Nasib Perempuan Petani dan Nelayan
Bincangperempuan.com- “Masyarakat diancam dan dituntut ke pengadilan,” kata Indahwati, ditengah-tengah diskusi “Perlindungan dan Penghidupan untuk Mengakhiri Ketimpangan Ekonomi dan Gender” yang digelar Genesis Bengkulu, Rabu (28/08/2024) di salah satu hotel di Kota Bengkulu.
Mewakili kelompok perempuan petani Tanjung Sakti Sibak, Indarhwati menuturkan perjuangan para petani di daerahnya atas hak kelola lahan Hak Guna Usaha (HGU) terlantar yang sudah dirawat turun temurun dimiliki masyarakat setempat, yang harus berhadapan dengan PT. Dharma Pratama (DDP).
Kasus yang sudah menahun tersebut, belakangan sudah berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri Mukomuko. Bahkan sudah tiga orang petani dari Desa Sibak digugat secara perdata oleh PT. DDP dengan angka yang fantastis Rp7,2 miliar.
Kondisi serupa, juga berbeda disampaikan Anita, perwakilan Perempuan Nelayan Teluk Sepang Kota Bengkulu. Ia menyampaikan bagaimana pengalaman perempuan nelayan yang mengalami kemiskinan akibat pencemaran air laut yang diakibatkan limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang beroperasi disekitar pesisir. Hal ini mengakibatkan nelayan harus melaut lebih jauh dari area tangkapan ikan sebelumnya, dan berdampak dengan pendapatan nelayan yang menurun drastis.
Direktur Genesis Bengkulu, Egi Saputra mengatakan kondisinya merata, di setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu, banyak perempuan yang masih kesulitan memperjuangkan hak mereka. Perempuan sekitar konsesi ekstraktif hingga saat ini masih berjuang mempertahankan haknya atas tanah, perempuan di sekitar kawasan hutan masih berjuang mendapatkan akses dan pengakuan terhadap ruang kelolanya, dan perempuan pesisir menghadapi kesulitan mengakses sumber daya laut sebagai sumber kehidupan dan penghasilan perempuan hingga saat ini.
“Perempuan di kawasan hutan berjuang untuk mendapatkan akses dan pengakuan terhadap ruang kelolanya. Sementara perempuan pesisir menghadapi kesulitan dalam mengakses sumber daya laut akibat perusakan lingkungan,” imbuhnya.
Data Genesis menunjukkan, luasan area di luar kawasan hutan Bengkulu sebesar 894 ribu hektare, namun sebesar 166 ribu hektare areal ini telah dalam penguasaan korporasi ekstraktif baik itu perkebunan skala besar dan pertambangan. Sehingga areal di luar kawasan hutan yang dapat dikuasai oleh masyarakat bebas konflik tersisa 728 ribu hektare.
Egi mengatakan, jika dibandingkan dengan luas lahan pertanian masyarakat, mereka hanya memiliki luas 1-5 hektare saja. Izin wilayah kelola yang jauh lebih luas diberikan kepada korporasi dibandingkan luas wilayah kelola yang dimiliki masyarakat. Ini menunjukkan adanya ketimpangan yang sangat besar.
“Ketimpangan ini semakin memperburuk kondisi perempuan yang juga mengalami dampak langsung pada penurunan kualitas hidup, yaitu terancamnya perempuan kehilangan wilayah mata pencaharian, lingkungan yang rusak dan bayang-bayang bencana,” tegasnya.
Selain itu lanjut Egi, akses SDA yang tidak merata ini menjadi penyebab banyak perempuan terancam kehilangan identitasnya sebagai petani dan nelayan. Sehingga memberikan dampak buruk secara ekonomi, sosial, politik dan kesehatan perempuan serta meningkatkan beban dan proses pemiskinan perempuan komunitas di Bengkulu.
Baca juga: Bagaimana Pendekatan Kesetaraan Gender Menjadi Solusi Terbaik Mengatasi Krisis Iklim
Kesenjangan gender di sektor pertanian
Akademisi Universitas Bengkulu (UNIB), Dr. Guswarni Anwar menyoroti kesenjangan gender di sektor pertanian dinilai tidak hanya melemahkan struktur pangan, tetapi juga menciptakan kerugian ekonomi. Padahal menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), keterlibatan perempuan yang setara dalam produksi dan distribusi pangan akan menciptakan keuntungan senilai USD 1 triliun.
Kesenjangan tersebut terjadi, lanjut Guswarni masih terjadi akibat perencanaan kebijakan, program kegiatan dan implementasinya biasanya bertolak dari pemikiran stereotype atau pelabelan gender. Dimana masih sering abai memperhitungkan perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang berbeda, dan berbeda pula kebutuhan, pengalaman, permasalahan, dan aspirasinya.
Sering abai memperhitungkan, bahwa perbedaan peran tersebut dapat mempengaruhi keduanya dalam memperoleh akses dan penguasaan terhadap sumberdaya, partisipasi dalam pembangunan, dan manfaat dari hasil pembangunan. Kondisi ini juga diperparah dengan minimnya regulasi (peraturan perundang-undangan, kebijakan) yang netral gender dan atau diskriminatif.
Bila dilihat secara jumlah, persentase populasi perempuan di Indonesia mencapai 49,42 persen dari total penduduk Indonesia (Sensus 2020). Dari jumlah tersebut di Bengkulu jumlah penduduk perempuan mencapai 948.178 dari total 1.934.269 (Sensus 2017). Namun dalam hal hak milik tanah antara perempuan dan laki-laki masih sangat timpang.
“Kepemilikan tanah atas nama perempuan jumlahnya juga jomplang sekali, sehingga kebanyakan perempuan tidak punya hak yang jelas, padahal kegiatan pemeliharaan atau panen biasa didominasi perempuan,” ungkapnya.
Guswarni menambahkan, di Bengkulu jumlah petani perempuan hanya 12 persen. Hal ini terjadi akibat kurangnya akses dan kendali atas tanah dan properti. Menurut IUCN hanya 13,8 % perempuan pemilik lahan. FAO mencatat jumlah laki-laki yang memiliki lahan atau mendapat jaminan atas lahan pertanian mencapai dua kali lipat ketimbang perempuan, di hampir 40 persen negara di dunia. Rata-rata dunia berkisar 12 persen perempuan pemilik lahan.
Sementara data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukan hanya sekitar 24 persen dari total lahan di Indonesia yang terdaftar atas nama perempuan klaim FAO. Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) pada 2020, hanya sekitar lima persen perempuan yang memiliki dokumen kepemilikan atas lahan pertanian.
“Juga diakibatkan faktor masih kurangnya perwakilan perempuan di parlemen nasional di seluruh dunia yang merupakan perempuan bahkan tak sampai 25 persen. Serta masih adanya kekerasan berbasis gender,” katanya.
Baca juga: Pendidikan Membaik,Namun Kesenjangan Kerja Perempuan Tetap Nyata
Perempuan dalam konflik penguasaan lahan
Guswarni mengapresiasi keberanian perempuan yang semakin berani bersuara untuk memperjuangkan hak-haknya. Terkait perempuan dalam konflik penguasaan lahan dan sumber daya alam, Guswarni mengatakan ada tiga hal yang menjadi penyebab utama. Dimana ketika hal terjadi maka perempuan menjadi korban pemiskinan struktural salah satunya dengan berbagai kebijakan pembangunan yang tidak responsif gender yang menyebabkan konflik yang berkepanjangan dan lambat diselesaikan.
Selain itu, kata Guswarni konsep perkebunan skala besar yang menggusur rakyat merupakan warisan kolonial yang merupakan konsep patriarki menyalahi ketentuan reforma agraria. Perusahaan dianggap lebih produktif dan rakyat dianggap sebagai tenaga kerja, apalagi perempuan dimarjinalkan.
“Proses pemberian HGU yang tidak transparan dan tumpang tindih, tidak sesuai dengan UUPA, menyebabkan konflik agraria. Ketimpangan pemilikan, penguasaan lahan, dan pemanfaatan tanah tidak berpihak kepada perempuan,”terangnya.
Dampak, kata Guswarni ketika konflik SDA terjadi maka perempuan akan kehilangan ruang hidup dan keharmonisan keluarga dan relasi sosial. Hilangnya sumber mata pencarian (dari hutan dan SDA lain) dan bisa menjadi buruh di tanah sendiri sehingga berdampak pada munculnya praktek perbudakan perempuan dan anak.
“Ini bisa mengakibatkan menurunnya kualitas hidup perempuan, mulai dari risiko terkena pengaruh kimia dan dampak negatif lainnya terhadap kesehatan. Kriminalisasi, intimidasi, dan persekusi dan stigma “anti pembangunan” dan menambah beban berat karena perubahan iklim,” paparnya.
Guswarni menambahkan untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah perlu melakukan sosialisasi di dalam keluarga yang seimbang, dalam kajian feminis dikenal sosialisasi androgini kepada anak laki- laki dan perempuan. Dimana semua hal tersebut diarahkan untuk kemandirian sebagai manusia. Selain itu melakukan dekonstruksi bias gender di bidang pendidikan, dalam buku teks dan persamaank esempatan pendidikan tanpa memandang stereotipe.
“Perlu melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai patriarki dalam konteks negara, peningkatan kualitas hidup perempuan, penggalakan sosialisasi kesetaraan gender dan penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya.
Dr. Susilawati dari Dinas Lingkungan Hidup (DLHK) menyebutkan bahwa hak-hak masyarakat untuk mengelola lahan sudah diatur dalam aturan tersendiri, yakni Peraturan Menteri LHK No. 4 tahun 2023 tentang pengelolaan perhutanan sosial pada kawasan hutan dengan pengelolaan khusus serta Peraturan Presiden No 28 tahun 2023 tentang perencanaan terpadu percepatan pengelolaan perhutanan sosial.
“Dalam aturan-aturan tersebut sudah tertera syarat untuk izin mengelola lahan dan sebagainya,” jelas Susilawati.
Sementara saat ditanya terkait peranan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam melindungi perempuan-perempuan petani dan nelayan yang memperjuangkan haknya, Ahmad Kusnadi menjelaskan bahwa instansinya saat ini masih berfokus pada perlindungan terhadap kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.