Home » News » Mengapa Perempuan Menjadi Korban Terbanyak Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Mengapa Perempuan Menjadi Korban Terbanyak Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Sylvi Sabrina

News

Bincangperempuan.com- Kasus kekerasan dalam rumah tangga marak terjadi di tanah air. Dikutip melalui Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada (15/06/2023), jumlah kasus mengenai kekerasan dalam rumah tangga mencapai 7.445 kasus per 2023. Di Jakarta sendiri kasus kekerasan mencapai 573 kasus.

Baru-baru ini, viral kasus KDRT yang mencuri perhatian dari netizen. Adanya seorang Ibu muda yang bernama Budiarti meninggal dengan mendekap anak bayinya. Setelah diusut, penyebab dari kematian Ibu muda tersebut adalah perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap diterimanya (29/06/2023).

Melansir dari Direktorat Jenderal Kemenkumham yang dikutip pada (15/06/2023), banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena adanya pola dominasi dan kontrol tertentu yang kuat dari pelaku kekerasan terhadap korban. Dimana kekerasan dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara fisik, emosional, dan psikologis dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si sebagai seorang ahli hukum yang dikutip pada (01/07/2023), menyatakan bahwa “relasi kuasa timpang dapat dirasakan oleh seluruh pihak, termasuk di dalamnya bagi mereka yang bergantung secara emosional, psikologis, dan finansial, sehingga siapa saja dapat menjadi kelompok rentan”.

Adanya relasi kuasa yang timpang dapat menciptakan lingkungan yang tidak nyaman dan aman bagi korban. Hal ini dikarenakan sering kali mengarah pada cedera fisik dan emosional yang serius. Lidwina juga menegaskan bahwa kelompok rentan yang menjadi korban dapat dialami oleh siapa saja, tidak melihat aspek tertentu.

Kendati demikian, perempuan merupakan korban kekerasan terbanyak jika dibandingkan laki-laki. Kramarae dan Treichler, 1991 dalam bukunya berjudul Feminist Dictionary mengungkapkan yang menjadi penyebab utamanya adalah budaya dan nilai-nilai masyarakat yang dibentuk oleh kekuatan patriarkal, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan.

Kekuatan patriarkal dimaksudkan sebagai suatu ideologi yang dikembangkan laki-laki untuk menghilangkan peran perempuan dalam relasi sosial; suatu simbol keberadaan laki-laki yang prinsipil; suatu kekuasaan yang dominan dari sang bapak; suatu bentuk tekanan laki-laki atas seksualitas dan fertilitas perempuan; dan suatu gambaran tentang dominasi laki-laki dalam struktur lembaga dan institusi.

Dalam antropologi budaya, patriarkal pada awalnya mengacu kepada struktur sosial di mana ayah (pater) atau laki-laki tertua (patriarch) memiliki kekuasaan mutlak dalam keluarga sehingga perempuan dalam keluarga tersebut menjadi harta dan hak miliknya.

Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor sosial seperti ketimpangan gender, ketidakadilan struktural, dan norma budaya yang merendahkan perempuan menjadi penyebab masih tingginya kasus KDRT yang dialami perempuan. Akibat yang dirasakan korban KDRT juga berdampak pada tumbuh kembang anak, gangguan perkembangan otak, bahkan sampai dengan trauma (01/07/2023).

Dalam semua kasus KDRT, relasi kuasa yang tidak seimbang memainkan peran kunci dalam memperpetuasi kekerasan dan memperburuk dampaknya.

“Serangkaian upaya terus kami lakukan untuk melindungi keluarga dan anak-anak dari KDRT. Dalam mencegah KDRT, peran laki-laki juga harus diperhatikan. Setiap bagian masyarakat harus bekerja sama untuk mencegah dan mengakhiri KDRT sedini mungkin.” ujar Vennetia R Dannes, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, di Sosialisasi Pencegahan KDRT yang dikutip pada (15/06/2024).

Dalam mengatasi KDRT, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat untuk menetapkan Zero tolerance terhadap KDRT (15/06/2024). Ini menunjukkan bahwa tidak ada toleransi terhadap kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.

Hal ini sesuai dengan langkah yang diambil oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang membentuk Komisi Kedudukan Perempuan (Commission on the Status of Women) untuk menetapkan kebijakan, inisiatif, dan tindakan PBB untuk kepentingan perempuan. PBB membentuk Komisi ini karena mereka melihat bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi di banyak negara, yang membuat Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan diperlukan.

Selain itu, sistem hukum juga perlu untuk diperkuat dan dipenuhi dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Korban harus dilindungi dengan undang-undang yang kuat dan mekanisme pengadilan yang sensitif terhadap masalah ini.

Saat ini, sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU-PKDRT, dan keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2010 tentang Tim Nasional Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pusat krisis dan layanan dukungan harus tersedia untuk membantu korban memulihkan diri dan membangun kehidupan yang lebih baik.

Dibutuhkan perubahan sosial dan budaya yang secara nyata dapat mendukung kesetaraan gender sehingga menghormati hak asasi manusia setiap individu. Norma-norma yang membenarkan atau memperkuat relasi kuasa yang tidak seimbang perlu ditantang dan digantikan dengan nilai-nilai yang mempromosikan penghargaan, rasa saling percaya, dan keadilan dalam hubungan antar manusia.

Dalam menghadapi masalah kekerasan dalam rumah tangga, kita tidak boleh menutup mata terhadap relasi kuasa yang mendasarinya. Melalui perubahan sosial, kesadaran kolektif, dan upaya bersama, kita dapat membangun masyarakat yang lebih aman, adil, dan bebas dari kekerasan.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Batasi GGL, Kampanye Digital Bincang Perempuan dan Nutrifood 

Google menyambut dua jurnalis asal Indonesia ke dalam program AAJA Executive Leadership Program

Perempuan Pesisir Melawan Kerusakan Lingkungan

Leave a Comment