Bincangperempuan.com- “Komunitas seperti book club saja sudah wujud aktivisme, dengan kita membaca dan menyebarkan literasi. Kenapa tidak meningkatkan aktivisme ini ke ranah yang lebih luas?” kata Airin Efferin.
Bersama dengan kedua temannya, Airin mengelola Madtea Book Club sebagai komunitas buku berbasis daring yang kini berhasil mendulang 3.650 followers Instagram dan aktif mengadakan ragam kegiatan literasi.
Airin menjelaskan, awal mula lahirnya komunitas ini dimulai ketika masa pandemi. “Saat itu, sekitar tahun 2021, Sherry bilang ingin bikin book club berbahasa Inggris. Tertarik dengan idenya, akhirnya aku, Sherry, dan satu lagi teman, Krisan, berkolaborasi mendirikan Madtea Book Club.”
Minimnya komunitas buku berbahasa Inggris di Indonesia menjadi dorongan bagi Madtea Book Club untuk ikut serta menyediakan safe space bagi orang-orang yang ingin melatih English speaking sembari mendalami literasi.
Berhasil mendulang 3.650 followers di Instagram, Madtea Book Club kini terus aktif mengadakan ragam kegiatan literasi yang melibatkan pembaca, penulis, dan book influencer. Kegiatan book club meeting yang rutin diadakan tiap bulan melalui laman zoom menjadi ruang bagi para audiens untuk membaca buku dan berdiskusi bersama.
“Kadang kami juga suka mengangkat tema-tema tertentu atau pop culture,” kata Airin. “Banyak dari kami yang swiftie, jadi waktu itu kami pernah mengadakan kegiatan baca buku sambil mendengarkan lagu-lagu dari album terbaru Taylor Swift.”
Dari literasi menjadi aksi nyata
Tak hanya menjadi ruang yang mewadahi minat dan hobi membaca, perlahan-lahan Madtea Book Club juga berupaya menjembatani kegiatan literasi dengan aksi-aksi yang bisa berimplikasi nyata. Salah satunya adalah dengan mengambil momentum gerakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) selama bulan November dan Desember lalu.
“Ada kenalan, sebut saja Pip, yang bercerita tentang pengalamannya sebagai korban kekerasan seksual. Dari sana, kami berinisiatif menggalang dana dengan menjual buku-buku preloved yang hasilnya nanti akan didonasikan ke Pip untuk membiayai psikotes dan pertemuan psikolog klinis.”
Airin menyinggung bahwa gerakan ini juga berangkat dari keprihatinan mereka terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di komunitas buku, sekolah musik, hingga dunia teater. Betapa kejadian ini sering kali masih ‘dinormalisasi’ sehingga membutuhkan advokasi dan gerakan kolektif yang lebih keras dari publik untuk mempertegas perlawanan terhadap oknum pelaku.
“Everyone needs to move together, butuh kerjasama, dan ini butuh waktu dan proses yang lama.”
Memutuskan untuk menjual buku-buku preloved sebagai langkah aktivisme kecil yang bisa diambil, Airin bercerita bahwa ide ini berangkat dari inspirasinya terhadap kegiatan Give Back Sale yang diadakan Indonesia untuk Kemanusiaan (Ika) bersama Komnas perempuan, di mana mereka menjual baju-baju sumbangan dari publik untuk dijual dan didonasikan kepada para perempuan korban kekerasan seksual.
“Aku berpikir, kok kreatif yang bisa bikin ide begini? Selain aku sendiri memang butuh clear stuff untuk buku-buku baru, aku akhirnya juga mengajak teman-teman untuk menyumbangkan buku mereka.”
Menggabungkan kegiatan fundraising dan kecintaan terhadap literasi, gerakan ini memberi kesempatan bagi teman-teman pembaca untuk memperoleh buku-buku dengan harga terjangkau sembari berkontribusi terhadap penegakan perlindungan kekerasan seksual berbasis gender.
Selaras dengan tingginya respon publik, kegiatan mereka berhasil mencapai nominal target hanya dalam waktu empat hari. Adapun sisa uang tersebut akan mereka donasikan kepada Yayasan Lentera Sintas Indonesia, yakni kelompok dukungan yang menanungi para penyintas kekerasan seksual.
“Komunitas itu gerakan akar rumput. Kita bergerak bukan berdasarkan profit, itu adalah power yang bisa dimanfaatkan,” tutur Airin.
Dirinya turut menekankan tentang pentingnya memiliki jiwa leadership yang aktif dan memiliki inisiatif sehingga dapat merangkul seluruh komunitas untuk bekerjasama membentuk aksi yang berdampak sosial. Momen-momen seperti gerakan 16 HAKTP selayaknya bisa menjadi kesempatan bagi komunitas untuk menciptakan ruang aman bagi orang-orang agar bisa menyuarakan pandangan mereka. Melihat literasi sebagai bentuk edukasi diri dan sesama, Airin mendorong adanya diskusi yang lebih berani dan terbuka tanpa berusaha menabukan isu-isu tertentu.
Bagaimanapun juga, normalisai terhadap isu-isu seperti kekerasan seksual terjadi ketika mayoritas orang memilih untuk mengabaikannya. “Most people are enablers, jika kita membiarkan kasus kekerasan seksual, kita sudah menormalisasinya,” ucap Airin. Hal inilah yang kemudian menjadi tanggung jawab setiap elemen masyarakat untuk mempertegas ketika sesuatu sejatinya sudah melampaui batasan apa yang dianggap ‘benar’.
Airin berharap gerakan-gerakan kecil seperti yang dilakukan Madtea Book Club dapat berdampak luas, terutama bagi teman-teman di komunitasnya. “Lebih aware, lebih educated, dan belajar memhamai. Dengan begini, kita juga bisa lebih berhati-hati dan ikut mencegah agar hal serupa tidak terjadi.”
Gerakan sosial yang dilakukan Madtea Book Club adalah satu dari sekian banyaknya langkah kecil dari sebuah komunitas yang bisa mengawali inisiatif kolektif lainnya. Acap kali luput dari perhatian, tapi Airin menilai inilah nilai keunggulan sebuah komunitas, di mana mereka tidak harus membuat langkah revolusioner untuk tetap bisa memberikan dampak.
“Just do it. Cukup mulai dengan realisasi sederhana, keep it as simple as possible,” pesan Airin