Bincangperempuan.com- Dunia musik tengah kehilangan bintang berbakat sekaligus pemilik suara yang berpengaruh. Ia adalah Sinead O’Connor, penyanyi dan penulis lagu asal Irlandia. Selain memiliki suara memikat, O’Connor juga terbuka dengan isu sosial dan politik. Musik dan sikapnya menunjukan komitmen untuk membuat dunia jadi tempat yang lebih baik. Ia meninggal pada Rabu (26/7/2023) lalu saat usianya genap 56 tahun.
Musisi yang lahir pada 8 Desember 1966 di pinggiran Glenageary, Dublin ini telah merilis sepuluh album sepanjang kariernya. Album keduanya, I Do Not Want What I Haven’t Got mencapai penjualan hingga 7 juta kopi di seluruh dunia. Lagu patah hatinya, “Nothing Compares 2 U” turut dinobatkan menjadi singel nomor satu oleh Billboard Music Awards.
Menolak untuk diam
Perempuan dengan nama lengkap Sinéad Marie Bernadette O’Connor ini kerap dilabeli sebagai musisi pemberontak karena kegigihannya dalam menantang norma-norma sosial. Kejadian yang paling menuai kontroversi adalah kala ia tampil di Saturday Night Live pada (3/10/1992). Pada acara tersebut, ia menunjukkan foto Paus Yohanes Paulus II di depan kamera dan merobeknya menjadi dua bagian. Aksi itu adalah alarm protes yang dilakukan O’Connor atas ramainya kabar pelecehan seksual pada anak-anak di gereja Katolik.
Pembalasan atas keberaniannya itu tak kenal ampun. Ia dicemooh saat penampilan berikutnya hingga akhirnya batal tampil. Selebriti lain, seperti Joe Pesci ikut mengutuk dan menggunakannya sebagai lelucon. NBC sendiri menerima lebih dari 4.000 keluhan penonton.
Pada kesempatan yang lain, O’Connor juga memutuskan untuk menarik diri dari penampilan di Saturday Night Live pada tahun 1990. Hal ini dikarenakan komedian Andrew Dice Clay dijadwalkan ikut tampil. Andrew kerap dikritik sebagai misoginis.
Konsistensi perlawanan O’Connor juga ditunjukkan dari penampilan fisiknya. Ia menolak saran dari label musiknya untuk tampil lebih feminim dengan memanjangkan rambut, mengenakan hak tinggi, serta memakai rok pendek. Ia menjawab saran itu dengan mencukur habis rambutnya lalu mengenakan jeans robek dan sepatu bot. Ini adalah bentuk protes atas seksisme di industri musik yang telah ia tolak sejak awal. Ia ingin musisi wanita dihargai karena kemampuan dan bukan penampilannya.
Penyanyi lagu “The Emperor’s New Clothes” ini memang vokal pada isu rasisme, hak reproduksi perempuan, krisis AIDS, perang, bahkan kekerasan terhadap anak. Isu-isu yang sebenarnya dekat dengan dirinya. Aktivismenya sering dibandingkan dengan Madonna saat menentang Gereja Katolik.
Melawan trauma
O’Connor merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari Sean O’Connor dan istrinya, Marie. Ia mengalami tahun-tahun kekerasan fisik, seksual, emosional dari Ibunya. Mendiang Ibunya sering memukuli dengan menargetkan organ reproduksinya. Marie menginginkan anak laki-laki dan berusaha menghentikannya sebagai perempuan. Pelecehan yang dialami saat masih anak-anak itu adalah salah satu pendorong utama dari sifat pemberontaknya.
Ibunya juga mendorong O’Connor kecil untuk mencuri hingga membuatnya kecanduan dalam melakukannya. Perbuatannya itu mengantarkan dia ke Pusat Pelatihan Grianan. Lokasi untuk menampung remaja hamil atau gadis muda yang dianggap tidak bermoral. Di sana ia bekerja di bawah tanah untuk mencuci pakaian para pendeta. Selain tak mendapat upah, kontak dengan keluarga juga dibatasi. O’Connor berada di sana selama 18 bulan. Ketika itu, ia baru berusia 15 tahun.
Kehidupan dewasanya juga masih diliputi penderitaan. Ini terjadi kala ia memperebutkan hak asuh anak dengan ayah dari anak keduanya. Kejadian itu membuatnya tertekan hingga membuatnya mencoba bunuh diri pada tahun 1999. Pada November 2015, ia mengunggah pesan di Facebook dan mengatakan bahwa ia berpikir untuk kembali bunuh diri. Beruntung ia ditemukan selamat lalu memperoleh perawatan medis.
Sinead O’Connor didiagnosis menderita gangguan bipolar, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan stres pascatrauma kompleks. Ia menghabiskan enam tahun berada di rumah sakit jiwa. Ia bahkan menyebut rumah sakit jiwa St Patrick’s adalah rumah keduanya. Perjuangannya dalam menghadapi kesehatan mental ini ia tulis dalam sebuah memorar berjudul Rememberings. Memoar ini dirilis pada Juni 2021 lalu.
Terus menebar kebaikan
O’Connor dinominasikan pada empat penghargaan Grammy ke-33 pada tahun 1991. Namun, memilih tidak menghadiri acara bergengsi itu dan menjamin akan menolak penghargaan apapun apabila menang. Baginya, penghargaan itu hanya bersifat komersial dan tidak artistik. Ia konsisten menolak Grammy, Vatikan, dan industri musik itu sendiri. Kesetiaan O’Connor pada idealismenya ia tunjukan dengan menolak ketenaran.
Anak perempuan sekaligus ibu ini memiliki keberanian untuk menjadi auntetik di tempat yang berusaha menyembunyikan orang-orang sepertinya. Pada tahun 2018, ia mengumumkan diri telah masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Shuhada’ Sadaqat. Ia tak pernah takut berbicara jujur soal yang diyakininya.
Banyak hal kontroversial yang dikatakan dan dilakukan O’Connor. Namun, ia selalu bersiap untuk menghadapi reaksi kekacauan yang mungkin terjadi. Ia adalah gabungan nyata dari ketulusan dan keberanian. Ia tak pernah mundur dari pandangannya tentang kebenaran.
O’Connor mengaku ingin menggunakan musik sebagai sarana untuk mereka yang tidak berdaya. Ia terus menyumbangkan musiknya untuk kebutuhan masyarakat kulit hitam dan peningkatan pengetahuan HIV/AIDS. Meski dikenal sebagai penyanyi protes, secara pribadi, musik adalah pelipur laranya ketika situasi sulit melanda. (Delima Purnamasari)