan yang telah menikah sering kali tidak bekerja dan dijadikan ibu rumah tangga saja. Itu membuat istri tidak bisa mandiri, alhasil suami jadi punya kekuasaan dari segi keuangan dan istri memaklumi kekerasan yang terjadi demi anaknya. Kedua,  takut dan malu anak akan kehilangan sosok ayah. Ya, banyak dari kita malu kalau jadi janda atau anak nggak ada ayah lagi. Nah, hal ini yang terkait dengan faktor penundaan untuk segera bercerai,” jelas dr. Andri.

“Faktor selanjutnya yaitu berharap keajaiban terjadi. Kadang-kadang banyak dari kita berharap pelaku akan berubah. Boro-boro mau berubah, malah yang terjadi justru sebaliknya dan semakin kacau. Hal ini tentu sulit kalau tidak didasari oleh kesadaran sendiri, yang terjadi justru beberapa orang tidak sadar akan tindakannya alias sudah bawaannya saja. Selain itu, agama dan manipulasi yang dilakukan oleh suami membuat istri menjadi ketergantungan,” tambahnya. 

Selain itu, Christine A, M.Psi selaku psikolog klinis menyebutkan jika perempuan yang bertahan dalam KDRT disebabkan oleh gangguan psikologis yang tak disadari.

“Perempuan yang tidak meninggalkan hubungannya meskipun selalu di KDRT tidak disebabkan karena dia bodoh. Ada ikatan yang terbentuk antara abuser diantara pelaku dengan korbannya yang disebut dengan traumatic bonding. Traumatic bonding ini terjadi karena kekerasan yang terjadi disertai dengan emosi atau perbuatan yang positif yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban,” tutur Christine A, M.Psi.

“Misalnya, setelah pelaku memukul korban, pelaku akan menangis atau meminta maaf kepada korban bahkan menghujani korban dengan berbagai hadiah agar dimaafkan oleh korban. Sinyal-sinyal seperti ini yang membuat korban bingung karena kekerasan dan kasih sayang bercampur. Jadi, ketika korban mau pergi justru muncul pemikiran bahwa pelaku akan berubah,” tambahnya.

Lakukan ini jika mengenal korban KDRT 

Jika BPer’s atau seseorang yang BPer’s kenal menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), langkah-langkah berikut dapat diambil untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan:

  • Cari Tempat Aman. Segera keluar dari lingkungan berbahaya dan cari tempat aman seperti rumah keluarga, teman, atau tempat penampungan. Hindari konfrontasi langsung** dengan pelaku KDRT saat mencoba melarikan diri.
  • Laporkan ke Pihak Berwenang. Hubungi polisi setempat atau layanan darurat untuk melaporkan kejadian KDRT. Di Indonesia, Anda bisa menghubungi nomor darurat 112 atau kepolisian di 110. Buat laporan resmi di kantor polisi dan minta salinan laporan tersebut.
  • Cari Bantuan Medis. Segera ke rumah sakit atau klinik untuk mendapatkan perawatan medis jika Anda mengalami cedera. Dokumentasikan cedera dengan foto dan simpan catatan medis sebagai bukti.
  • Dapatkan Bantuan Hukum. Hubungi pengacara yang berpengalaman dalam kasus KDRT untuk mendapatkan nasihat hukum. Ajukan permohonan perlindungan ke pengadilan, seperti perintah perlindungan atau perintah penahanan terhadap pelaku.
  • Dukungan Psikologis dan Sosial. Konsultasikan dengan psikolog atau konselor untuk mendapatkan dukungan emosional dan psikologis. Ikut serta dalam kelompok dukungan atau komunitas yang membantu korban KDRT untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang yang mengalami hal serupa.
  • Hubungi Lembaga Perlindungan. Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA) di berbagai daerah dapat memberikan bantuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga bisa menjadi sumber informasi dan bantuan.
  • Rencanakan Keamanan Jangka Panjang. Rencanakan tempat tinggal yang aman jangka panjang jika perlu meninggalkan rumah secara permanen. Lakukan perubahan pada rutinitas harian dan informasikan kepada keluarga dan teman dekat untuk mengurangi risiko dari pelaku KDRT.
  • Edukasi Diri dan Orang Lain. Pelajari lebih lanjut tentang hak-hak sebagai korban KDRT. Sosialisasikan pentingnya kesadaran KDRT kepada orang-orang di sekitar untuk mencegah dan menangani kejadian serupa.
  • Mengumpulkan Bukti. Simpan semua bukti yang berkaitan dengan KDRT, seperti pesan teks, email, foto, dan catatan kejadian. 
  • Mengakses Layanan Darurat dan Hotline sebagai berikut : Panggilan darurat 112 (nomor darurat Indonesia), Layanan perlindungan anak : 129 atau Komnas Perempuan +62-21-3903963

Mengikuti langkah-langkah di atas, BPer’s akan mendapatkan bantuan dan perlindungan yang diperlukan untuk keluar dari situasi KDRT dan memulai proses pemulihan. Jangan ragu untuk mencari bantuan dari orang-orang terdekat dan lembaga yang kompeten. Ingat KDRT bukan lagi persoalan ranah privat personal, tapi juga sudah menjadi persoalan publik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Kasus Perempuan di Afghanistan dan Refleksinya terhadap Indonesia

Backburner Relationship

Backburner Relationship, Ketidakjelasan dalam Hubungan

Perempuan Pembela HAM Minim Akses Jamsos

Leave a Comment