Bincangperempuan.com- Bagi perempuan, menstruasi bukanlah sebuah pilihan. Seperti berniat hamil atau tidak, perempuan tidak bisa menghindari menstruasi. Sebagai siklus biologis yang rutin terjadi setiap 28-35 hari, seorang perempuan dapat menghabiskan 45-50 tahun hidupnya bermenstruasi.
Menurut WHO, menstruasi adalah proses pendarahan dari lapisan dinding rahim yang menebal karena tidak terjadi pembuahan sel telur. Proses biologis ini bertujuan untuk mempersiapkan kehamilan. Meskipun bagian alami dari fungsi reproduksi, jutaan perempuan masih berhadapan dengan tabu, kekerasan, dan ekslusi dari lingkungan sosialnya saat menstruasi.
Laporan UNICEF tahun 2018 menunjukkan bahwa rasa malu, takut, dan bingung yang dibentuk oleh stigma menstruasi berdampak buruk pada berbagai aspek hak asasi perempuan, termasuk hak untuk kesetaraan, sanitasi, edukasi, kebebasan beragama, kondisi kerja yang aman, mengambil bagian dalam kehidupan publik tanpa diskriminasi.
“Aku nangis berhari-hari dan nggak mau keluar rumah, sampai akhirnya kakak cewekku mendekati aku dan bilang “kamu ngga apa-apa kok,” cerita Chatarina Aloysia, saat ditemui Bincang Perempuan, Jumat (26/05/2023).
Chatarina Aloysia (21) atau yang akrab disapa Ketrin pertama kali mengalami menstruasi pada umur sembilan tahun, kala itu ia duduk di bangku kelas lima SD. Ia mengaku bahwa ibunya kaget mengetahui Ketrin sudah mengalami menstruasi. Ketrin yang saat itu belum tahu apa-apa berasumsi bahwa yang dialaminya mungkin hal ganjil karena orang-orang di sekitarnya kaget terhadap apa yang ia alami.
“Makanya waktu itu aku malu banget, karena setahuku, temen-temenku belum ada yang menstruasi. Mamaku sendiri juga sekaget itu pas tahu aku udah menstruasi. Aku juga ikut bertanya-tanya, “kenapa orang-orang kaget, ya?”,” tutur Ketrin.
Cukup lama Ketrin merasa sulit untuk sepenuhnya menerima perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Ia memilih diam, menyembunyikan terkait menstruasinya dari orang lain. Hingga, ketika teman baiknya berani berbagi pengalamannya tentang menstruasi, membuatnya merasa lebih berani untuk mengakui bahwa ia juga sudah menstruasi.
“Akhirnya aku menemukan temanku ada yang juga udah menstruasi dan dia fine aja dengan hal tersebut, di sana aku merasa harusnya aku juga bisa fine juga dengan menstruasi,” jelas Ketrin.
Dikutip dari rilis UNICEF, bagi sebagian masyarakat, pembicaraan soal menstruasi masih jadi hal yang tabu karena dianggap negatif, memalukan, dan kotor. Stigma tersebut yang membuat akses informasi anak perempuan terkait menstruasi dan kesehatan reproduksi menjadi terbatas. Apabila perempuan tidak diberi edukasi terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), maka mereka akan mengalami kesulitan menghadapi menstruasi.
Sama halnya yang dialami Nina (22 tahun)- bukan nama sebenarnya- yang sempat mengalami stress karena mempercayai stigma keliru tentang menstruasi yang menghubungkannya dengan nafsu seksual perempuan.
“Temanku pernah berkata bahwa perempuan yang menstruasinya cepat itu berarti nafsunya tinggi, bukan perempuan bener pokoknya. Karena itu, saat menstruasi pertama kali, aku berbohong dan mengatakan bahwa aku belum menstruasi kepada orang-orang,” ujar Nina pada Jumat (26/05/2023).
“Aku malu sekali dan sempat membenci diriku yang terlahir sebagai perempuan. Beberapa bulan kemudian, saat sudah banyak teman yang menstruasi, aku baru berani mengatakannya,” tambah Nina.
Studi dari UNICEF Indonesia tahun 2015 menyatakan bahwa 25% remaja perempuan di Indonesia belum pernah mendiskusikan menstruasi dengan siapa pun sebelum menstruasi pertama (menarche). Hal ini berbanding lurus dengan studi kasus yang dilakukan oleh Yayasan Plan Indonesia dengan Smeru pada 2018, yakni hanya 13,6% orang tua yang memberikan informasi tentang menstruasi dan manajemen kebersihan menstruasi sebelum anaknya mendapatkan menstruasi. Selain itu, tidak ada orang tua yang memberikan informasi soal menstruasi ke anak laki-laki.
Tidak heran, saat mengalami menarche, banyak remaja perempuan yang tidak siap karena belum mendapatkan edukasi yang memadai. Hal ini dapat berujung pada miskonsepsi mengenai Menstrual Hygiene Management (MHM) dengan dampak psikologis berupa stress dan kecemasan.
Mengapa Ada Stigma terhadap Pengalaman Menstruasi Perempuan?
Stigma menstruasi ada dalam masyarakat di seluruh dunia, dan alasan di balik stigma ini bisa berbeda-beda tergantung pada konteks budaya, agama, norma, dan sejarah masyarakat tersebut. Meski berasal dari konteks masyarakat yang berbeda-beda, sebagian besar stigma tersebut berawal dari ketidaktahuan masyarakat terhadap tubuh perempuan.
Ikhaputri Widiantini atau yang akrab disapa Upie, Dosen Filsafat di Universitas Indonesia sekaligus Akademisi Feminis di Jurnal Perempuan mengatakan bahwa ada banyak aspek yang mempengaruhi stigma menstruasi, salah satunya domestifikasi tubuh perempuan yang kemudian membuat masyarakat ‘kaget’ dengan pengalaman biologis perempuan, lalu mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau mistis.
“Karena dulu tubuh perempuan itu terdomestifikasi, lalu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Ketika masuk era revolusi industri, perempuan mulai ke ruang publik, ternyata ada perempuan yang sakit banget pas menstruasi sampai nggak bisa kerja, tetapi ruang publik itu terlanjur memakai standar tubuh yang awalnya ada, yaitu laki-laki,” tutur Upie pada Kamis (29/05/23).
“Sehingga untuk memahami perbedaan tubuh perempuan dan laki-laki, tubuh yang misterius ini menjadi menakutkan dan memunculkan stigma-stigma secara negatif terhadap mens sebagai bagian dari tubuh perempuan,” tambah Upie.
Wajah Tabu: Di Balik Stigma Menstruasi pada Perempuan
Stigma menstruasi biasanya dikaitkan dengan hal-hal mistis, seksualitas, atau emosional. Bentuknya juga bisa berbeda-beda, seperti eufimisme, larangan, atau labelling/tuduhan. Hal ini diterangkan Upie secara terang saat diwawancara.
“Stigma terhadap menstruasi itu di setiap lini ada, baik itu budaya, tradisi, adat, dan religi. Dari sisi religi, darah menstruasi seringkali dianggap kotor, najis, dan memalukan,” ujar Upie.
Upie juga menjelaskan bahwa keyakinan bahwa orang yang sedang menstruasi berada dalam keadaan “kotor” atau “tidak suci” berujung pada tabu yang mendiskriminasi dan membatasi perempuan yang sedang menstruasi. Misalnya, mereka dianggap najis dan dengan demikian kerap dilarang berenang, dilarang ke rumah-rumah ibadah, tempat-tempat keramat, dilarang memegang kitab atau benda-benda yang dianggap suci.
“Banyak (stigmanya–baca), perempuan jadi dilarang ke tempat-tempat tertentu kalau lagi menstruasi, ini kan menunjukkan secara sosial kita melihat perempuan yang sedang menstruasi itu ‘kotor’. Hal ini membuatnya sulit mengakses rumah-rumah ibadah, dan lainnya,” jelas Upie.
Larangan-larangan ini seringkali berkaitan dengan takhayul, misalnya Nina yang pernah mendengar bahwa perempuan menstruasi tidak diperbolehkan memasuki tempat-tempat tertentu, karena arwah-arwah tertarik dengan darah.
“Sering dengar, kalau lagi menstruasi, jangan ke candi, kuil atau tempat-tempat keramat gitu, karena arwah-arwah bisa ngikutin karena cium bau darah kita,” tutur Nina.
Hal serupa juga dialami Ketrin, ia menuturkan bahwa stigma darah kotor ini juga dikaitkan dengan cara mencuci dan membuang pembalut. Perempuan yang sedang menstruasi diminta mencuci darah menstruasi di pembalut hingga benar-benar bersih agar saat dibuang, perempuan tersebut tidak diganggu setan.
“Saudara aku pernah nggak menstruasi selama 7 bulan, terus orang-orang mikirnya karena mungkin dia nyuci darah menstruasi nggak bersih, makanya darahnya dijilat atau diambil setan,” terang Ketrin.
Stigma ini membuat Ketrin juga khawatir saat menstruasinya tidak teratur. Saat diperiksa ke dokter, apa yang dialaminya juga sering dialami perempuan pada umumnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat stress, makanan yang dimakan, serta intensitas olahraga seseorang.
“Aku sendiri pernah longkap-longkap kayak gitu (baca : menstruasinya), kayak 9 bulan baru mens lagi. Akhirnya, aku cek ke dokter kan, ternyata itu namanya PCOS (polycystic ovary syndrome) atau gangguan hormon, dan itu dipengaruhi oleh tingkat stress, apa yang kita makan, olahraga yang kurang,” terang Ketrin.
Ketrin juga diminta ibunya agar membersihkan pembalut agar tidak menarik hantu-hantu untuk mendekati darahnya yang kotor. Meski demikian, Ketrin mencuci pembalutnya supaya tidak bau dan lebih bersih saat dibuang, bukan karena hal-hal mistis.
“Dulu pernah percaya, kalau sekarang udah nggak lagi sih. Aku terbiasa cuci dulu sebelum buang supaya nggak bau aja, kadang kalau sedang repot atau males, kadang aku buang langsung juga hahaha. Itu sebenarnya nggak apa-apa kan, karena emang pembalut sekali pakai juga,” ujar Ketrin.
Bahkan saking dianggap kotor, masih banyak orang-orang yang kemudian sungkan untuk menyebut kata menstruasi. Untuk memperhalus kata yang dianggap terlalu jorok itu, mereka menyebutnya “lagi dapet”, “lagi M”, “haid”, “datang bulan” atau “sedang berhalangan”. Di masa SD-SMP pun, remaja sering menggunakan istilah ‘roti jepang’ untuk menyebut pembalut.
“Eh, bawa ‘roti jepang’ nggak?” demikian Nina dulu mendengar temannya menanyakan pembalut kepadanya.
Rasa sungkan menyebutkan menstruasi ini selaras dengan laporan UNICEF pada tahun 2018 yang menunjukkan bahwa dari 4.158 responden, 22% respon menjawab perempuan yang menstruasi seharusnya tidak bermain olahraga, 14% menjawab mereka harus menyembunyikan produk sanitasi, 33% menjawab masyarakat tidak perlu membahas menstruasi, 9% menjawab tidak sopan bertanya tentang menstruasi.
Selain dikaitkan dengan darah kotor, menstruasi perempuan juga seringkali menjadi obsesi mengontrol seksualitas perempuan. Ketrin bercerita bahwa salah seorang saudaranya pernah mendapatkan stigma karena menstruasinya lebih dini daripada kebanyakan perempuan.
“Salah satu sepupuku menstruasi pas kelas dua SD, dan (baca : karena itu) seluruh keluargaku benar-benar gempar dan rame. Banyak yang berasumsi dia cepet ‘dapet’ karena sering dielus-elus pahanya waktu kecil,” tutur Ketrin.
Menurut pengakuan Ketrin, kebiasaan ‘minta dielus’ tersebut sebenarnya hanya sebagai bentuk afeksi yang biasa ia terima sejak kecil. Namun, sebagian anggota keluarganya justru menganggap hal tersebut sebagai aktivitas seksual yang merangsang menstruasinya.
“Kamu jangan suka ngelus-ngelus atau pegang-pegang (baca : badan) kamu ya, nanti kayak sepupu kamu, mensnya cepet,” demikian Ketrin menirukan nasihat salah seorang anggota keluarga kepadanya.
Hal ini dikonfirmasi oleh Upie, menstruasi dini disebabkan kematangan sel-sel reproduksi yang secara hormonal berbeda-beda tergantung kondisi biologis, genetik, makanan yang dikonsumsi, serta aktivitas sehari-hari. Pemahaman keliru tentang menstruasi yang dikaitkan dengan seksualitas juga memperburuk stigma menstruasi kepada para perempuan.
“Saat masih kuliah, ada beberapa dosen saya yang berbicara tentang kesehatan reproduksi perempuan, memang secara hormonal perempuan itu beda-beda tergantung kematangan sel-selnya masing-masing, kematangan sel ini tidak mewakilkan kematangan secara dewasa, jadi hanya kematangan tubuh saja. Ini menunjukkan bahwa pengalaman tubuh perempuan itu beda-beda, ada faktor makanan, olahragam gen, atau DNA juga berpengaruh, sayangnya determinasi biologis itu malah dilupakan,” ujar Upie.
“Hanya saja, dampaknya bisa jauh sekali, di beberapa wilayah dunia, salah satunya di Afrika Barat, perempuan yang sudah akil baligh, kan tandanya sudah mens ya, itu harus disunat. Dan sunatnya benar-benar dipotong klitorisnya, alasannya adalah kalau tidak dipotong nanti nafsunya tinggi,” tambahnya.
Satgas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengakui riset-riset terbaru yang menunjukkan jumlah anak perempuan Indonesia yang menstruasi pertama (menarche) di bawah umur 10 tahun meningkat. Melansir Parapuan, akademisi psikologi Elizabeth Santosa M.Psi, Psi, ACC dalam acara “Sangobion Femine Menstrupain Community Gathering” pada Sabtu (16/12/2017) menyebutkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak zaman sekarang lebih cepat menstruasi dibandingkan zaman dahulu. Secara kesehatan menstruasi dini memiliki berbagai risiko kesehatan seperti stroke, penyakit jantung, menopause dini, hingga kanker payudara.
Elizabeth sendiri menekankan kandungan dalam makanan juga dapat mempengaruhi hormon seks dan evolusi manusia. “Dulu kan makanan lebih sehat tuh, sekarang makanan lebih ada yang disuntik hormon lah dan segala macam,” tutur Elizabeth.
Hormon yang dimaksud Elizabeth sendiri adalah steroid, yang saat ini biasa digunakan untuk membantu hewan ternak seperti sapi, kambing, dan ayam, agar lebih cepat tumbuh. Pernyataan Elizabeth ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Cornell University yang menunjukkan bahwa anak yang sering mengonsumsi daging ayam atau sapi yang sebelumnya disuntik hormon, memiliki peluang mengalami menstruasi dini lebih tinggi karena merangsang hormon estrogen perempuan.
Terdapat faktor lain seperti polusi udara dan akses pornografi di internet. Namun, seperti yang dikatakan Upie, determinasi biologis seperti makanan dan polusi seringkali dilupakan dan membuat perempuan yang menstruasi dini rentan mendapat stigma masyarakat.
Di kalangan perempuan dewasa, stigma terkait menstruasi sering kali dikaitkan dengan atribut sifat atau emosi tertentu. Menurut Upie, fenomena ini menyebabkan persepsi bahwa perempuan cenderung melakukan tindakan yang tidak rasional karena dipengaruhi oleh hormon, bukan sebagai reaksi emosional yang sah dan beralasan. Misalnya, disederhanakan karena PMS atau Pre-Menstrual Syndrome.
“Stigma lainnya adalah perempuan punya ketidakstabilan emosi, misalnya seorang perempuan bertugas memimpin atau mengatur event, kemudian dia marah (baca : kepada salah seorang stafnya), terus orang-orang kayak “ah paling lagi mens” atau “ah paling lagi mau mens” tutur Upie.
Dampaknya Terhadap Perempuan
Stigma menstruasi memunculkan pemikiran untuk menyalahkan diri saat darah menstruasinya terlihat, ia merasa gagal menjaga dirinya tetap ‘bersih’. Hal tersebut pernah dialami Ketrin di sekolah, ia merasa malu karena ‘bocor’, khususnya jika darah menstruasinya dilihat oleh laki-laki.
“Aku pernah ‘bocor’ di sekolah, aku ngga bergerak sama sekali dari tempat dudukku sampai jam pulang sekolah sampai semua orang keluar. Aku jadi nggak ke kantin, nggak makan, karena bocor. Temanku pernah dikatain pas ‘bocor’, makanya aku malu kalau ketahuan,” jelas Ketrin.
Upie juga menemui hal serupa saat sedang melakukan riset di salah satu daerah di Indonesia tentang kesehatan reproduksi di kalangan anak-anak perempuan Indonesia. Ia bercerita bahwa di sebuah keluarga, anak-anak perempuannya tidak boleh menunjukkan pembalut kepada ayahnya.
“…bahkan ayahnya sendiri pun nggak boleh tahu anaknya beli pembalut. Jadi pembalut itu harus diumpetin, karena tabu bagi laki-laki di rumah tahu tentang menstruasi,” ujar Upie.
“Makanya mindset kalau darah menstruasinya ‘tembus’ itu menjadi menakutkan. Aduh malu banget kalau laki-laki tahu. Ya, perempuan dibuat lebih asing dengan tubuhnya sendiri,” kata Upie menambahkan penjelasannya.
Stigma menstruasi terbukti dapat menggiring efek domino risiko yang lebih besar seperti kasus perundungan, pelecehan, kematian, bahkan bunuh diri. Kasus-kasus ini terbukti memengaruhi mental, fisik, dan psikologis wanita di seluruh dunia. Dilansir dari The Times of India, Tahun 2023, seorang anak perempuan umur 12 tahun di Ulhasnasgar, India meninggal karena kesalahpahaman kakaknya saat adiknya mengalami menstruasi untuk pertama kali. Kakaknya mengira pendarahan tersebut terjadi karena adiknya berhubungan badan dengan laki-laki sehingga dia menyiksa dan membunuh adiknya.
Dalam bentuk yang ekstrem lainnya, terutama di kawasan Nepal Barat, perempuan yang mengalami menstruasi melakukan ritual chauupadi, di mana tidak diperbolehkan tinggal di rumah, tetapi harus tinggal di gubuk menstruasi, atau di samping ternak karena dianggap ‘najis’. Hal ini membuat perempuan rentan terkena serangan seksual, serangan hewan seperti beruang, suhu dingin, yang bisa berujung kematian.
Sementara itu di Indonesia, dilansir dari Kompas,com laporan UNICEF menemukan khususnya di Indonesia Timur, satu dari tujuh perempuan yang mengalami menstruasi tidak pergi ke sekolah selama periode menstruasi berlangsung. Selama satu minggu, perempuan meninggalkan kelas dan berujung pada tidak naik kelas bahkan putus sekolah.
Selain di bidang pendidikan, mengutip DW.com, buruh perempuan di Indonesia masih sulit mendapatkan cuti haid, karena masih banyak pegawai, khususnya laki-laki yang belum memiliki pemahaman yang baik terkait dismenore atau nyeri parah akibat kontraksi rahim akibat menstruasi. Dituturkan pula oleh Upie, ketidaktahuan ini juga dimiliki sesama perempuan karena pengalaman menstruasi perempuan yang berbeda-beda. Ada yang keram perutnya parah sampai sulit bergerak, ada keram perut yang ringan, ada pula perempuan yang tidak mengalami keram perut sama sekali saat menstruasi.
“Makanya diperlukan adanya cuti haid di tempat kerja, memang ada perempuan yang membutuhkannya, tapi ada yang nggak butuh juga. Ada perempuan yang tidak merasa sakit kemudian lupa bahwa ada teman yang bisa sakit juga, jadi dia bisa melanggengkan stigma “ih gitu aja lemah,” tutur Upie.
“Bahkan di beberapa pekerjaan stigma itu juga berpengaruh (baca : membatasi), misalnya chef perempuan, selain fisiknya yang sering dianggap kurang kuat, chef harus tahan panas dan lain-lain, juga soal konsistensi memasaknya, kan takutnya kalau perempuan lagi mens tuh nanti masakannya jadi asin lah, kurang una inu lah, yang kemudian jadi ‘penyebabnya’ adalah mensnya,” ujar Upie.
Budaya populer dan representasi media juga dapat berperan dalam melanggengkan stigma menstruasi di kalangan masyarakat. Misalnya, menstruasi digambarkan sebagai sesuatu yang kotor dan menyebabkan perubahan perilaku negatif pada perempuan. Ada pula kapitalisasi produk kebersihan menstruasi seperti iklan-iklan pembalut yang melebih-lebihkan produknya sehingga memberikan persepsi yang keliru terhadap nyeri perut yang dialami perempuan saat menstruasi.
“Yang saya sorot berikutnya adalah iklan-iklan pembalut, seakan-akan kalau pakai pembalut tertentu, atau obat tertentu sakit mensnya akan hilang, jadi dibuat kesan bahwa kalau perempuan mens itu lemah,” ujar Upie.
“Mereka tidak melihat bahwa pengalaman menstruasi orang beda-beda, kenapa kita nggak melihat kalau siklus mens perempuan membuat dia sakit (perut–read), ya jangan kemudian dia dianggap lemah. Berarti tubuhnya sedang butuh istirahat, udah gitu aja, toh dia bisa beraktivitas lagi nanti ketika dia sudah mendingan,” tambahnya.
Hingga saat ini, menstruasi masih dipandang masyarakat sebagai hal yang tabu dan kotor sehingga perempuan yang menstruasi mengalami ketidaksetaraan, diskriminasi, serta akses yang sulit ke fasilitas dan pelayanan yang layak untuk menjalani kesehariannya. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi bagi perempuan dalam menghapus stigma menstruasi agar para menstruators dapat menjalani menstruasi secara sehat dan bermartabat.
Pemerintah dapat berupaya meningkatkan pendidikan dan penyediaan informasi yang akurat dan faktual tentang menstruasi serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan dalam menghadapi menstruasi, seperti memberikan izin cuti haid, menyediakan akses terhadap produk perawatan menstruasi, dan melarang diskriminasi berdasarkan menstruasi.
“Stigma-stigma itu muncul karena ketidaktahuan, sayangnya hingga saat ini masyarakat cenderung ‘tidak ingin tahu’ serta masih mempertahankan dan membangun stigma dan mitos-mitos mistis yang diwariskan tradisi. Pemerintah seharusnya bisa melibatkan diri untuk menciptakan perubahan yang signifikan dalam melawan stigma menstruasi,” tutup Upie.