Bincangperempuan.com– “Sebagai Gen Z kita sering dilabeli pemalas, nggak mau bekerja keras, lemah. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu,” kata Lena Susanti.
Menolak keras stereotip yang mengungkung generasinya, Lena mengamini bahwa Gen Z juga bisa berkontribusi terhadap sesama dalam mengusung isu-isu yang tidak mendapat cukup perhatian dari generasi sebelumnya.
Lena meluapkan kekhawatirannya terhadap suara-suara marginal yang masih kerap tersisihkan dari telinga masyarakat, seperti diskriminasi ragam gender, larangan pendirian rumah ibadah, hingga pernikahan di bawah umur.
“Bagaimana kita bisa aman dan nyaman di negara kita sendiri, saat permasalahan seperti ini masih terjadi?,” lanjutnya.
Bibit-bibit ketertarikan Lena terhadap keberagaman bermula dari buku-buku dan tayangan televisi. Berkaca pada pengalaman kala SMA, Lena mengaku merasakan keresahan melihat keberadaan kelompok superior yang berusaha menekan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Ada masa Lena merasa tidak bisa bebas berekspresi dan dibatasi ketika berinteraksi dengan orang-orang yang dianggap ‘berbeda’.
“Setelah itu aku bergabung komunitas pelestarian cagar budaya. Di sana lingkungannya lebih inklusif, dan aku mulai bisa melihat keindahan dari beraneka ragam manusia,” terangnya.
Meneruskan pendidikannya di jurusan antropologi, Lena bersyukur bahwa studi ini membukakan pintu pada ilmu-ilmu yang sejalan minatnya. Pada awal masuk perkuliahan, Lena memberanikan diri mengikut program Jelajah Toleransi oleh Indika Foundation yang memberinya kesempatan bertandang ke Poso dan Palu.
“Di sana aku belajar tentang daerah pasca-konflik, mengunjungi sekolah perempuan, tinggal bersama masyarakat setempat. Itu jadi pembelajaran yang sangat berarti dan terus ku ingat sampai sekarang,” lanjutnya.
Visi Lena merangkul keberagaman didukung pula dengan lingkungan pergaulannya yang tidak menutup diri dari penganut lintas iman, kelompok disabilitas, masyarakat adat, hingga orang-orang dengan keberagaman gender non-normatif.
“Biarpun kami berbeda-beda, aku justru menemukan keterikatan pada hubungan manusia seperti ini. Rasanya kayak dapat energi baru yang membuatku ingin ikut memperjuangkan hak-hak mereka.”
Lena kini berkecimpung sebagai content creator yang aktif menceritakan keberagaman dan toleransi. Selayaknya Generasi Z yang akrab dengan digitalisme, Lena tak luput menggunakan media sosial sebagai kanvasnya berkarya dan bersuara. Sedikit banyaknya, konten-konten Lena juga beririsan dengan isu kesetaraan perempuan dan kesehatan reproduksi.
“Dulu aku sempat bikin konten video, tapi ternyata cukup rumit pengerjaannya. Jadi aku pindah haluan membuat gambar-gambar sederhana yang dilengkapi narasi,” kata Lena.
“Gak hanya bisa membawakan isu-isu penting, sekarang aku juga lebih leluasa menyalurkan hobi, bahkan dapat benefit. Aku anggap itu sebagai dukungan tambahan agar tidak pernah lelah bersuara,” lanjut Lena.
Perjalanan Lena sebagai content creator membawanya berkolaborasi dengan berbagai komunitas yang menjunjung visi-misi serupa, seperti Sahabat Pandu, YIPC Indonesia, dan Beda Itu Biasa. Media sosial sarana bagi Lena untuk mendengungkan kisah-kisah kelompok terpinggirkan yang jarang disorot oleh media arus utama.
Berbeda dengan media mainstream yang cenderung satu arah dan menaungi suara dominan, Lena menganggap media alternatif sebagai tempat yang lebih inklusif untuk membahas topik seperti keberagaman dan kesehatan reproduksi, sehingga mampu mewadahi individu-individu yang memiliki keresahan serupa atau ingin mengedukasi diri.
Lena menyadari jelas bahwa isu yang diangkat masih dianggap remeh, bahkan tabu. Hal ini tak lepas dari stigma turun temurun yang masih menyasar kelompok-kelompok rentan, dicap sesat, melawan norma, hingga menerima perilaku dehumanisasi.
“Media sosial berperan meningkatkan inklusivitas, tapi kurasa kita tetap perlu melakukan dialog terbuka. Supaya kita bisa menurunkan ego dan sama-sama mengerti bahwa ketimpangan yang terjadi sekarang tidak bisa dianggap ‘normal’.”
Menilik situasi saat ini, Lena menyayangkan betapa “perbedaan” masih berselisih dengan pandangan normatif dari kelompok dominan. Alih-alih dibiarkan berjalan bersisian, keberagaman menjadi polemik tidak berkesudahan yang terus diadu titik benar dan salahnya.
“Contohnya waktu pemilu gitu, banyak kampanye yang menyerukan kelompok keberagaman gender sebagai penyimpangan, sampai harus dikaitkan dengan narasi-narasi negatif seperti kemunculan bencana dan penyakit HIV. Padahal mereka juga manusia seperti kita,” ungkap Lena.
Komitmen Lena menyuarakan keberagaman sering kali bersinggungan dengan banyak tantangan. Lena beberapa kali mendapat komentar tidak mengenakkan dari warganet.
“Pernah dibilang sok menggurui, sesat, terjerumus liberalisme, bahkan ada yang sampai mengaitkan ke busanaku juga, ‘Berkerudung tapi kok ngomongin orang-orang menyimpang’,” terang Lena blak-blakan.
Membuat konten-konten dengan isu sensitif mewajibkan Lena melakukan riset mendalam guna menghindari misinformasi. memastikan isu yang diangkatnya mampu merefleksikan realita dengan objektif. Adakalanya Lena juga terpaksa melakukan self-censorship untuk melindungi diri.
“Aku tidak berusaha menekankan mana yang benar dan salah. Inti pesan yang ingin kusampaikan adalah agar kita tidak menyakiti sesama dan menganggap satu sama lain sebagai manusia yang juga punya hak untuk dipenuhi,” katanya.
Terlepas dari ketulusan berkarya untuk merayakan keberagaman, Lena mengakui bahwa pilihan menjadi content creator juga menempatkannya pada posisi rentan. Tidak hanya menghadapi reaksi pro dan kontra dari wargent, pekerjaan yang dilakoni Lena pun masih dipandang sepele oleh sejumlah pihak. Di balik jam kerja yang dianggap fleksibel, Lena harus mengerahkan waktu dan tenaga yang tidak sedikitpun dengan apresiasi yang tak selalu setimpal.
“Tidak ada jaminan kesehatan, ekonomi, perlindungan, ataupun perjanjian kerja memadai bagi content creator. Biaya hidup sekarang tidak terjangkau, dan sebagai content creator kami harus kerja lebih ekstra, tapi ya hasilnya gitu-gitu aja,” katanya.
Sebagai Generasi Z yang telah memasuki gerbang dewasa, Lena melihat betapa kompleksnya permasalahan di dunia, terutama Indonesia dengan perkara keberagaman yang menurutnya tak bisa dilepaskan dari masalah struktural dan kapitalisme.
Lena terus berupaya bersuara untuk kehidupan yang lebih baik. Bukan hanya bagi diri sendiri, melainkan juga mewakili orang-orang yang tak memiliki kemampuan untuk mengutarakan harapan mereka.
“Ada banyak jenis manusia di dunia ini. Ada saja hal yang kita nggak tahu dari mereka, yang rupanya bermakna. Menurutku itu perlu diceritakan.”
Baca juga: Gen Z, Generasi Stroberi atau Pahlawan Serba Bisa?
Meski sering dipandang rendah, Lena menemukan masih banyak pemuda yang membentuk gerakan kolektif dan inovatif. Dia memberi contoh kawan-kawan di Gowa yang mendirikan sekolah untuk memberi akses pendidikan bagi masyarakat adat, serta petani-petani muda di Maros yang menanamkan edukasi bertani organik dan kepercayaan diri atas profesi yang mereka ampu.
“Tapi kita anak muda tidak bisa bekerja sendiri, kita juga perlu dukungan dari lembaga, pemerintah, dan masyarakat untuk merealisasikan ide-ide untuk pemberdayaan.”
Lena memiliki harapan terhadap dunia di mana orang-orang bisa lebih memahami diri mereka, menurunkan ego, dan menciptakan kehidupan aman serta nyaman bagi seluruh insan manusia, “Supaya orang-orang bisa berdaya tanpa dibatasi oleh perbedaan fisik, agama, budaya, ekonomi, gender, dan orientasi mereka,” pungkasnya.
Rumah dan Kesadaran untuk Masa Depan yang Lebih Baik
“Setiap generasi punya masalahnya masing-masing. Semua masalah ‘besar’ pada konteks situasinya kala itu,” terang Zahra tatkala ditanya pendapatnya tentang Generasi Z.
“Kita nggak bisa secara subjektif memukul rata bahwa generasi kita paling lembek, paling berat beban hidupnya, paling visioner, ataupun paling ber-privileged. Balik lagi, Gen Z mana yang dimaksud?,” katanya.
Zahra tidak memungkiri bahwa generasinya hidup dengan situasi yang lebih baik. Membandingkan dengan generasi terdahulu yang masih lekat akan budaya represi dan konservatif, mayoritas Gen Z saat ini lebih stabil dan berkecukupan. Mereka punya cukup waktu untuk memperjuangkan hal-hal yang belum terselesaikan di generasi sebelumnya.
Tumbuh besar di keluarga serba berkecukupan justru memantik pertanyaan yang seterusnya Zahra bawa hingga dewasa. “Sejak dulu aku selalu penasaran, kenapa ada orang kaya dan miskin?” katanya.
Lulus dari fakultas hukum, Zahra melanjutkan perjalanannya mengadvokasi buruh di serikat pekerja SEMESTA dan mendalami gerakan ekonomi kerakyatan di Koperasi Kepakaran KEN8. Kedua pengalaman ini memberi Zahra kesempatan untuk terjun langsung ke lapangan, membuka matanya terhadap isu-isu di masyarakat yang ternyata bersifat multidimensi.
“Dulu aku merasa riweuh dengan masalah-masalah yang diberitakan media. Rasanya buruk banget situasi sekarang, cuma bisa marah aja. Di serikat dan koperasi, aku belajar mengurai pemikiranku dengan kepala dingin, memetakan akar-akar permasalahan untuk memahami alasan yang membuat kita sampai pada titik ini,” lanjutnya.
Pertemuan dengan teman-teman yang memiliki good intention dan spirit menyadarkan Zahra tentang banyaknya alternatif yang bisa dia lakukan terhadap dunia saat ini. “Untuk membayangkan dunia yang utopis kamu butuh imajinasi. Kalau kamu stuck with yourself, stuck melihat dunia sebagaimana media menggambarkannya alih-alih berinteraksi dengan orang yang mengalaminya secara langsung, imajinasimu nggak akan berkembang,” lanjutnya.
Pada tahun lalu, Zahra memutuskan mengambil studi pasca sarjana. Saat ini dia sedang menyusun tesis yang didasarkan pada salah satu keresahannya, yakni mengenai sukarnya masyarakat memiliki rumah.
“Sebenarnya aku tertarik sama konsep co-housing yang menekankan kepemilikan hunian bersama. Tapi agak sulit untuk menuliskannya dari perspektif hukum,” kata Zahra. “Setelah diskusi sama beberapa NGO yang punya concern di isu perumahan, aku memutuskan mengambil topik reforma agraria. Pun sebenarnya baik co-housing dan Reforma Agraria ini merespon isu yang sama, yaitu kelangkaan tanah karena ketimpangan kepemilikan lahan.”
Reforma agraria merupakan kebijakan untuk menata kembali susunan kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber daya agraria, termasuk tanah, guna mengatasi ketimpangan. Saat ini Reforma Agraria menjadi konsep yang sedang gencar diupayakan kembali di Indonesia, salah satu yang sedang diteliti oleh Zahra adalah untuk kasus advokasi warga dengan permukiman informal di kota-kota besar yang rawan mengalami penggusuran karena tidak memiliki kepemilikan tanah yang legal seperti sertifikat tanah.
“Aku merasa 2-3 tahun belakangan, tanah semakin jadi barang langka. Kita hampir mustahil untuk membangun atau punya rumah.” ujar Zahra.
Zahra menuturkan sulitnya mendirikan rumah ketika harga-harga tanah terus melonjak tinggi. Kepemilikan lahan dan aset tidak jauh-jauh dari bisnis kapitalis atau orang-orang yang memang ‘berduit’. Tidak hanya membuat peluang hunian kian tipis, Zahra mendapati masalah ini juga berdampak pada tatanan kota. Di tempatnya tinggal, bukan pemandangan asing menemukan kafe atau bisnis-bisnis kapital mulai mengintervensi wilayah pemukiman.
“Ini masalah kompleks. Kebijakan seperti Tapera menurutku juga nggak akan menyelesaikannya. Masalah ini bukan sesederhana ‘rakyat butuh rumah, jadi kita kasih rumah’,” ungkapnya.
Zahra mengungkapkan, salah satu akar permasalahan tempat tinggal adalah kebijakan yang tidak melindungi kesejahteraan tenaga kerja. Banyak dari mereka digaji minim. Sehingga jangankan rumah, kebutuhan primer pun belum tentu dapat terpenuhi.
“Ambil contoh, gaji UMR Jogja 2,5 juta, tapi di sini harga tanah bisa sampai 2 milyar,” lanjut Zahra.
Baca juga: Gen Z, Generasi Stroberi atau Pahlawan Serba Bisa?
Rumah adalah satu dari banyaknya problematika struktural yang menjadi perhatian Zahra. Pada intinya, memperjuangkan kesejahteraan dan inklusivitas adalah hal penting bagi teman-teman seangkatannya. “Karena kita semua terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung.”
“Sering kita berpikir, semakin ke sini, kita semakin tidak baik-baik saja,” ucap Zahra. “Kita tahu ada yang salah. Hanya saja, kita nggak tutup mata. Kita punya kesadaran untuk berbuat sesuatu.”
Zahra mengaku sering membuat unggahan sambat di media sosial, “Kritik pemerintah, macam-macam.” Langkah-langkah kecil seperti ini menjadi caranya untuk mengekspresikan kepedulian terhadap isu-isu yang masih santer terjadi.
Dirinya pun aktif bergabung pada volunteering dan acara-acara sosial guna membentuk lingkungan satu frekuensi. Bagi Zahra, salah satu tantangan di masa sekarang adalah menemukan lingkaran sosial yang bisa mendukung kesadaran diri dan menciptakan ruang diskusi. Pasalnya, tidak semua orang memiliki kesadaran yang sama tentang apa yang dianggap penting’.
“Di setiap generasi akan selalu ada orang-orang seperti ini. Tapi kita harus tetap berharap bahwa semua orang bisa membangun kesadaran dan bersuara.”
Zahra mencontohkan bagaimana masyarakat kini mulai aware setelah gerakan #KawalPutusanMK di bulan Agustus lalu. “Makin banyak konten-konten julid, yang walau sifatnya receh, tapi pembahasannya ke politik. Menurutku, ini pertanda orang-orang sedang di tahap membangun kembali kesadaran, setelah kita sempat ‘dimatikan’ karena kefanatikan politik dan pemerintah yang opresif di periode-periode sebelumnya.”
Membangun kesadaran terhadap isu-isu terkini bukan hanya ranah milik mereka yang berpendidikan atau penyandang jabatan kredibel. Orang-orang tidak harus pintar politik, tidak harus turun langsung ke jalan, atau membuat perubahan instan yang sifatnya revolusioner untuk menyadari ada sesuatu yang ‘salah’ dengan sistem di mana mereka hidup. Zahra mempertegas bahwa untuk membangun kesadaran kolektif, diperlukan peran dari semua pihak
“Berat banget beban itu kalau harus dibawa sendiri.”
Zahra kelak bisa lebih banyak tercipta ruang inklusif untuk membahas isu-isu terkini yang merangkul perempuan dan orang-orang minoritas gender. “Selama ini kita berusaha memberi ruang aspirasi, tapi perubahannya nggak instan. Ini masih jadi PR jangka panjang.”
Perasaan pesimis acap kali datang. Media dan publik seakan memperlihatkan gambaran dunia yang buruk, seolah-olah mereka tidak lagi bisa berbuat sesuatu. Namun pada saat bersamaan, Zahra menemukan harapan dari sudut pandang lain. Dia teringat dengan cara yang pernah diikutinya di masa silam dengan The Future is Gentle, dimana audiens dari berbagai latar belakang berkumpul dan menyampaikan aspirasi mereka.
“Di sana aku melihat masih ada harapan. Isu queer & LGBT mulai naik lagi dan ada upaya inklusivitas, orang-orang bisa menjadi dirinya sendiri, orang-orang mulai berusaha bangkit dari trauma yang mereka bawa dari generasi sebelumnya.”
Zahra melanjutkan, “Masalah itu banyak, tapi pada saat bersamaan the future is gentle jika kita mengetahui orang lain masih bisa berwelas asih pada dirinya, pada komunitas, dan orang-orang di sekelilingnya,” pungkasnya.