Bincangperempuan.com- Sudah 31 tahun berlalu, tepatnya 8 Mei 1993, Marsinah buruh perempuan ditemukan tewas dengan kondisi tubuh yang mengerikan di sebuah kebun di daerah Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Pembunuhan tragis ini telah mengguncang Indonesia dan menimbulkan protes serta tuntutan untuk mengungkap pelakunya. Marsinah bukan hanya menjadi korban dari kebrutalan sistem yang tidak adil, tetapi juga menjadi lambang perlawanan terhadapnya.
Hingga saat ini, 8 Mei 2024, Marsinah, sebuah nama yang menggema dalam sejarah perjuangan buruh di Indonesia. Sebagai seorang pekerja pabrik, Marsinah menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan yang melanda kaum buruh pada zamannya. Namanya telah menjadi ikon yang menginspirasi banyak orang dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Lahir pada tahun 1966 di Desa Glempang Pasar, sebuah desa kecil di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Marsinah tumbuh dalam kondisi ekonomi yang sulit. Dari kecil, dia telah mengalami kesulitan hidup yang kemudian membentuk karakternya yang kuat dan penuh semangat untuk berjuang.
Kisah perjuangan Marsinah mencapai puncaknya ketika dia bekerja di pabrik sepatu PT. Catur Putra Sakti di kota Madiun, Jawa Timur. Sebagai seorang buruh pabrik, dia tidak hanya harus menghadapi kondisi kerja yang keras, tetapi juga ketidakadilan yang sering kali dialaminya bersama rekan-rekannya.
Berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jatim No 50 Tahun 1992, para pengusaha diinstruksikan untuk meningkatkan gaji karyawan mereka sebesar 20% dari gaji pokok. Tindakan ini mendorong Marsinah dan rekan-rekannya untuk menuntut kenaikan upah mereka dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari. Pada tanggal 3 Mei 1993, seluruh buruh PT Catur Putera Surya (CPS) melakukan mogok kerja dan mengadakan demonstrasi untuk mendukung tuntutan mereka.
Keesokan harinya, pada tanggal 4 Mei 1993, buruh PT CPS terus mogok kerja dan melanjutkan demonstrasi di depan PT CPS. Perusahaan kemudian setuju untuk melakukan perundingan dengan para buruh. Dalam perundingan tersebut, yang melibatkan 15 buruh termasuk Marsinah, PT CPS akhirnya menyetujui kenaikan gaji pekerja.
Namun, pada tanggal 5 Mei 2018, setelah perundingan selesai dan tanpa kehadiran Marsinah, 13 rekan kerjanya yang ikut serta dalam perundingan dengan PT CPS dibawa ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo karena diduga menjadi dalang di balik unjuk rasa buruh CPS.
Marsinah aktif dalam kegiatan serikat buruh dan menjadi salah satu pemimpin dalam perjuangan untuk meningkatkan kondisi kerja dan hak-hak pekerja. Namun, keberaniannya untuk bersuara dan memperjuangkan hak-hak tersebut membuatnya menjadi target intimidasi dan ancaman.
Baca juga: Kartini di Sekitar Kita: Perjuangan Gia dan Lita Memaknai Kerja Domestik Perempuan
Kematian Marsinah menimbulkan kemarahan dan solidaritas yang besar di kalangan pekerja serta masyarakat luas. Peristiwa ini menjadi titik tolak penting dalam perjuangan hak-hak buruh dan perempuan di Indonesia. Namanya menjadi simbol keberanian dan ketegasan dalam memperjuangkan hak asasi manusia, terutama hak-hak pekerja dan perempuan.
Meskipun kepergiannya telah meninggalkan luka yang mendalam, warisan perjuangan Marsinah terus hidup dan menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk terus berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan. Sebagai simbol perlawanan, Marsinah mengajarkan kepada kita semua pentingnya untuk tidak pernah diam dalam menghadapi ketidakadilan, dan untuk selalu berdiri teguh dalam memperjuangkan hak-hak kita.