Perempuan pembela HAM berjuang “sendiri” bukan hal baru di Bengkulu. Minimnya dukungan dari pemerintah dan kurangnya sistem perlindungan memadai membuat PPHAM rentan terhadap berbagai bentuk serangan. Dalam banyak kasus, laporan atas ancaman yang diterima, dirasakan tidak mendapat respon serius. Akibatnya PPHAM enggan melapor jika mengalami perlakukan tidak mengenakan.
Bincangperempuan.com- Berkas dan catatan kasus terlihat menumpuk di meja Listi, bukan nama sebenarnya, saat Bincang Perempuan menyambangi kediamannya beberapa waktu lalu. Listi bergegas merapikan berkas-berkas tersebut. Mengelompokannya berdasarkan jenis kasus dan tingkat prioritas pendampingan. Sebagian dari tumpukan tersebut diketahui masih berjalan kasusnya, sebagian lagi mandeg di tengah jalan.
Listi, adalah seorang pengacara yang sehari-hari bekerja secara pro bono alias suka rela dan tergabung dalam Koalisi Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Bengkulu.
Sesekali ia terlihat menghela napas panjang. Menyiratkan rasa lelah yang tak lekang. Raut wajahnya seperti menjawab, besarnya tekanan yang harus ia jalani sebagai pendamping korban di daerah regentschap, yang hanya berjarak kurang lebih dua jam perjalanan darat ke ibukota provinsi, Kota Bengkulu.
“Kadang, saya merasa seperti berada di tengah medan perang sendiri,” ungkapnya, sambil menunjukkan beberapa pesan ancaman yang ia terima melalui ponsel genggamnya.
Pesan-pesan tersebut masih ia simpan rapi. Menjadi barang bukti, bentuk ketidaksenangan pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kerja-kerja pendampingan yang dilakukan Listi. Sebagian lagi sudah dihapusnya. Ada juga panggilan masuk dari nomor-nomor tak dikenal.
Listi, adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang berdiri di garis depan perjuangan melawan ketidakadilan di Bengkulu. Ia sudah menghabiskan lebih dari 26 tahun “bergelut” bersama komunitasnya membantu perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, termasuk korban ketidakadilan gender untuk mendapatkan akses keadilan.
Di balik perjuangannya yang tanpa pamrih, Listi tidak menapik ancaman fisik dan psikologis kerap menghantui kerja-kerjanya. Menjadi perempuan pembela HAM bukan perkara mudah, apalagi jika berfokus pada isu sensitif seperti kekerasan seksual termasuk isu kekerasan yang melibatkan aparat sebagai pelaku.
Ancaman, lanjut Listi selalu datang dari berbagai arah. Mulai dari pelaku kekerasan yang merasa terancam dengan proses hukum, hingga pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan untuk membungkam suara perempuan korban. Bahkan termasuk oknum perangkat desa yang memaksa mengambil alih kerja-kerja Listi dalam proses pendampingan.
“Bukan sekali dua kali, ketika warga sudah meminta saya mendampingi, bahkan memberikan surat kuasa, ada saja oknum kades dan oknum aparat yang memaksa mencabut kuasa saya. Berdalih akan menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan,” papar Listi.
“Ada juga pernah mengancam sampai mau membunuh, termasuk mengancam keselamatan keluarga. Saya dipaksa harus berhenti membantu korban, padahal korban kalau tidak dibantu mereka benar-benar “buta” akan hukum,” terangnya.
Saat hal tersebut terjadi, Listi tidak memiliki pilihan lain, kecuali diam. Listi mengaku enggan melaporkan ancaman-ancaman tersebut. Baginya ancaman tersebut adalah risiko atas pekerjaan yang dia pilih.
“Ketika saya melapor, yang saya dapat hanya janji-janji tanpa tindakan. Makanya jadi malas untuk melapor, energi kita habis sementara kita masih harus memikirkan yang lain,” keluhnya.
Meskipun menghadapi banyak tantangan dan hambatan, Listi tidak pernah menyerah. Kurun 26 tahun berkecimpung dalam layanan pendampingan dan advokasi hukum korban, membuat Listi menjadi “bebal”.
“Bersyukur keluarga saya sudah “terbiasa”, bahkan anak perempuan saya ingin menjadi sarjana hukum. Supaya bisa melanjutkan kerja-kerja yang sudah saya lakukan,” katanya.
Dukungan dari jejaring organisasi perempuan di Bengkulu menjadi salah satu support system yang membuat Listi memilih terus mendampingi para korban, memberikan dukungan psikologis, dan memperjuangkan hak-hak mereka (korban, red) hingga di meja hijau.
Sebagai pendamping korban, Listi juga rentan mengalami secondary trauma, di mana ia bisa merasakan kembali rasa sakit dan trauma yang dialami korban dampingannya. Untuk menghadapi tekanan ini, Listi mengaku memiliki cara tersendiri.
“Mungkin karena sudah bertahun-tahun, sudah banyak asam dan garam yang dilewati, jadi ketika ada rasa yang tidak mengenakan, saya memilih untuk membagikan dengan rekan-rekan se-profesi, rekan perempuan di jaringan perempuan,” paparnya.
“Kita mungkin tidak bisa mengubah semuanya dalam semalam. Tapi jika kita bisa membantu satu orang korban saja untuk mendapatkan keadilan, itu sudah menjadi kemenangan besar bagi saya,” pungkasnya.
Baca juga: Perempuan Sungai Lemau Berjuang Melawan Krisis Iklim
Minim perlindungan, rentan ancaman
Cerita tentang Listi hanyalah salah satu dari banyak perempuan pembela HAM di Bengkulu yang bekerja tanpa lelah meski terus-menerus diintimidasi.
“Kawan-kawan yang bekerja sebagai pendamping sering diintimidasi karena mendampingi korban salah satu bentuknya ancaman dan cemoohan,” ungkap Koordinator PPHAM Bengkulu, Joti Mahulfa.
Sementara, kata Joti, kerja-kerja yang dilakukan PPHAM adalah kerja-kerja yang sifatnya jangka panjang, long term, bukan short term.
“Namanya pendampingan, itu tidak sesaat, bisa bertahun-tahun, agar korban bisa pulih. Namun lagi-lagi apa yang dikerjakan PPHAM tidak dianggap. Kadang keluarga korban yang didamping malah marah-marah,” katanya.
Serupa disampaikan Ketua Jaringan Peduli Perempuan Bengkulu (JPPB), Fonika Thoyib. Ketika perempuan bekerja sebagai pembela HAM, kerap kali mendapat anggapan negatif yang secara psikis merendahkan pekerjaan.
“Masyarakat kita masih melihat perempuan pembela HAM seolah-olah kurang pekerjaan, pekerjaan yang nggak ada uangnya, mengurusi hidup orang lain, pemberontak, melawan arus, bahkan dianggap menolak kodrat,” jelasnya.
Kondisi lain yang ditemui PPHAM di Bengkulu adalah penyogokan dalam kerja-kerja mereka. Fonika bercerita bahwa sampai saat ini para perempuan pembela HAM seringkali disuap oleh pihak pelaku untuk berhenti membela korban, tidak hanya itu ancaman fisik juga turut mengintai mereka.
“Dulu pernah ketika kita menangani kasus perkosaan, keluarga pelaku mengantarkan segepok uang, itu sangat banyak terjadi sampai hari ini. Menurut saya itu juga menjadi tantangan bagaimana kita sebagai perempuan sudah mendedikasikan diri untuk menjadi pembela HAM itu ternyata tidak semua kemudian bisa menolak itu lalu ikut dengan situasi yang dihadapi,” terangnya.
Fonika mengimbau, sudah selayaknya pemerintah mendukung kerja-kerja pembela HAM dalam bentuk mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membantu proses-proses pendampingan.
Namun sayangnya, menurut Fonika anggaran untuk bidang pemberdayaan perempuan di UPTD Kota Bengkulu masih minim sekali. Belum lagi, personelnya sangat terbatas.
Termasuk ada anggapan seolah-olah jika bergabung ke UPTD Pemberdayaan Perempuan dianggap tidak strategis, tidak ada uangnya, dan melelahkan. Padahal peraturan di Indonesia sudah mengamanatkan untuk menegakkan perlindungan terhadap perempuan melalui UU TPKS, UU PKDRT, KUHP dan peraturan turunan lainnya.
“Ketika anggaran tersedia dengan baik, legislatornya punya perspektif tentang ini, maka PPHAM bisa bekerjasama dengan UPTD-UPTD tertentu untuk membantu organisasi perempuan pembela HAM ini. Mungkin ada transport yang disediakan, misalnya ada satu kendaraan yang bisa dipakai untuk mobilisasi melakukan pendampingan advokasi,” paparnya.
Baca juga: Absennya Rumah Aman bagi Korban Kekerasan Seksual di Bengkulu
Minim hak ekosob, diabaikan negara
Kenyataan banyak pembela HAM bekerja di sektor non profit membuat mereka tidak memiliki jaminan kesejahteraan dan rentan secara finansial. Kondisi ini jelas jauh berbeda dengan para pekerja swasta yang bekerja di lembaga profit atau pekerja di pemerintahan yang BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaannya ditanggung oleh instansi mereka.
Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka kenyataan kontradiktif ini mencerminkan bahwa negara belum benar-benar melihat pekerjaan (PPHAM, red) ini penting dan penuh resiko sehingga perlindungan dan jaminan kesejahterannya masih terus diabaikan.
“Ada banyak aktivis yang celaka karena disengaja oleh pihak lawan. Cerita teman-teman saya yang pernah membela masyarakat adat yang menentang perusahaan di daerah mereka kemudian motor mereka dibuat blong remnya sehingga kecelakaan. Saat hendak mendapatkan pengobatan mereka kesulitan karena lembaganya juga tidak memiliki dana yang cukup,” terang Mike.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2013-2023 setidaknya ada 100 kasus yang menimpa perempuan pembela HAM di Indonesia. Laporan Kajian Cepat Kriminalisasi terhadap Perempuan Pembela HAM, pada 2 Desember 2021 mencatat serangan terhadap PPHAM juga terjadi melalui siber, seperti doxing, hacking(peretasan), stalking, persekusi, fitnah, dan serangan dos (denial-of-service) pada organisasi PPHAM atau media daring (online) yang memberitakan atau mengangkat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Bahkan keluarga PPHAM mengalami intimidasi dan ancaman sehingga kehilangan hak atas rasa aman dalam kehidupannya.
Hasil temuan Komnas Perempuan dalam kajian kriminalisasi PPHAM juga memperlihatkan pasal 27 dan 28 UU ITE seringkali dijadikan dasar dalam melakukan kriminalisasi terhadap PPHAM. Kriminalisasi PPHAM dan serangan siber berdampak buruk bagi PPHAM dan menghambat kerja-kerja pemajuan HAM perempuan di Indonesia.
Sayangnya, pembungkaman melalui ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi, keberadaan PPHAM belum dilindungi. Media mencatat bahwa pasal yang kerap disangkakan pada PPHAM yaitu Pasal 27 ayat 3, pasal 14 ayat 2, pasal 15 Undang-Undang ITE serta pasal 310, 311, dan Pasal 55 KUHP (Kompas.com). Diantara kriminalisasi tersebut, tidak jarang PPHAM dianggap sebagai tuduhan pembuat makar dan provokatif terutama dalam kasus-kasus konflik Sumber Daya Alam dan politik.
Komnas Perempuan meyakini bahwa kekerasan dan serangan terhadap PPHAM adalah fenomena ‘gunung es’ mengingat banyak kasus yang tercatat adalah kasus-kasus yang dekat dengan akses layanan, informasi dan media. Sementara ada banyak kasus-kasus yang tidak terlaporkan dengan berbagai faktor penyebab.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, mengatakan PPHAM memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembela HAM lainnya, hal ini berkaitan dengan kontruksi peran gender dalam masyarakat.
“Kekerasan atau serangan terhadap PPHAM tidak dapat dilepaskan dari belum diakui dan dijaminnya perlindungan terhadap pembela HAM termasuk PPHAM,” terangnya.
Siti menambahkan memang terdapat sejumlah kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan untuk PPHAM seperti Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (ANTI SLAPP) untuk yang memperjuangkan hak atas lingkungan, dan pedamping tindak pidana kekerasan seksual yang tidak boleh digugat secara perdata atau pidana karena memperjuangkan hak-hak asasi manusia/perempuan.
Senada dengan Mike, Siti menilai hal ini belum cukup mampu melindungi berbagai bentuk perjuangan yang dilakukan PPHAM.
“Tapi hal ini belum cukup, mengingat kerja-kerja PPHAM juga meliputi berbagai isu dan rumpun hak asasi manusia. Karenanya ke depan dalam Revisi UU HAM, menjadi penting untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Perempuan Pembela HAM,” tegasnya.
Mike menilai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia masih belum cukup untuk memastikan perlindungan hukum karena belum memberikan pengakuan yang jelas terhadap kerentanan bahaya yang dialami para PPHAM saat menjalankan tugasnya.
Menurutnya, perlu ada aturan yang diturunkan secara teknis dan kebijakan lintas kementerian yang dapat melihat dan memastikan kesejahteraan sekaligus menjadi jaring pengaman bagi mereka yang bekerja dalam garda terdepan advokasi ini.
“Misalnya dibuat Peraturan Menteri bahwa lembaga-lembaga di mana pembela HAM khususnya perempuan bekerja harus dipastikan memberikan perlindungan terhadap pekerja mereka. Kalau tidak mampu mengcover BPJS, bagaimana caranya asuransi ini bisa dibantu negara. Berartikan harus dipastikan bahwa mereka juga tercatat, kadang-kadang juga tidak tercatat, ini yang harus dibenahi,” jelasnya.
Tak hanya soal jaminan perlindungan, Mike turut menyoroti sistem di pemerintahan yang masih menganggap bahwa para pejuang HAM sebagai posisi yang netral, dalam hal ini tidak melihat kerentanan yang mungkin dialami kelompok tertentu dalam menjalankan kerjanya.
“Memang semua orang harus sama di mata hukum apalagi jika dia pelaku, tetapi ada perlakuan yang harus dirujuk ketika misalnya dia adalah seorang ibu, sedang hamil, atau sedang menstruasi, dimana ini menurut saya belum sampai seperti itu,” jelasnya.
Oleh karena itu, Mike berharap semua turunan aturan dan kebijakan perlindungan terhadap pembela HAM harus berperspektif gender dimana mengakui adanya perbedaan kondisi yang dialami perempuan dan laki-laki.
Menurutnya sistem perlindungan hukum harus melihat kondisi bahwa perempuan punya beban domestik yang berlebih dibanding laki-laki, ketimpangan finansial, dan perbedaan lainnya yang juga harus dipertimbangkan ketika berhadapan dengan PPHAM.
Minimnya perspektif gender dalam memandang Pembela HAM
Salah satu tantangan utama yang dialami PPHAM adalah cara pandang diskriminatif terhadap perempuan yang masih ada di masyarakat, pemerintah, penegak hukum, dan aparatur negara.
Pandangan patriarki yang menempatkan perempuan dalam peran domestik melihat sosok pejuang dan pembela HAM adalah laki-laki bukan perempuan, akibatnya kemampuan dan kepemimpinan perempuan seringkali tidak diakui. Ketika menyuarakan sesuatu, perempuan cenderung tidak didengar dibandingkan ketika rekan laki-laki mereka yang menyuarakannya.
“Negara ini masih melihat bahwa pejuang, seorang pemimpin, yang menantang bahaya, itu adalah laki-laki. Karena perempuan dianggap ranahnya di domestik, jadi tidak mungkin jalurnya di luar. Jadi ketika perempuan ada dalam situasi tersebut, itu tidak terpotret oleh negara. Padahal seharusnya pandangannya sama, tidak boleh disepelekan,” jelas Mike.
*) Betty Herlina turut berkontribusi dalam penulisan artikel berita ini.
*) Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama Women’s Media Collabs, didukung oleh IMS – International Media Support dan European Union.
Beritanya sangat menarik dan apa yg disampaikan memang merupakan Realita yg terjadi, kekerasan terhadap perempusn dan anak ini masih tinggi dan ini merupakan Tanggung Jawab kita bersama di mulai dari lingkungan terkecil keluarga, masyarakat bahkan ke lingkuang yang lebih tinggi dari unsur dan berbagai lembaga yg ada sehingga angka kekerasan terhadap anak dan perempuan bisa diturunkan bahkan kalau bisa tidak terjadi.
Terima kasih kak sdh mampir di Bincang Perempuan…