Bincangperempuan.com- Medio 2021, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan padat permukiman padat di Jakarta diketahui mengalami kekerasan fisik oleh suaminya selama bertahun-tahun. Tetangga sering mendengar suara keributan dan teriakan minta tolong, tetapi tidak ada yang melapor ke pihak berwenang. Mereka beralasan bahwa “itu urusan rumah tangga” atau berpikir bahwa orang lain akan bertindak. Kasus ini baru terungkap setelah korban akhirnya melarikan diri dan melapor ke polisi.
Fenomena ini adalah kondisi di mana keberadaan banyak saksi justru mengurangi peluang seseorang untuk mendapatkan pertolongan. Mungkin terdengar sepele, tetapi fenomena ini menunjukkan betapa diamnya kita dapat menjadi bahaya bagi mereka yang sangat membutuhkan bantuan.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan contoh nyata bagaimana bystander effect dapat memperburuk situasi korban. Menurut data Komnas Perempuan, pada tahun 2023 tercatat lebih dari 12.000 kasus KDRT dilaporkan, tetapi angka ini diyakini hanya puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak pernah terungkap.
Baca juga: 19 Tahun UU PKDRT, Mengapa Angka Pelaporan KDRT Masih Tinggi?
Apa itu bystander effect
Bystander effect adalah fenomena dalam psikologi sosial di mana seseorang yang membutuhkan bantuan tidak memperoleh pertolongan, karena orang-orang di sekitarnya hanya menjadi saksi tanpa bertindak. Hal ini terjadi disebabkan oleh asumsi bahwa orang lain akan menolong. Ketika semua orang miliki pemikiran yang sama akhirnya tidak ada yang melakukan aksi nyata. Akibatnya, seseorang yang membutuhkan bantuan hanya dibiarkan begitu saja.
Istilah bystander effect diperkenalkan oleh Bibb Latané dan John Darley, dua psikologi sosial yang pertama kali meneliti fenomena ini di tahun 1960-an. Menurut dua tokoh ini, ada dua faktor utama yang memengaruhi orang memilih untuk diam dalam situasi darurat.
Yakni, difusi tanggung jawab dimana ketika banyak orang menyaksikan peristiwa darurat, tanggung jawab untuk bertindak tersebar di antara mereka. Alhasil, setiap individu merasa bahwa tindakan untuk menolong adalah tanggung jawab bersama, bukan tanggung jawab pribadi. Mereka mungkin berpikir “Akan ada orang lain yang melakukannya.” Semakin banyak jumlah saksi, semakin kecil kemungkinan setiap orang merasa harus menolong.
Faktor lain yakni pengamatan reaksi orang lain, dalam banyak kasus, seseorang akan melihat reaksi orang lain sebelum mengambil keputusan untuk bertindak. Bila terlihat tidak ada yang bergerak, mereka cenderung menganggap situasi tersebut tidak mendesak atau tidak pantas untuk diintervensi. Ada pula kekhawatiran bahwa tindakan mereka akan disalahartikan atau dikritik, yang memperkuat kecenderungan untuk tidak bertindak.
Banyak alasan yang membuat seseorang enggan untuk menolong orang lain dalam situasi darurat. Rasa takut dalam memberikan pertolongan pertama adalah salah satu yang paling umum, terutama dalam kasus kecelakaan. Orang khawatir jika tindakan mereka malah memperburuk keadaan dan kondisi korban. Di sisi lain ada juga kekhawatiran akan menjadi tersangka atau disalahkan atas kejadian tersebut.
Tak hanya itu, seseorang juga cenderung membantu orang yang mereka kenal. Jika kejadian ini melibatkan orang asing, mereka acap kali merasa tidak ingin dianggap mencampuri urusan orang lain atau takut mendapatkan balasan negatif. Di sinilah rasa empati diuji, namun sayangnya, banyak orang yang lebih memilih bersikap apatis.
Bahaya bystander effect
Menurut data Komnas Perempuan, pada tahun 2023 tercatat lebih dari 12.000 kasus KDRT dilaporkan. Angka ini diyakini hanya puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak pernah terungkap.
Pada situasi KDRT, korban sering kali berada dalam posisi rentan, baik secara fisik maupun psikologis. Tetangga, teman, atau keluarga yang mengetahui atau menduga adanya kekerasan sering kali tidak bertindak karena berbagai alasan. Seperti takut dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
Di Indonesia, ada anggapan bahwa masalah rumah tangga adalah hal privat sehingga orang lain tidak boleh ikut campur. Hal ini menjadi salah satu alasan utama mengapa saksi KDRT sering memilih untuk diam.
Selain itu ada khawatir akan ancaman dari pelaku. Tidak jarang saksi merasa takut akan pembalasan dari pelaku jika mereka melaporkan kasus KDRT.
Termasuk masih ada anggapan orang lain akan membantu. Banyak saksi berpikir bahwa pihak lain, seperti tetangga atau keluarga korban, akan bertindak. Padahal, pemikiran ini justru membuat tidak ada yang benar-benar membantu.
Padahal dalam kasus KDRT memiliki dampak yang sangat besar, baik bagi korban maupun masyarakat secara umum. Ketidakpedulian dari lingkungan sekitar membuat korban terjebak dalam siklus kekerasan tanpa ada jalan keluar, sehingga penderitaan korban berlanjut
Kondisi ini juga menyebabkan rendahnya pelaporan kasus. Korban KDRT yang tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya sering merasa takut atau malu untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Akibatnya, ketika masyarakat tidak bertindak, kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang “biasa” atau dapat diterima, dinormalisasi yang akhirnya memperkuat budaya patriarki dan ketidakadilan gender.
Baca juga: Melihat atau Alami KDRT? Ini Cara Melaporkannya!
Apa yang harus dilakukan?
Untuk mengatasi bystander effect, terutama dalam kasus seperti KDRT, diperlukan upaya yang melibatkan kesadaran individu dan kolaborasi komunitas. Langkah ini bisa dimulai dengan melakukan edukasi masyarakat tentang bystander effect melalui seminar, kampanye, atau media sosial untuk meningkatkan kesadaran dan membangun keberanian untuk bertindak. Pendidikan tentang pentingnya empati dan kepedulian terhadap sesama harus diajarkan sejak usia dini, baik di rumah maupun di sekolah.
Membangun rasa “Jangan takut bertindak”, sehingga jika BPer’s menyaksikan atau menduga adanya KDRT, segera bertindak. Ini tidak selalu berarti menghadapi pelaku langsung, tetapi Anda bisa melaporkannya kepada pihak berwenang atau memberikan dukungan kepada korban. BPer’s juga bisa memanfaatkan aplikasi pengaduan KDRT atau layanan hotline yang tersedia untuk melaporkan kasus tanpa harus mengungkapkan identitas.
Selain itu membangun komunitas peduli, seperti kelompok masyarakat atau organisasi perempuan, dapat menjadi wadah untuk saling berbagi informasi dan dukungan dalam menghadapi kasus kekerasan.
Nah, dari sekian tips di atas, mari BPer’s bersama-sama menjadi bagian dari solusi, bukan hanya saksi yang diam. Setiap langkah kecil yang diambil dapat membawa perubahan besar bagi mereka yang membutuhkan.