Home » News » Bagaimana Pendekatan Kesetaraan Gender Menjadi Solusi Terbaik Mengatasi Krisis Iklim

Bagaimana Pendekatan Kesetaraan Gender Menjadi Solusi Terbaik Mengatasi Krisis Iklim

Anisa Sopiah

News

Pendekatan gender menjadi solusi mengatasi krisis iklim

Bincangperempuancom- Salah satu penyebab utama kematian pada anak-anak adalah tenggelam, demikian disampaikan Badan Kesehatan PBB (WHO) dalam studi terbarunya. Ironinya, ditemukan fakta bahwa ketika banjir bandang terjadi, anak perempuan dan perempuan berpotensi lebih besar menjadi korban daripada anak laki-laki atau laki-laki. 

Melalui salah satu interview eksklusif kami, Wakil Kepala Perwakilan United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Sujala Pant,  mengatakan keterbatasan akses menjadi salah satu penyebab persoalan tersebut. 

“Selama ini, karena berbagai alasan termasuk alasan sosial dan budaya, anak perempuan dan perempuan tidak dianjurkan untuk berenang. Bahkan, mereka tidak memiliki akses ke ruang publik seperti sungai atau kolam renang sehingga pengetahuan dan keterampilan mereka terbatas. Akibatnya, ketika bencana terjadi, mereka tidak memiliki refleks dan pengetahuan tentang cara berenang untuk dapat bertahan hidup,” terang Sujala Pant, Wakil Kepala Perwakilan , United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia. 

Perbedaan pengalaman ini, mungkin saja tidak terlihat jika menggunakan kacamata teknis dalam upaya penanganan bencana. Oleh karena itu, mengakui adanya perbedaan pengalaman, kebutuhan, dan tantangan yang dialami perempuan dan laki-laki dalam kehidupan mereka menjadi sangat penting. Bentuk kesadaran dan pengakuan atas perbedaan itulah yang menjadi inti dari pengarusutamaan gender. 

Menggunakan pendekatan berbasis gender, daripada hanya sekadar pendekatan teknis, akan melahirkan tindakan berbeda dalam upaya mengurangi risiko bencana. Menyadari adanya perbedaan pengalaman perempuan dalam mitigasi dampak bencana, maka luaran program yang dihasilkan dapat berupa pemberian pelajaran berenang untuk anak-anak perempuan di masyarakat rawan bencana. Sehingga memungkinkan penanganan yang benar-benar berhasil dan berkelanjutan. 

“Pada akhirnya, hal ini adalah tentang memahami perbedaan dan kemudian memasukkannya ke dalam tanggapan Anda dan tindakan yang Anda lakukan,” tegas Sujala. 

Laporan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) terbaru mengungkapkan bahwa iklim global yang semakin panas, dengan fluktuasi cuaca yang lebih besar, telah meningkatkan risiko banjir. Curah hujan yang semaking tinggi dan intens, diperkirakan banjir akan lebih sering dan lebih besar terjadi. Peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya menjadi lebih mungkin terjadi, baik banjir sungai musiman yang terkait dengan pencairan salju dan perubahan penggunaan lahan dan air oleh penduduk, atau banjir pesisir karena efek gabungan dari gelombang badai, curah hujan ekstrem yang dibawa oleh siklon tropis dan badai, dan aliran sungai yang deras. Melihat ancaman besar ini, tentu kita harus merespon segera dengan tetap mempertimbangkan perbedaan kebutuhan, prioritas, dan tantangan yang dialami perempuan dan laki-laki. 

Baca juga: Kolaborasi Media Perempuan Mendorong Ruang Digital Aman

Strategi merespon perubahan iklim dengan pendekatan gender 

Sujala mengatakan, semua perempuan, dimanapun dan dari latar belakang apapun, mengalami dampak dari krisis iklim. Namun, yang perlu diingat bahwa perempuan tidaklah homogen. Apa yang dirasakan oleh perempuan yang sama-sama berada di perkotaan bisa saja berbeda, begitu juga dengan prioritas perempuan yang lebih muda akan sangat berbeda dengan yang lebih tua, seorang ibu dengan perempuan lajang, terlebih seseorang yang tinggal di daerah perkotaan dengan pedesaan. 

“Jadi perbedaan-perbedaan itu ada di sana, dan dengan itu, ada juga asosiasi budaya dan sosial yang menyertai dirinya sebagai seorang individu,” terang Sujala. 

Untuk merespons hal tersebut lanjut Sujala diperlukan treatment yang beragam. Tidak bisa menggunakan pendekatan cookie cutter, dimana memberikan perlakukan yang sama dengan tidak memperhatikan perbedaaan tiap individu. Dalam memahami perbedaan, pendekatan yang dilakukan harus benar-benar spesifik terhadap kebutuhan, keadaan orang tersebut, komunitasnya, yang sejatinya datang dari kebiasaan sosial mereka sendiri. 

Sebagai individu yang kompleks, tentu tidak mudah memahami perbedaan satu sama lain yang dialami oleh perempuan. Untuk itu, strategi terbaik dalam dalam memahami perbedaan adalah dengan mendengarkan para perempuan yang terdampak untuk kemudian memutuskan bagaimana kita mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Karena perempuan adalah pihak yang paling tepat untuk menilai bagaimana hal tersebut dapat dilakukan dan apa yang perlu dilakukan.

Untuk membawa pengalaman dan suara perempuan ke meja perundingan, tentu perlu adanya upaya untuk mendorong suara dan partisipasi perempuan. Namun, ini bukan hanya sekadar jumlah kehadiran dan duduk di belakang, tetapi sejauh mana perempuan benar-benar berkontribusi aktif dalam diskusi dan keputusan yang sedang dibahas dan disepakati. 

Sujala menilai disanalah letak kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan benar-benar dijalankan. 

“Jadi, di mana perbedaan-perbedaan tersebut perlu diperhitungkan, saya pikir perempuan adalah pihak yang paling tepat untuk menilai bagaimana hal tersebut dapat dilakukan dan apa yang perlu dilakukan,” terangnya. 

Baca juga:  Bincang Perempuan Lolos Coaching SOP KBGO Perusahan Media

Praktik pengarusutamaan gender dalam penanganan krisis iklim 

Untuk mendorong kebijakan ramah gender, UNDP bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dengan kerangka rencana kerja lima tahun, jangka menengah, dan jangka panjang. Mereka bekerja dengan beragam fokus, diantaranya mendorong pergeseran hubungan kekuasaan ekonomi antara laki-laki dan perempuan, membekali perempuan agar memiliki keterampilan dan kapasitas yang diperlukan untuk berkontribusi secara bermakna, serta memastikan perempuan untuk menjadi bagian dari pengambilan keputusan.

Untuk memastikan bahwa pemerintah memenuhi kebutuhan perempuan dalam konteks perubahan iklim maka tidak hanya diperlukan komitmen saja, namun investasi keuangan dan investasi politik juga harus berjalan beriringan. Oleh karena itu, UNDP bersama Kementerian Keuangan melakukan penandaan anggaran iklim (climate budget tagging) untuk mengetahui sejauh mana dana publik diselaraskan dengan komitmen kebijakan ramah lingkungan. Tidak dapat dipungkiri, dukungan anggaran sangat penting dalam mewujudkan program-program responsif iklim yang berperspektif gender. Ini juga sebagai wujud nyata atas komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas 31,89% tanpa syarat dan 43,20% bersyarat. Dengan harapan Indonesia dapat benar-benar mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat.

“Karena kita dapat memiliki semua komitmen terbaik di dunia, tetapi jika tidak ada sumber daya keuangan, Anda hanya dapat melangkah sejauh ini, bukan? Jadi, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia, pemerintah Indonesia sangat berkomitmen untuk mengurangi dampak perubahan iklim, dan juga berkomitmen terhadap pemberdayaan gender dan hak-hak perempuan,” tegasnya. 

Di sisi lain, guna memerangi perdagangan satwa liar, UNDP melibatkan perempuan dalam upaya menjaga hutan dengan mengadakan pelatihan perempuan penjaga hutan. Secara tradisional, mungkin aktivitas di hutan jarang dikaitkan dengan perempuan. Namun, hutan sering kali, di banyak bagian dunia, dihargai lebih dari sekadar nilai ekonominya. Hutan memiliki nilai sosial, juga nilai budaya yang hakiki. Ketika perempuan merasa menjadi bagian dari upaya untuk melindungi hutan dan melindunginya dari penggunaan yang tidak berkelanjutan, jika mereka lebih terlibat, maka upaya tersebut akan lebih mungkin berhasil.

“Karena ketika mereka memiliki kepentingan, maka, itulah jenis insentif yang tepat yang Anda butuhkan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindunginya,” jelas Sujala. 

Yang tidak kalah penting dari mewujudkan net zero emission adalah mendorong transisi energi sedini mungkin. Secara tradisional, tidak banyak perempuan berada di sektor energi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% dari pengambil keputusan di perusahaan energi adalah perempuan. 

“Yang menarik sebenarnya adalah jumlah perempuan yang berada di bidang STEM, sains, teknologi, matematika, teknik, akademisi, cukup merata. Namun tindak lanjut dari hal tersebut, yaitu membawa pengetahuan dan keahlian serta kualifikasi tersebut ke dalam angkatan kerja formal, tidak setinggi yang seharusnya, mengingat banyaknya perempuan yang mempelajari hal tersebut,” kata Sujala menyayangkan fakta ini. 

Untuk mendorong lebih banyak perempuan menjadi pemimpin di sektor energi, maka kebijakan dan peraturan terkait hal ini menjadi keharusan untuk memfasilitasi jalan perempuan di sektor ini. Sujala menilai, peraturan ibarat jalan tengah yang nantinya akan mendorong kementerian, akademisi, sektor swasta, dan semua pihak untuk mulai memikirkan bagaimana mereka akan melakukan hal ini. 

Namun sejatinya, dorongan itu tidak akan bisa terwujud kalau tidak datang dari komitmen individu seseorang. Oleh karena itu, menurut Sujala, perubahan sesungguhnya  perlu terjadi di tingkat individu dan keluarga di mana kita benar-benar mempraktikkan isu-isu yang kita bicarakan di tempat kerja. Selanjutnya, skala perubahan itu bisa diperluas dengan membawa perubahan kecil dalam lingkaran kendali dan pengaruh yang kita miliki, misalnya di pertemanan dan di lingkungan kerja. 

“Kita harus memimpin dengan memberi contoh. Saya benar-benar percaya bahwa jika Anda tidak memimpin dengan memberi contoh, Anda tidak akan berhasil,” pungkasnya. 

*)Artikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs (https://jurnalisme.id/womenmediacollabs/) didukung oleh UNDP Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Alpha Girls

Problematika Alpha Girls, Apa yang Seharusnya Dilakukan?

Perceraian dan Stigma Negatif tentang Status Janda

Masyarakat mendesak pengesahan RUU PKS

Masyarakat Sipil Mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tetap Menjadi Prioritas Prolegnas

Leave a Comment