Home » Tokoh » Dayah Diniyah Darussalam: Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh 

Dayah Diniyah Darussalam: Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh 

Nurul Hasanah

Tokoh

Dayah Diniyah Darussalam Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh

Bincangperempuan.com- Dayah Diniyah Darussalam yang berlokasi di Meunasah Buloh, Aceh Barat bukanlah pondok pesantren biasa. Dayah tersebut didirikan oleh Hanisah, Teungku Inong atau ulama perempuan Aceh ini menjadi tempat bernaung yang aman bagi korban kekerasan. 

Mulanya, Umi Hanisah tidak ada niatan untuk menjadikan dayahnya itu sebagai rumah aman bagi korban kekerasan. Kebetulan saat pertama kali didirikan pada 10 Oktober 2000 silam, daerah Aceh tengah berkonflik dengan pemerintah RI. 

Pada masa itu, banyak masyarakat Aceh yang menjadi korban kekerasan, mereka ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum yang jelas. Di antara mereka ada yang telah dibunuh dengan cara dieksekusi di depan umum.

Anak dan perempuan juga tidak luput menjadi korban konflik. Mereka ikut teraniaya dan kerap mengalami tindak kekerasan kekerasan seksual oleh aparat. Banyak juga di antara mereka menjadi korban pemerkosaan, kehilangan keluarga, tempat tinggal, dan terpaksa mencari naungan karena rumahnya dibakar.

Baca juga: Local Media Summit dan Dukungan Untuk Media Perempuan 

Dayah Diniyah Darussalam kemudian menjadi tempat pelarian bagi korban kekerasan. Pada masa awal didirikan, kebanyakan santri merupakan para korban yang membutuhkan tempat persembunyian akibat dikejar oleh tentara ataupun menjadi korban kekerasan seksual aparat. 

Hanisah ingat saat itu ada sekitar 35 anak perempuan yang belum genap 17 tahun masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) mengamankan diri di dayah karena dikejar oleh aparat sebab bergabung dengan kelompok kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

“Mereka dikejar karena bergabung dalam kelompok GAM, bahkan sudah latihan dan bisa angkat senjata,” kata Hanisah saat diwawancarai pada 18 September 2023. 

Pemulihan korban kekerasan lewat pendekatan spiritualitas

Korban kekerasan yang bernaung di Dayah Diniyah Darussalam punya cerita yang berbeda-beda. Namun, mereka tidak dibedakan di dayah. Cerita mereka ditutup dari santri dan dewan guru, hanya diketahui oleh Umi dan satu dewan guru kepercayaan. Interaksi mereka dengan warga dayah tidak bersekat. 

Saat bernaung di dayah, korban tidak hanya diberikan kenyamanan tetapi juga kedamaian agar dapat pulih dari trauma. Korban didekatkan dengan ilmu tauhid dan tasawuf yang sarat dengan nilai-nilai kedamaian. 

Selain itu, korban juga diikutkan tarekat naqsabandiyah yang dapat membersihkan hati dan jiwa korban kekerasan agar lapang menerima segala nasihat. Pendekatan spiritualitas ini disebutkan Hanisah telah berhasil membuat banyak korban akhirnya bisa berdaya saat kembali ke lingkungan masyarakat. 

Ia mencontohkan cerita salah seorang korban kekerasan seksual rujukan dari Aceh Barat Daya yang dilecehkan oleh kerabat dekat sampai hamil hingga kemudian terjerumus menjadi mucikari. Ia dibina oleh Umi Hanisah selama dua tahun di Diniyah Darussalam untuk kembali mengingat ajaran agama. Setelah pembinaan, korban bisa hidup lebih baik.

“Saat ini korban sudah memulai lembaran baru dan juga sudah kita berikan nama yang baru agar identitasnya yang dulu itu tidak diketahui orang,” tutur Umi. 

Masih banyak kisah sukses korban kekerasan seksual lainnya setelah mendapat pemulihan melalui pendekatan spiritualitas di Dayah Diniyah Darussalam. Beberapa korban bahkan ikut menjadi tenaga pengajar membantu Hanisah menjalankan misi dakwah dan memberikan korban kekerasan kedamaian. 

Tidak hanya itu, Hanisah juga mengajarkan prinsip kesetaraan kepada seluruh santrinya. Tujuannya untuk merontokkan kultur patriarki yang masih mengakar di kebudayaan Aceh. Sebab, kultur patriarki inilah yang juga menjadi bibit penyebab terjadinya kekerasan terutama terhadap anak dan perempuan. 

Menurut Umi Hanisah, kultur patriarki menjadi penyebab perempuan dan anak kerap menjadi korban kekerasan karena ada relasi kuasa dan pihak yang dilemahkan. Apalagi, tidak sedikit ulama laki-laki yang salah memaknai Arrijalu Qawwamuna ‘ala Nisa dalam surat An Nisa ayat 34. 

“Dalam surat itu disebutkan istri wajib menaati suami dan boleh dipukul kalau tidak taat. Padahal, asbabun nuzul surat ini adalah untuk melindungi perempuan bukan menjadi pijakan yang membenarkan kekerasan terhadap perempuan,” katanya. 

Eratnya kultur patriarki di Aceh juga dirasakan Hanisah, dirinya sering mendapatkan diskriminasi karena menjadi pemimpin di Dayah Diniyah Darussalam. Perempuan dianggap tidak pantas memimpin kalau dilihat dari kacamata fikih Islam.

Tidak hanya diskriminasi karena jenis kelamin, ia juga sering mendapat sindiran hanya karena lebih sering memakai celana yang menurut anggapan banyak orang sepatutnya perempuan apalagi ulama memakai rok bukan celana. 

Pernah diusir karena menerima korban anak pemerkosaan 

Sepak terjang Umi Hanisah menjalankan dakwah sekaligus memberikan tempat bernaung bagi korban kekerasan tidak semulus yang dibayangkan. Gagasan baiknya mendapat penolakan dari masyarakat setempat kala menerima anak berumur 15 tahun yang menjadi korban pemerkosaan oleh ayah kandung. 

Korban yang masih belia harus menerima kenyataan pahit, ia hamil akibat tindakan keji ayahnya. Bukannya dilindungi, korban malah diusir oleh keluarga dan warga desa dari tempat tinggalnya. Korban akhirnya terpaksa mencari suaka yang lain bersama adik kandungnya yang juga diusir. 

“Mereka diusir karena memandang korban mengandung anak zina, sedangkan umi dianggap menampung orang yang tidak baik dan hina,” cerita Umi Hanisah. 

Dalam beberapa kebudayaan masyarakat Aceh, korban pemerkosaan yang kemudian hamil memang sering kali diusir dari desa karena dianggap membawa petaka, kecuali pelaku pemerkosaan bukan saudara sehingga bisa dikawinkan untuk menutupi aib keluarga. 

Walaupun secara hukum Islam, hal itu tidak diperkenankan karena kebiasaannya perkawinan itu dilakukan di bawah tangan atau ilegal tanpa surat nikah. “Nanti sesudah lahir anak baru di urus surat nikah. Kalau masih mau, kalau tidak ditinggal juga. Itu untuk menutup malu dan sampai sekarang masih ada,” terangnya. 

Di sisi lain, itu pertama kalinya ia menerima anak korban pemerkosaan yang hamil. Namun, tindakan Hanisah ternyata membuat warga setempat berang. Warga melakukan aksi penolakan terhadap anak korban pemerkosaan agar tidak sampai melahirkan di tanah tempat mereka tinggal. Peristiwa itu terjadi pada sore hari tahun 2010 silam. 

“Padahal, anak korban pemerkosaan itu hanya kita terima untuk sementara karena akan kita rujuk ke rumah aman di Banda Aceh,” katanya. 

Aksi penolakan itu membuat sedih banyak santri serta dewan guru. ”Saat itu dewan guru dan santri semuanya menangis karena memang pada waktu itu banyak anak yatim piatu korban konflik dan tsunami Aceh yang kehilangan tempat tinggal,” kenang Hanisah. 

Baca juga: HIV/AIDS Ancam Generasi Muda Bengkulu, Ini Cara Mencegahnya! 

Malam harinya, Hanisah langsung hengkang dari Dayah Diniyah Darussalam yang pertama kali didirikan di Padang Mancang, Aceh Barat. Para santri serta dewan guru ikut serta langkah Hanisah. 

Bersama-sama mereka mengangkut barang yang ada ke Kantor Sekretariat Partai Aceh di desa sebelah, Meunasah Buloh. Jaraknya tidak jauh, hanya butuh waktu lima menit saja dengan berjalan kaki untuk sampai ke lokasi. 

Hanisah mendapat tawaran dari partai terkemuka di Aceh itu untuk menggunakan sekretariat sebagai lokasi baru tempat Hanisah dapat menjalankan dakwahnya. Di atas tanah berukuran setengah hektare inilah Dayah Diniyah Darussalam berdiri sampai sekarang menjadi ruang belajar agama sekaligus rumah aman bagi korban kekerasan di Aceh. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Wenni, Asanya untuk Komunitas Adat di Bengkulu

Nandina Putri, Ajak Anak Muda Bengkulu Peduli Budaya 

Leksi Oktavia, Fokus Memperkuat Penyadaran Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Leave a Comment