Bincangperempuan.com- Namanya Nani Afrida, jurnalis senior perempuan asal Aceh. Pilihan hidupnya bisa dibilang cukup “gila”, memilih bertahan menjadi jurnalis sangar (baca : hebat,red). Dalam wawancara bersama tim Bincang perempuan 29 Maret 2023 lalu, Nani menjawab pertanyaan singkat yang sempat bikin melongo sesaat.
“Sudah berapa tahun Mbak Nani jadi jurnalis?”, jawaban singkat, tegas, dan padatnya, ternyata sudah sejak tahun 2000 hingga saat ini. Total masa kontribusi Nani hingga saat ini pada dunia jurnalistik adalah 23 tahun. Di balik prestasinya yang tak terhitung, ada banyak kisah yang jika diulas detail dalam tulisan ini tidak akan cukup 100 hari untuk membahas betapa heroiknya jurnalis perempuan satu ini.
Menariknya, Nani adalah jurnalis perempuan yang fokus di bidang konflik dan Hak Asasi Manusia. Tidak hanya itu, pendidikannya juga tidak kalah keren dengan pengalamannya dalam jurnalistik, yaitu penerima beasiswa Asian Peacebuilder Scholarship dan berhasil menggaet dua master di Ateneo de Manila University Filipina serta University for Peace di Costa Rica. Pengalaman kerjanya di bidang jurnalistik diantaranya; Serambi Indonesia, The Jakarta Post, Acehkita, EPA, DPA, dan Anadolu Agency.
Ia juga pernah menjadi konsultan pembentuk media yang dibiayai oleh Multi-Donor Fund di masa rehabilitasi tsunami dan konflik Aceh. Belum habis, saat ini Nani sedang aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pengurus Gender Council di Asia Pasifik untuk International Federation of Journalist (IFJ), sekaligus Pemimpin Umum di media alternatif konde.co (dilansir dari laman konde, sesuai rekomendasi langsung dari Nani Afrida).
Terkait keputusan menjadi jurnalis perempuan yang rentan diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan dalam profesi, Nani menjelaskan bahwa sejujurnya pada awal meniti karir, orang tua sempat tidak mengizinkan dan justru menawarkan agar Nani menjadi dokter dengan alasan jika menjadi wartawan akan miskin.
“Aku gagal masuk fakultas kedokteran 2 tahun, akhirnya orang tua menyerah dan bilang kalo kayaknya kamu (Nani) gak cocok disitu, soalnya masuk dua kali tetep gagal. Karena orang tua kan maunya aku masuk negeri ya, jadi sempet juga aku masuk Universitas swasta ya, kupikir kayaknya aku emang nggak berbakat gitu kan. Tapi waktu itu aku ambil jurusan humas kan, jadi orang tua nggak ngira aku jadi wartawan. Setelah aku jadi wartawan akhirnya orang tua mendukung sih, waktu itu aku kan pake tip rekaman yah, orang tua yang beliin aku tip rekaman”, jelas Nani dalam wawancara soal orang tuanya yang akhirnya mengizinkan ia memilih profesi menjadi jurnalis.
Kompilasi Liputan di Wilayah Rawan Konflik
Bicara soal pengalaman liputan, Nani Afrida yang kebetulan sedang berada di Nepal saat melakukan wawancara dengan Bincang Perempuan, mengatakan bahwa ia memiliki segudang pengalaman liputan yang berkesan. Dia bahkan merekomendasikan para pembaca untuk membaca kisahnya yang ia rangkum dalam satu tulisan di blognya. Di salah satu tulisan itu, ia menuliskan cerita panjang berseri, 5 seri banyaknya.
Tahun 2001, ketika liputan di daerah Laweung Pidie karena isu penembakan guru ngaji yang mengakibatkan sejumlah masyarakat mengungsi karena takut, seorang guide sekaligus sopir meminta Nani bertemu seseorang di kedai kopi. Sampai di sana, ada sejumlah lelaki dengan wajah seram langsung mengeluarkan pistol dan menaruhnya di meja depan Nani. Setelah beberapa saat, Nani baru sadar bahwa yang mengurungnya adalah anggota (Gerakan Aceh Merdeka) GAM yang membenci orang dari Pulau Jawa.
Tahun 2003, saat darurat militer, tentara tiba-tiba memblokir nomor telepon Nani karena dicurigai sebagai GAM. Kemudian beliau pergi ke penerangan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) yang saat itu dipegang oleh Kolonel Ditya Sudarsono untuk menjelaskan bahwa kerja wartawan sah jika menghubungi siapa saja untuk check and recheck serta mempertanyakan kenapa nomornya masuk ke daftar yang dicurigai TNI. Hasilnya, Ditya menyarankan Nani untuk mengganti nomor HP dan berhenti konfirmasi ke GAM.
Tahun 2005, pasca tsunami Aceh, Nani dan beberapa wartawan mengunjungi daerah yang terimbas tsunami. Ketika sampai di penampungan, masyarakat melihat sinis rombongan wartawan, marah dan mengusir mereka. Di situ Nani menangis karena masyarakat tidak lagi percaya pada wartawan. Apalagi bagi Nani, kerja jurnalis adalah untuk masyarakat. Bahkan Nani tidak pernah masalah ketika ada pejabat, TNI, Polri atau sejenisnya yang membentaknya karena beliau tidak bekerja untuk mereka.
Premis untuk Jurnalis
Salah satu diskriminasi dalam dunia jurnalis yang pernah dirasakan sekaligus dilihat oleh Nani adalah jurnalis laki-laki lebih dipercaya daripada perempuan. “Apalagi aku kan di Aceh ya, perempuan jadi wartawan tuh nggak banyak ya waktu itu, jadi laki-laki lebih dipercaya”, imbuhnya. Nani juga menjelaskan perbedaan wartawan sekarang dengan yang dulu, “Jurnalis perempuan sekarang lebih enak sih dibanding masa saya dulu, mereka dapat akses informasinya nyaris sama. Perbedaannya dulu saya lebih susah jadi wartawan karena akses informasi, akses tempat, orang juga nggak biasa lihat jurnalis perempuan. Tapi kalau sekarang itu lebih gampang, media sekarang kan juga lebih banyak daripada dulu, kalau dulu kan medianya sedikit karena jaman Soeharto. Sekarang media banyak, semua orang bisa bangun media,” jelasnya.
Ketika ditanya apakah pernah terlintas pikiran untuk keluar dari dunia jurnalistik, Nani mengiyakan. Namun menurutnya perasaan tersebut adalah hal yang lumrah muncul ketika seseorang capek dengan rutinitasnya. Nani bilang, ia memiliki trik untuk dapat keluar dari perasaan tersebut yakni dengan ‘mundur sebentar’, melakukan hobi yang disuka, untuk pada akhirnya kembali menulis.
“Beberapa kali sih kepikiran kayak gitu kalau lagi capek, kalau udah nggak capek, ya nggak. Karena saya skill-nya nulis ya, kalau untuk berhenti ya pas capek aja ya, tapi enggak sih, lebih enjoy ya, kalau nggak happy ya nggak kerja gitu ya, karena itu sih satu-satunya alasan aku bertahan. Kalo, lelah ya mundur sebentar dari kerjaan, baca buku yang kita suka, gitu,” ungkap Nani terkait keinginannya untuk resign dari jurnalistik.
Kepada para jurnalis perempuan Nani memiliki beberapa pesan, salah satunya penting untuk memiliki komitmen diri sendiri sebagai seorang jurnalis. “Itu kembali ke diri sendiri ya, kalo memang sudah ambil jalan sebagai jurnalis ya jalanin dengan serius dan sepenuh hati gitu. Perkara tantangan ya, di semua era pasti ada tantangannya, mungkin tantangan yang aku terima beda sama yang sekarang ya. Tapi kalau memang niatnya sama-sama jadi wartawan kenapa nggak dijalanin, tapi serius,” ujar Nani.
Selain itu, Nani berpesan agar para jurnalis perempuan aktif berkumpul dalam forum-forum jurnalistik. Utamanya memiliki sistem dukungan yang baik dari para jurnalis perempuan. Hal ini dimaksudkan agar jurnalis perempuan dapat saling menguatkan dan memberi pelajaran atas apapun yang ditemuinya saat berproses dalam pekerjaan ini.
“Terus berserikat, berkumpul, jadi kalau bisa jurnalis perempuan itu punya temen-temen jurnalis perempuan juga gitu, saling membantu, membuat support system yang bagus, nggak ada iri-irian, nggak ada saling bermusuhan, itu penting sih menurutku,” pesannya.
Terakhir, Nani berpesan agar para jurnalis aktif membaca. Tidak hanya membaca tulisan miliknya sendiri, namun juga memperkaya wawasan dengan membaca tulisan orang lain dan karya-karya orang lain. Selain untuk belajar, hal tersebut juga tentunya akan menentukan kualitas tulisan dari karya miliknya sendiri,
“Terus banyak belajar, banyak baca, jurnalis sekarang males baca, mereka rajin baca tapi baca berita sendiri gitu, nah itu yang paling penting ya. Jadi, nambah pengetahuan, semangat, berjejaring, saling mendukung sesama perempuan, sama laki-laki juga, intinya bekerja sama ya,” pungkasnya.