Home » Tokoh » Khatijah dan Kartini, Perempuan yang Luput dari Cerita Konservasi

Khatijah dan Kartini, Perempuan yang Luput dari Cerita Konservasi

Nurul Hasanah

Tokoh

Khatijah dan Kartini

Nama Khatijah dan Kartini memang belum pernah tersorot oleh catatan media mana pun sebagai pejuang konservasi. Keberadaan keduanya di Stasiun Penelitian Orangutan hanya dianggap sebagai juru dapur tak ada hubungannya dengan menjaga hutan. Padahal, mereka juga menjadi sosok penting bagian dari penjaga hutan yang ceritanya pantas diberitakan dan diketahui banyak orang.

bincangperempuan.com- Khatijah (55) dan Kartini (42) tidak dapat dapat mengingat lagi tahun saat pertama kali mereka diberikan amanat sebagai juru dapur di Stasiun Penelitian Ketambe, yaitu stasiun penelitian orangutan tertua di dunia yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Aceh Tenggara. Keduanya hanya ingat telah bekerja di sana sejak sebelum tahun 2010.

Namun, pada tahun 2011 Khatijah mengundurkan diri dari tanggung jawab sebagai juru masak untuk menjaga anak bungsunya yang masih bersekolah di tingkat sekolah dasar (SD), sedangkan Kartini berhenti pada saat stasiun penelitian tersebut mengalami kebakaran akibat konflik yang berkecamuk di Aceh.

Beberapa tahun kemudian, Khatijah dan Kartini kembali diminta untuk bekerja sebagai juru masak. Akhirnya, Khatijah menjadi juru dapur Stasiun Penelitian Taman Nasional Gunung Leuser Ketambe Aceh Tenggara pada tahun 2019, sedangkan Kartini menjadi juru dapur Stasiun Penelitian Soraya, Subulussalam pada 2017.

Keduanya sebenarnya merupakan saudara seipar yang sudah mengenal hutan dan juga banyak mengenal orang-orang yang bergerak di bidang konservasi. Tujuan mereka kembali ke dapur stasiun mulanya bukan untuk bekerja, tetapi hanya membantu atas dasar permintaan pengelola stasiun untuk menyiapkan makanan bagi peneliti tamu terutama jikalau ada yang datang dari negara asing.

Khatijah  bersedia memberi bantuan selama beberapa hari karena pengelola stasiun dalam hal ini Forum Konservasi Leuser (FKL) bersama Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dan Dinas Kehutanan Aceh kesulitan mencari orang yang mau menjadi juru dapur di Stasiun Penelitian Ketambe.

Baca juga: Mengenal KOALA, Ojek Online Khusus Perempuan di Kota Serambi Mekkah

Pengelola stasiun juga sudah sering kali menawarkan pekerjaan ini kepada orang lain. Namun, kebanyakan di antara mereka menolak karena tidak bersedia hidup sepi dalam hutan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Kalau pun ada yang bersedia, ujung-ujungnya tidak mendapat restu dari orang tua.

“Mana ada orang yang mau hidup di dalam hutan, apalagi perempuan yang masih gadis pasti takut dan tidak diizinkan oleh keluarga bekerja di sini karena cuma sendirian perempuan yang lainnya laki-laki,” tutur Khatijah.

Begitu pula Kartini, ia diminta datang dari Ketambe ke Soraya untuk membantu mengajarkan calon pekerja memasak dan mengurus segala keperluan dapur. Namun, setiba di Soraya calon pekerja yang hendak ia ajari malah meninggalkan Soraya. Pihak pengelola akhirnya meminta bantuan Kartini sebagai juru dapur selama beberapa minggu.

“Ketika pertama kali datang ke sini, orang yang seharusnya diajari memasak malah tidak ada. Jadinya, kakak diminta bantu memasak selama seminggu, terus diminta tambah lagi sampai dua minggu,” katanya.

Seiring waktu tenaga Khatijah dan Kartini terus dibutuhkan demi kelangsungan hidup di Stasiun Penelitian Ketambe dan Stasiun Penelitian Soraya hingga kemudian ditawari sebagai pekerja kontrak selama setahun dengan masa kerja 23 hari dalam sebulan oleh pihak pengelola stastiun.

Baik Khatijah maupun Kartini tidak langsung mengiyakan tawaran pekerjaan itu. Mereka menolak bujuk rayu untuk kembali menjadi juru masak di stasiun penelitian. Terutama Khatijah menolak karena tidak ingin meninggalkan anak gadis bungsunya.

Kartini pun demikian, ia ragu-ragu menerima tawaran untuk bekerja lagi sebaga juru dapur apalagi kali ini dapurnya ada di Stasiun Penelitian Soraya, Subulussam yang lokasinya jauh dari kampung halaman Kartini di Ketambe, Aceh Tenggara. Orang tuanya juga tidak memberi restu, bahkan adik laki-laki Kartini menentang dan memberi ancaman agar Kartini tidak memiliki niat untuk bekerja di sana.

Kartini
Kartini (Foto: Nurul Hasanah)

Adik laki-laki Kartini menentang sebab tidak tega dan khawatir akan keselamatan kakaknya karena mengingat medan menuju lokasi Stasiun Penelitian Soraya ini lumayan berbahaya, mereka harus menyeberangi sungai dengan sampan selama 90 menit, lalu mendaki di atas bebatuan dan jalanan yang sedikit terjal sekitar 30 menit.

“Saat pertama kali mendaki pernah tergolek karena dulu semak tidak sebagus dan senyaman sekarang,” ingat Kartini.

Namun, Khatijah dan Kartini menjadi tulang punggung perekonomian keluarga sehingga pada akhirnya mereka kembali menerima tawaran menjadi juru masak di stasiun. Sampai saat ini mereka masih bertahan melawan sepi dan menikmati pekerjaan mereka di alam.

“Makanya aku bertahan di sini karena suami tidak bisa kerja, aku pun juga tidak bekerja, anak juga masih ada yang belum menikah, kalau tidak kerja apa yang bisa kita beri makan di rumah, makanya betah kali di sini,” kata Khatijah.

Cerita Kehidupan dari Dapur Stasiun Penelitian Orangutan

Perjuangan menjadi juru dapur tidak boleh dianggap remeh pun dipandang sebelah mata. Apalagi, dapur yang dikelolanya itu berada di dalam hutan. Tentu, ada banyak tantangan untuk sekadar menyajikan makanan sederhana di atas piring.

Sejak sebelum fajar, mereka sudah harus menyuguhkan makanan sebagai bekal para konservasionis atau tamu peneliti sebelum masuk menjelajahi hutan. Prinsipnya, makanan harus tersedia sebelum perut lapar.

“Kakak tidak ingin orang menunggu nasi, tetapi nasi yang menunggu orang makan,” tegas Kartini si juru dapur di Stasiun Penelitian Soraya yang akrab dipanggil Kak Kar.

Baca juga: Marini Siregar, Ranger Perempuan Penjaga Hutan Leuser

Malahan, beberapa kali Kartini juga harus sudah menyiapkan bekal saat dini hari karena ada peneliti yang harus masuk ke dalam hutan pada pukul 04.00 WIB.

Selain cakap memasak, mereka juga harus menjadi juru dapur yang cerdas memperhitungkan ketercukupan pangan selama di dalam hutan. Sebab, jadwal belanja tidak dapat dilakukan setiap hari, hanya bisa seminggu atau dua minggu sekali.

Khatijah di Stasiun Penelitian Ketambe hanya bisa belanja setiap hari Selasa dan Jumat, sedangkan Kartini di Stasiun Penelitian Soraya hanya berbelanja setiap hari Rabu saja. Tanggung jawab belanja itu ada di mereka.

Khatijah
Khatijah saat menyiapkan sarapan pagi (Foto: Nurul Hasanah)

Untuk pergi berbelanja ke pasar pun tidak mudah, ada tantangannya. Mereka harus menyeberang menggunakan sampan untuk ke luar dari hutan. Terutama Kartini, perlu waktu 90 menit untuk sekadar menyeberang.

“Pernah kalau air sedang tinggi kami tidak bisa kembali menyeberang karena harus menunggu air surut dulu,” cerita Khatijah.

Masih banyak cerita perjuangan lainnya yang tidak diungkapkan oleh keduanya. Selama menjadi juru dapur di stasiun penelitian, sebenarnya mereka ikut menjaga hutan karena merekalah yang bersedia bekerja menyiapkan makanan disaat banyak orang lain yang menolak pekerjaan ini.

Pekerjaan ini juga bukan tanpa risiko, seperti Kartini yang pernah mendapati dapurnya diobrak-abrik oleh hewan liar saat dia seorang diri di stasiun.

Begitu pula Khatijah yang mengatakan bahwa dirinya akan berubah menjadi perempuan garang menghadapi orang-orang usil yang mengganggu ekosistem hutan. Ia akan menghentikan perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat merusak alam.

Peran Khatijah dan Kartini para juru dapur ini tentunya tak kalah penting dengan para konservasionis yang menjaga hutan. Sebab itu, namanya sudah sepantasnya tercatut dalam jejeran perempuan pejuang konservasi.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, perempuan dan hutan, perempuan dan konservasi

Artikel Lainnya

Sri Astuti, Perempuan Pelestari Budaya Rejang Umeak Meno’o

Marie Curie: Perempuan Pertama Penerima Nobel

Nurhayati, Mengabdi Jadi Kader KB Sejak 1981

Leave a Comment