Bincangperempuan.com- “Hati-hati ada Ibu begal!” kata satu dua orang pesepeda yang melintas di Jalan Aster, Kampung Inggris Pare, Jawa Timur.
“Ibu begal” merupakan julukan untuk Amin Royani -akrab disapa Mba Amin- seorang penjual pena di Kampung Inggris, Jawa Timur. Akhir-akhir ini ia viral di media sosial lantaran aksinya yang terlihat “memaksa” orang lain untuk membeli dagangannya.
“Dibeli dong pena saya,”
“Dibawa aja dulu penanya, nanti aja bayarnya,”
Begitulah ucapnya kepada setiap orang yang melintas di depan warung kecilnya. Setiap pena dihargai Rp2 ribu.
Karena aksinya ini, ia kerap dihina dan dilabeli “kurang waras” oleh masyarakat di Kampung Inggris. Bahkan stigma ini sampai menyebar ke masyarakat luar, dan seringkali ini membuat para pendatang ketakutan duluan sebelum benar-benar bertemu dengannya.
“Dia itu sebetulnya baik orangnya, cuma anak-anak terlalu takut disuruh beli Rp2 ribu aja malah lari,” ujar Muhammad Ichwan, Ketua RT. 12 Desa Tulungrejo tempat Amin tinggal.
“Kemarin ada anak yang lewat di sana malah lari ketakutan sampai jatuh. Takutnya berlebihan,” lanjutnya.
Karena stigma negatif yang terus menyebar ini, dagangan Amin sulit laku. Akhirnya, ia terpaksa berjualan di pinggir jalan.
“Kalau nggak gitu saya nggak dapat uang, Mba,” kata Amin saat ditemui BincangPerempuan di warungnya.
Untungnya, tidak semua mengamini stigma tersebut, Fatih salah satunya. Anak laki-laki berumur 12 tahun asal Banten yang saat ini sedang mengambil pelatihan di salah satu lembaga di Kampung Inggris memilih datang langsung ke warung Amin untuk mengonfirmasi cara Amin berjualan.
Awalnya ia berangkat dari camp-nya bersama beberapa orang teman, namun ketika melihat warung Amin ramai pengunjung temannya memutuskan untuk pulang. Tapi Fatih tetap datang untuk memastikan.
“Tadi kita mau ke sini bareng-bareng, pas lihat warungnya rame mereka pada muter balik. Begitu udah luas yaudah aku ke sini,” katanya dengan polos.
“Kamu mau beli apa? semua ada sini,” kata Amin seraya menyambut Fatih.
Setelah berinteraksi dengan Amin dan membayar pena yang dibelinya, Fatih pamit.
“Duluan ya Mba, ternyata Ibunya baik ya,” katanya sambil memutar balik sepeda ke arah jalan pulang.
Fatih benar, Amin memang baik. Berulangkali terdengar sapaan dari para pengguna jalan yang melintasi warung kecilnya di sore itu.
“Bundaaa,”
“Mba Amiiin,”
Sapa anak-anak di Kampung Inggris sambil tersenyum dan sedikit menunduk. Amin lantas menjawab “Yaaa, main sinii kalau ada yang mau dibeli yaa,” sautnya.
Sudah lebih dari 13 tahun Amin mengadu nasib lewat warung seukuran 3×4 meter ini. Jualannya bermacam-macam, mulai dari alat tulis, alat listrik hingga berbagai macam jenis mainan. Ia mulai buka warung dari jam 6 pagi, dan tutup di jam 12 malam. Ya, ia berjualan sekitar 18 jam setiap harinya.
Menjadi Tulang Punggung Keluarga Sejak Kecil
Semangatnya dalam bekerja bukan tanpa alasan. Ada beban berat yang harus dipikulnya sebagai pencari nafkah utama di keluarga. Ayahnya meninggal sewaktu ia masih bayi. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan dan kondisi kesehatan ibunya yang terus menurun, ia terpaksa menjadi tulang punggung keluarga di usia belia.
“Sejak kecil anak itu yatim, ditinggal bapaknya pas masih bayi. Memang kecilnya nggak dapat kasih sayang, dan sepertinya ada kecemburuan sosial juga,” cerita Ichwan.
“Jadi sebetulnya kasihan karena anak itu berjuang mandiri dan sudah menghidupi dirinya sejak kecil. Anak itu hatinya baik,” tuturnya.
Setiap bulan, Amin paling tidak harus menyiapkan uang Rp2 juta untuk membiayai ibunya, adiknya yang sudah berkeluarga, dan keponakannya yang saat ini sedang bersekolah di pondok pesantren.
“Saya itu ngeluarin uang 1 bulan paling nggak Rp2 juta. Itu untuk emak saya, adek saya, macam-macamlah pasukan saya. Jadi saya harus bekerja,” kata Amin.
Baca juga: Kayum, Belajar dan Mengenal Hutan Berkat KPPS
Cara Amin Bertahan Hidup
Sebelum mendirikan warungnya yang sekarang, Amin mengalami titik terendah dalam hidupnya. Untuk tetap hidup, ia berkeliling desa mengumpulkan sampah plastik dan menjualnya dengan harga yang tidak seberapa.
“Di umur 27 tahun, saya kemana-mana bawa kresek merah untuk cari sampah,” kenangnya.
“Kadang ditemani anak bayi tetangga saya, itu dia pinter sekali. Jadi saya yang dibimbing anak kecil itu, dia bilang ‘Mba Amin cari duit yang banyak ya, kalau sudah banyak uangnya jangan dipakai obral-obral’,” matanya terlihat berkaca-kaca ketika menceritakan masa kelam itu.
Amin bilang, tiap sampah dihargai sangat kecil, kurang dari Rp500 perak. Tapi berkat kegigihannya, ia berhasil menabung dan membeli 100 benih papaya dan cabai yang kemudian ia tanam di belakang rumah. Dari hasil panen inilah, ia perlahan membeli semen, keramik, genteng dan material lainnya untuk membangun ruko kecil tempat ia berjualan saat ini.
“Hasil panennya sampai Rp 750 ribu. Itu saya beliin keramik, terus saya buat modal jualan es Rp 150 ribu, sisanya bisa buat beli keperluan sehari-hari,” tuturnya.
Sejak saat itu, ia tak lagi harus berpanas-panasan mengais sampah. Ia mulai disibukkan dengan para pembeli es dan jajanan ringan yang ia jual di ruko tersebut.
Di masa inilah ia menemukan konsep untuk bertahan hidup, yaitu dengan cara “mengutangi orang lain”. Menurutnya, cara ini adalah yang terbaik untuk membuat kondisi ekonominya tetap lancar kalau sewaktu-waktu ia tidak punya uang.
“Waktu itu sulit juga, tapi saya tetap bertahan. Kuncinya apa? Saya ngutangin anak-anak kos yang belanja di sini, hahaha,” kelakarnya.
“Jadi setelah 2 bulan jualan, saya udah bisa ngutangin anak-anak. Dia kan nggak langsung bayar, nah nanti setelah dibayar uangnya mutar lagi. Jadi dulu kayak gitu, itulah yang mempertahankan saya untuk bertahan,” katanya sambil tersenyum bangga.
Dari sini terjawab sudah alasan mengapa Amin kerap memaksa orang membeli penanya dan membiarkan orang tersebut bayar belakangan. Ya, aktivitas “begal” tersebut sejatinya adalah cara Amin untuk mempertahankan sirkulasi ekonominya.
Baca juga: Purwani, Perempuan Pelestari Hutan Larangan di Bengkulu
Amin Fokus pada Mimpinya
Selain berdedikasi untuk keluarga dan pekerja keras, Amin adalah orang yang taat agama. Ketika tidak ada pembeli yang datang, ia memanfaatkan waktu luang dengan membaca Al-Quran, menuntaskan 100 surat yang harus ia baca dalam sehari. Ini adalah saran dari para kiai agar rezekinya bisa terus lancar.
“Saya dikasih amalan Kiai 1 hari 100 surat lebih, saya baca itu supaya saya mampu dan terhindar dari orang jahat,” katanya.
Meski sampai saat ini ia terus dapat cacian dari banyak orang, Amin sama sekali tidak peduli. Baginya, bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan yang layak bagi keluarga adalah yang utama. Selagi usahanya diperbolehkan kiai, ia terus melangkah.
“Nggak ngurus (pandangan orang tentangnya) ngapain ngurusin orang kayak gitu. Ini untuk baca 100 surat itu masih kurang waktunya ngapain ngurus HP? ngurusin Al-Quran aja nggak selesai-selesai,” katanya lugas.
“Tujuan saya cari duit untuk bekal hari tua, kalau mikirin ini, saya nggak jadi cari duitkan?” katanya.
Bahkan ia pernah memarahi balik orang yang membentaknya.
“Tak bilangin gini, ‘Kamu ada urusan apa marahin saya? Wong Kiai aja nggak marahin saya gituloh’ kita itu mikir orang marah lulusan apa? Sekolah apa?” ceritanya.
“Coba dia mendatangi ulama besar, ya dimarahin. Orang nggak boleh menyiksa saya, bentak saya aja nggak boleh kok. Kok dia punya pikiran seperti itu,” pungkasnya.
Ternyata kita bisa belajar banyak dari sosok Amin yang selama ini dianggap “tidak waras” oleh kebanyakan orang. Tentang kemandiriannya, kerja kerasnya, ketaatannya, dan kebaikannya pada orang lain.
Orang-orang yang melakukan tindakan “tidak normal” memang kerap kali dilabeli stigma negatif dari masyarakat. Padahal, seharusnya ini bisa dilihat sebagai sebuah keberanian untuk berbeda dari orang lain. Lebih dari itu, sebelum melabeli seseorang penting untuk mencari tahu mengapa ia bisa tampil berbeda dan tidak biasa? Bukankah setiap apa yang dilakukan seseorang itu punya alasan dan dorongan? Lantas, siapa kita dengan mudah menghakimi orang lain?
Mungkin inilah cara Amin berekspresi. Caranya mengomunikasikan beban berat yang harus dipikulnya setiap hari.(**)