NAMANYA Yulia Suparti. Cerita tentangnya yang konsisten mengelola sampah menjadi pupuk organik sudah tersebar hingga ke mancanegara. Dia bukanlah peneliti, bukan pula akademisi, bukan pula praktisi. Namun kecintaannya terhadap lingkungan, terutama dalam pengelolaan sampah membuatntya dikenal sebagai inovator pupuk organik cair atau mikro organisme lokal (MOL) yang dihasilkan dari sampah organik rumah tangga.
“Nanti saya bikinkan rujak. Saya punya bahannya,” ucap Yulia Suparti kala bincangperempuan.com menghubunginya untuk berbincang-bincang.
Sajian beragam buah yang dihasilkan dari tanaman yang dia tanam di pekarangan rumah itu tentu saja sehat, karena dipupuk dengan pupuk organik yang dia produksi sendiri. Setiap tamu yang datang ke rumahnya, memang selalu ditawarinya untuk mengonsumsi buah-buahan hasil kebun pekarangan rumahnya. Dia tak pernah menghitung berapa jumlah tanaman buah yang ada di pekarangan.
“Buah-buahan ini saya tanam sendiri. Bisa dibuat rujak, jadi nggak usah beli. Dijamin sehat,” katanya sembari mempersilakan bincangperempuan.com mencicipi hasil kebunnya, Rabu (11/8).
Dia mulai berkisah. Sejak 2007 ibu tiga anak ini mulai aktif membagikan pengalamannya serta pengetahuan yang dia miliki dalam memanfaatkan sampah menjadi pupuk padat dan pupuk organik cair. “Semua nggak usah lihat ilmu (latar belakang pendidikan, red), hanya perlu kesadaran untuk menciptakan lingkungan yang sehat,” ungkap guru fisika SMPN 11 Kota Bengkulu ini.
Wanita kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 1972 ini mengakui kerap mendapat pertanyaan, kenapa guru fisika mengelola sampah? Kok mau repot-repot mengelola sampah? Tak jarang dia pun mendapat cibiran dari lingkungan masyarakat. Apalagi dia juga bergaul dengan banyak laki-laki untuk kepentingan pengelolaan sampah ini.
“Urusan saya sama Tuhan. Itu saja. Kalau kita kerja urusan sama Tuhan itu aman. Mau dijelekkan nggak masalah. Saya memang banyak kerja dengan laki-laki. Itu yang bikin jadi gunjingan tetangga. Tapi saya cuek saja. Silakan mau ngomong apa,”
Yulia Suparti
Menurutnya kebiasaan baik memang harus dimulai dari hal kecil. Contohnya di rumah. Dia memilah sampah kemudian mengolahnya. Lingkungan pekarangan pun ditanami dengan berbagai tanaman bermanfaat. Tak heran bila rumahnya tampak asri dan sejuk.
Bahkan, tetesan hujan yang jatuh di pekarangan rumahnya tak pernah terbuang sia-sia. Air hujan ditampung dalam sebuah kolam ikan. Air beserta kotoran ikan itu kemudian digunakan untuk menyiram tanaman. Sampah dedaunan dari tanaman pekarangan dan sampah organik rumah tangga juga diolah menjadi pupuk organik.
“Tanaman ini berguna sebagai pelindung. Jadi nggak perlu lagi pakai AC. AC itu kan gas freon, nggak bagus untuk bumi. Bisa merusak lapisan ozon. Tanaman ini lebih ramah lingkungan. Ini oksigen semua, sejuk,” katanya.
Berkat kegigihannya dalam mengelola sampah ini, Yulia kerap diundang untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan ke sekolah-sekolah. Bahkan ada pula yang belajar ke rumahnya. Yang bikin bangga, Yulia pernah diundang sebagai pemateri dalam konferensi dan pelatihan di Nepal, pada 21 – 25 April 2015 lalu.
“April 2015 saya diundang ke Nepal. Materi saya di Nepal, bahwa pengelolaan sampah menjadi pupuk organik itu harus dikenalkan sejak dini,” cerita guru berprestasi yang sukses menjadikan SMPN 11 Kota Bengkulu sebagai sekolah adiwiyata nasional ini.
Yulia tak pernah berhenti untuk belajar. Makin dia haus akan ilmu, makin banyak pengetahuan baru yang dia peroleh. Tak hanya belajar mengelola sampah penjadi pupuk cair organik, dia pun juga belajar cara membuat zat perangsang tumbuh, zat perangsang buah, dan pestisida organik dari sampah, limbah domestik dan industri rumah tangga.
Harapan terbesarnya yakni ingin menyelamatkan dunia dari pengelolaan sampah ini. Menurut Yulia, masyarakat harus terus diedukasi untuk mengonsumsi sayur dan buah yang ditanam dengan menggunakan pupuk dan pestisida organik. Mengolahnya hingga mendapatkan makanan sehat. Tujuannya tentu saja sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Sampah ini masalah dunia. Kenapa tidak dipedulikan. Kita sebagai orang yang beriman harus peduli dunia. Tuhan menciptakan, kalau kita peduli sampah peduli dengan dunia, peduli dengan makhluk hidup. Sebagai bagian dari terapan iman,”
Yulia Suparti
Hingga saat ini Yulia tak segan menggunakan tunjangan sertifikasinya untuk disumbangkan membeli bibit yang kemudian diberikan ke gereja-gereja. Ia masih terus menggali pengetahuan baru. Kali ini dia tengah mencoba menanam kacang sacha inchi. Sacha inchi atau juga biasa disebut kacang Inca merupakan jenis tanaman yang diproduksi bijinya untuk aneka produk. Tanaman yang berasal dari hutan Amazon Peru ini memang belum begitu populer.
“Kacang sacha inchi yang telah diolah menjadi minyak, nilai jualnya jauh sangat fantastis, di kisaran Rp 1 juta per liter. Bahkan, untuk minyak sacha inchi kualitas super harga per liternya bisa mencapai Rp 6 juta,” sebut Yulia.
Ada beberapa titik lokasi yang menjadi daerah percobaan. Tersebar mulai dari Kota Bengkulu, Bengkulu Tengah, hingga Kabupaten Kepahiang. Yulia mengaplikasikan pupuk organik buatannya untuk tanaman yang masuk kategori superfood yang diklaim sebagai tanaman azimat ini.
Baca juga : Retno Agustina Ekaputri : Kebijakan Ekonomi Harus Pro Perempuan
Dikatakan Yulia, tanaman jenis ini cenderung tahan terhadap iklim ekstrem, seperti kemarau dan penghujan. Kacang sacha inchi juga merupakan tanaman multimanfaat. Selain biji, daunnya bisa diolah menjadi minuman seduh seperti teh, termasuk cangkang dan ampasnya untuk bahan kue dan pakan ternak. Bijinya diolah menjadi minyak sebagai produk kesehatan, kosmetik dan juga suplemen.
“Minyak sacha inchi kaya akan nutrisi dan sumber omega 3, 6, dan 9. Bahkan omega 3 yang terkandung di dalamnya 17 kali lebih tinggi dibanding omega ikan salmon. Ikan salmon kan sangat tinggi untuk kecerdasan otak,” bebernya.
Yulia berharap ilmu yang dimilikinya ini dapat bermanfaat bagi banyak orang. Dari sampah yang diolahnya menjadi pupuk organik mampu memberikan nilai lebih. Mendukung gerakan pangan sehat yang baik bagi tumbuh kembang anak. Sehingga mampu menciptakan generasi sehat yang cerdas. Bermanfaat untuk dunia. (betty herlina)
*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.