Bincangperempuan.com– Period Poverty atau kemiskinan menstruasi, adalah kondisi di mana individu, khususnya perempuan, tidak memiliki akses yang memadai terhadap produk sanitasi dan edukasi yang berkaitan dengan kebersihan menstruasi. Kondisi ini tidak hanya mencakup ketidakmampuan untuk membeli produk seperti pembalut dan tampon, tetapi juga terbatasnya akses terhadap fasilitas yang memadai untuk mencuci dan membuang produk menstruasi dengan aman.
Akses yang memadai terhadap produk kebersihan menstruasi sangat penting karena dapat mempengaruhi kesehatan perempuan secara signifikan. Tanpa akses yang cukup, perempuan berisiko mengalami infeksi saluran kemih serta berbagai masalah kesehatan reproduksi lainnya apalagi jika perempuan terpaksa menggunakan produk yang tidak higienis yang dapat meningkatkan risiko infeksi serius.
Laporan dari UNICEF menunjukkan bahwa 1 dari 10 remaja perempuan di negara berkembang melewatkan sekolah selama siklus menstruasi mereka. Hal ini tentunya berdampak negatif pada pendidikan perempuan. Sementara di Indonesia, ada 25% remaja perempuan tidak pernah mendiskusikan menstruasi sebelum mengalaminya. Ini menunjukkan kurangnya edukasi dan dukungan sosial terkait menstruasi.
Berdasarkan data statistik, perempuan di Indonesia menghabiskan sekitar 1,7% dari penghasilan bulanan mereka untuk membeli produk menstruasi yang mana angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata global.
Selain itu, akses terhadap fasilitas sanitasi yang memadai masih menjadi tantangan. Di daerah urban, hanya 2 dari 3 perempuan yang mengganti pembalut mereka setiap 4 – 8 jam sekali. Sementara, di daerah pedesaan, angkanya hanya mencapai 41% yang mana ini jauh lebih rendah.
Padahal, pembalut sebaiknya diganti setiap 4 – 6 jam sekali untuk mencegah risiko kesehatan. Minimnya akses terhadap produk saniter menciptakan ketidaksetaraan gender yang lebih besar di mana perempuan tidak dapat berpartisipasi penuh dalam pendidikan dan kegiatan sosial selama periode menstruasi mereka. Stigma sosial terkait menstruasi juga masih sangat kuat di Indonesia yang mana menghalangi diskusi terkait topik ini.
Menyembunyikan kesehatan di balik tabu
Isu period poverty jauh lebih rumit daripada sekadar masalah akses ke produk menstruasi seperti pembalut. Masalah ini mencakup berbagai faktor yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan perempuan. Selain ketidakmampuan untuk mendapatkan produk menstruasi, kurangnya fasilitas sanitasi yang memadai juga menjadi masalah yang signifikan.
Banyak perempuan tidak memiliki akses ke toilet yang bersih dan aman untuk mengganti produk menstruasi sehingga mereka terpaksa menggunakan produk yang tidak higienis atau bahkan menunda aktivitas sehari-hari mereka selama menstruasi.Di samping itu, kurangnya pendidikan mengenai manajemen menstruasi menyebabkan kebingungan dan ketidakpahaman tentang kesehatan reproduksi.
Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan serta perilaku kebersihan menstruasi di kalangan remaja perempuan. Faktanya kurangnya pemahaman dan pendidikan yang memadai tentang manajemen menstruasi dapat berdampak serius pada kesehatan reproduksi perempuan.
Perempuan yang tidak mengetahui cara menjaga kebersihan saat menstruasi berisiko tinggi mengalami infeksi saluran reproduksi. Ketidakpahaman tentang siklus menstruasi juga dapat menimbulkan kecemasan dan stress yang akan berkontribusi terhadap masalah kesehatan mental. Remaja perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup sering kali merasa bingung dan cemas saat menghadapi menstruasi pertama mereka.
Stigma sosial juga berperan besar dalam masalah ini di mana perempuan sering kali merasa malu atau terasingkan ketika membahas menstruasi. Situasi ini menghalangi mereka untuk mencari informasi atau bantuan yang diperlukan yang pada akhirnya memperburuk kondisi mereka. Banyak perempuan merasa perlu untuk menyembunyikan menstruasi mereka hingga menghindari interaksi sosial atau kegiatan tertentu yang dapat menimbulkan perasaan terasing dan rendah diri. Di beberapa daerah, stigma ini membuat remaja perempuan enggan berangkat sekolah saat menstruasi yang tentunya berdampak negatif pada prestasi akademik.
Baca juga: Little Women: Representasi Kebebasan Perempuan untuk Berdaya
Krisis kesetaraan gender yang tersembunyi
Period poverty memberikan dampak yang mendalam terhadap kesetaraan gender yang tentunya mempengaruhi banyak aspek kehidupan perempuan. Salah satu konsekuensi yang paling mencolok adalah penurunan partisipasi perempuan dalam pendidikan. Dengan banyaknya remaja perempuan yang terpaksa absen dari sekolah saat menstruasi karena keterbatasan akses terhadap produk kebersihan yang layak dan fasilitas sanitasi yang tidak memadai membuktikan bahwa adanya ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. Ketika perempuan tidak dapat menghadiri sekolah secara teratur, mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan mereka sehingga memperkuat ketimpangan gender dalam akses pendidikan.
Selain itu, period poverty juga membatasi partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Stigma dan rasa malu yang berkaitan dengan menstruasi sering membuat perempuan enggan berinteraksi secara sosial, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, atau mengikuti pertemuan profesional selama periode menstruasi. Hal ini tidak hanya menghambat pengembangan jaringan sosial mereka, tetapi juga dapat memengaruhi kemajuan karier.
Dalam banyak kasus, perempuan merasa terpaksa mengambil cuti dari pekerjaan yang bisa saja berujung pada hilangnya pendapatan dan meningkatnya ketidakstabilan finansial. Ketidaksetaraan ini semakin menegaskan bahwa perempuan sering kali tidak memiliki kontrol yang setara atas kehidupan ekonomi dan profesional mereka dibandingkan laki-laki.
Ketidakmampuan untuk mengelola menstruasi dengan baik dapat berdampak serius pada kesehatan perempuan terutama dengan meningkatnya risiko infeksi saluran reproduksi seperti infeksi jamur dan bakteri. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan produk menstruasi yang tidak higienis atau pengelolaan yang tidak tepat. Infeksi tersebut tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan fisik yang juga bisa berdampak jangka panjang pada kesehatan reproduksi termasuk kesuburan.
Adapun dampak psikologis dari period poverty yang signifikan. Stres dan kecemasan yang muncul karena stigma menstruasi serta kesulitan dalam manajemen menstruasi dapat memperburuk kesehatan mental perempuan. Rasa malu dan ketakutan akan penilaian sosial dapat membuat mereka menghindari interaksi sosial dan berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah atau tempat kerja yang akhirnya menghambat perkembangan pribadi mereka. Ketidakpastian dan kecemasan ini menciptakan siklus negatif yang membuat perempuan merasa terjebak dan tidak berdaya.
Apa yang berhasil dan apa yang tidak?
Untuk mengatasi period poverty, peran pemerintah Indonesia menjadi sangat krusial. Hal ini mencakup akses terhadap produk kebersihan menstruasi, fasilitas sanitasi, dan pendidikan kesehatan reproduksi. Meskipun telah ada beberapa kebijakan yang diterapkan, evaluasi menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap isu ini masih perlu ditingkatkan.
Contohnya, program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dinilai belum efektif terutama di daerah pedesaan di mana banyak perempuan masih kesulitan untuk mendapatkan produk menstruasi yang higienis. Dengan adanya data yang menyatakan bahwa 25% remaja perempuan tidak pernah mendiskusikan menstruasi sebelum mengalaminya, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ada belum berhasil menciptakan kesadaran dan akses yang memadai bagi perempuan.
Kebijakan pemerintah saat ini dalam menangani period poverty masih belum optimal. Meskipun ada beberapa inisiatif sporadis, seperti distribusi pembalut gratis di beberapa daerah, pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan pun masih sangat dibutuhkan. Penghapusan pembalut dari daftar KHL (Komponen Harus Diproduksi Domestik) menunjukkan kurangnya pemahaman dan prioritas terhadap kesehatan reproduksi perempuan di tingkat pengambilan keputusan. Untuk perbaikan, pemerintah perlu merumuskan kebijakan integratif yang mempertimbangkan aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi perempuan secara menyeluruh.
Penjaminan akses sanitasi yang memadai termasuk fasilitas kebersihan menstruasi di semua level masyarakat juga sangat penting. Selain itu, kampanye kesadaran publik harus dilakukan untuk menormalisasi pembicaraan tentang menstruasi dan menghilangkan stigma di sekitarnya. Kolaborasi dengan NGOs seperti Girl Up juga dapat turut mengatasi kekosongan yang ditinggalkan oleh kebijakan pemerintah yang memadai.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Hapus Praktik Sunat Perempuan
Mengatasi period poverty yang bisa jadi inspirasi
Solusi berkelanjutan untuk mengatasi period poverty perlu didekati secara menyeluruh yang mencakup aspek edukasi, akses, dan infrastruktur. Edukasi menjadi pondasi utama dalam upaya ini mengingat stigma terkait menstruasi masih begitu kuat di masyarakat. Melalui kampanye publik, sosialisasi di sekolah, dan pelatihan di komunitas, kita dapat meningkatkan pemahaman tentang kesehatan menstruasi dan menghapus stigma negatif yang selama ini membebani perempuan.
Selain itu, peningkatan akses terhadap produk menstruasi harus menjadi prioritas, baik melalui penyediaan produk yang terjangkau maupun distribusi gratis di sekolah dan fasilitas umum. Langkah ini juga sebaiknya melibatkan berbagai jenis produk ramah lingkungan seperti pembalut kain dan menstrual cup yang bisa digunakan berulang kali sehingga lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
Di sisi lain, penyediaan infrastruktur sanitasi yang layak juga sangat penting. Fasilitas seperti toilet bersih dengan akses air mengalir serta tempat pembuangan limbah yang aman perlu tersedia di sekolah, tempat kerja, dan ruang publik agar perempuan dapat mengganti produk menstruasi dengan nyaman dan higienis. Kolaborasi antara edukasi, akses, dan infrastruktur ini akan berdampak besar dalam mengurangi period poverty dan mendukung kesetaraan gender di Indonesia.
Sampai saat ini, beberapa negara sudah lebih dulu menerapkan program-program unggulan untuk mengatasi period poverty. Misalnya, Skotlandia, yang menjadi negara pertama yang menggratiskan produk menstruasi seperti tampon dan pembalut di berbagai fasilitas umum, seperti apotek dan pusat komunitas melalui undang-undang Period Products Act yang disahkan pada tahun 2020.
Selandia Baru pun mengikuti jejak serupa dengan mendistribusikan produk menstruasi gratis di sekolah-sekolah umum guna memastikan semua siswi bisa mendapatkan produk tersebut tanpa beban biaya. Kenya juga telah meluncurkan program serupa di sekolah-sekolah umum untuk mengurangi ketidakhadiran siswi akibat tidak adanya akses ke produk kebersihan menstruasi yang memadai. Sementara itu, Irlandia Utara sedang mempertimbangkan kebijakan serupa dan Hawaii pun sudah menerapkan undang-undang yang mewajibkan sekolah umum menyediakan produk menstruasi secara gratis.
Program-program ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap perempuan dapat mengakses produk menstruasi tanpa terkendala biaya sehingga mereka tidak perlu absen dari sekolah atau aktivitas sehari-hari hanya karena tidak mampu membeli produk sanitasi yang layak. Dengan mencontoh inisiatif-inisiatif tersebut, Indonesia juga dapat mengambil langkah konkret untuk mengatasi period poverty, memperbaiki kesejahteraan perempuan, dan memperjuangkan kesetaraan gender yang lebih inklusif di masa depan.
Sumber:
- https://expert-taxindonesia.com/apa-itu-period-poverty-dan-period-tax/
- https://www.rifka-annisa.org/id/component/k2/item/808-period-poverty-krisis-kesehatan-yang-tabu-untuk-dibicarakan
- https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20231017144515-255-1012321/mengenal-period-poverty-yang-disorot-di-tengah-ramai-pembalut-reject
- https://www.konde.co/2022/01/potret-period-poverty-susahnya-perempuan-akses-sanitasi-saat-menstruasi/
- https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5045142/skotlandia-jadi-negara-pertama-di-dunia-yang-gratiskan-produk-menstruasi
- https://www.beautynesia.id/wellness/skotlandia-resmi-jadi-negara-pertama-di-dunia-yang-sediakan-produk-menstruasi-gratis-di-fasilitas-umum/b-260624
- https://www.liputan6.com/global/read/5046006/sah-skotlandia-jadi-negara-pertama-penyedia-pembalut-gratis
- https://ojs.uho.ac.id/index.php/winsjournal/article/viewFile/29464/17046