Home » News » Normalisasi Candaan Seksis pada Anak dan Remaja

Normalisasi Candaan Seksis pada Anak dan Remaja

Haifa Chairania

News

Normalisasi Candaan Seksis pada Anak dan Remaja

Bincangperempuan.com“Kamu enak bisa ngapung, kan pelampungnya gede-gede.” Demikian Ann (bukan nama sebenarnya) menceritakan pengalaman di kelas olahraga semasa SMP. Kala itu, mereka sedang praktik berenang. Ann yang tengah melakukan gaya punggung justru menjadi sasaran “candaan seksisme” dari teman-temannya.

“Udah sering aku dengar omongan begitu, rata-rata mengomentari bentuk tubuhku,” ungkapnya. “Dulu SD aku juga pernah dapat pelecehan fisik. Ceritanya lagi latihan taekwondo. Kebetulan aku pakai baju motif polkadot sebagai dalaman seragam. Terus adik kelasku tiba-tiba bilang, ‘Bajumu ndol-ndol ya’  sambil mencolek dadaku. I was shocked.”

Kisah Ann menjadi potret nyata betapa kaburnya batasan antara pelecehan dan keisengan. Alih-alih menjadi ruang aman bagi anak-anak dan remaja untuk tumbuh dan berkembang, lingkungan mereka justru menormalisasi pelecehan seksual yang berbalut derai tawa. Candaan seksisme yang dialami Ann adalah salah satu contohnya di mana humor bernuansa sensual sering kali digunakan untuk melakukan objektifikasi terselubung terhadap penampilan fisik perempuan. Buntut dari tindakan ini, tak lain dan tak bukan, adalah melanggengkan pandangan untuk merendahkan perempuan. 

Faktanya, pelecehan bukan hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Objektifikasi seksual yang dilakukan anak-anak dan remaja pun tidak nahasnya pun hanya dianggap sebagai dalih keisengan atau main-main–tanpa mempertimbangkan bahwa perilaku ini tetaplah memberi dampak buruk psikologis dan emosional bagi korban.

Baca juga: Empat Isu Seksisme yang Disentil dalam Drakor Love to Hate You

Patriarki yang Dinormalisasi

Jika mengacu pada teori social learning yang digagas Albert Banduran, anak-anak membentuk perilaku dan nilai berdasarkan lingkungan sekitar, termasuk figur orang dewasa seperti orang tua dan guru.   Asumsi yang lantas timbul, bagaimana jika anak-anak justru mempelajari nilai dan norma yang salah?

Kecenderungan anak untuk ‘meniru’ ini sayangnya tidak lepas dari paparan budaya patriarki yang kadung melekat di kehidupan sehari-sehari. Fawcett Society, pada laporannya di tahun 2020, menyatakan bahwa usia tujuh tahun menjadi masa di mana anak mulai menyesuaikan sikap dengan ketentuan gender yang ditetapkan. Ekspektasi gender yang disematkan sejak lahir mencakup peran gender tradisional dan stereotip yang justru bisa berujung pada pandangan seksis dan toxic masculinity.

Noridha Weningsari, seorang psikolog klinis anak, mengkritisi bahwa budaya patriarki yang direproduksi secara terus menerus menciptakan “ilusi pembenaran” atas perilaku yang salah. Candaan seksisme bukan lagi hal asing, baik yang berseliweran di media atau dunia nyata. Padahal ini adalah bentuk dehumanisasi dengan mereduksi perempuan ke dalam stereotip atau tampilan fisik yang fungsinya hanya untuk memuaskan hasrat seksual. 

Tanpa adanya pengawasan, anak-anak yang belum memiliki sikap selektif akan cenderung menyerap hal-hal tersebut, bahkan menganggapnya ‘cukup normal’ untuk dipraktikkan dalam interaksi sosial. Di lain sisi, kendati menimbulkan ketidaknyamanan, normalisasi ini justru menjebak pemikiran korban untuk legowo saja menerima “keisengan”. Sederhananya, ketika menunjukkan emosi menjadi sebuah tindakan yang berlebihan untuk menanggapi “keisengan”, sering kali, pilihannya hanyalah diam atau tidak menggubris lebih lanjut. 

Baca juga: Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal

Kemana peran orang dewasa?

Peran pengawasan yang diampu orang dewasa turut dipertanyakan saat mereka menormalisasi kalimat “Namanya juga anak-anak dan remaja”. Faktor umur pelaku yang dianggap belum matang untuk membedakan benar dan salah tidak serta merta membuat tindakan mereka bisa dimaklumi, lebih-lebih jika tak diiringi dengan upaya meluruskan tindakan menyimpang tersebut. 

Persepsi ini dapat merambat menjadi generalisasi beracun di kalangan masyarakat, sehingga akhirnya akan merenggut hak-hak korban untuk memperoleh pembelaan dan perlindungan. Penanganan pelecehan seksual kian rumit ketika pihak-pihak berwenang justru berupaya menggunakan “jalan damai” alih-alih memberi sanksi tegas bagi pelaku.

Menilik dari cerita Ann, dirinya sendiri mengakui. “Sejauh yang aku alami, nggak pernah ada tindakan menegur dari guru, keluarga, atau teman-teman lain,” pungkasnya. “They only laughed awkwardly.”

Pelecehan sebagai peer pressure

Fase anak-anak dan remaja dikaitkan dengan momentum pencarian jati diri. Cara mereka berperilaku sering kali didasarkan pada apa yang dianggap benar dan salah oleh lingkungan pergaulannya. Tekanan untuk menyesuaikan diri demi memperoleh penerimaan membuat mereka memilih mengesampingkan pelanggaran nilai dan norma pribadi.

Ketika kelompok menormalisasi candaan seksis dan sikap merendahkan perempuan, besar kemungkinan ini juga akan menjerumuskan anak melakukan hal serupa, belum lagi dengan asumsi bahwa candaan seksis masih dianggap sebagai bentuk solidaritas untuk menunjukkan sikap jantan.

Perlu ada inisiatif   untuk meningkatkan kesadaran anak-anak dan remaja. Penerimaan sosial bukan tentang memaksakan diri mengikuti standar lingkungan, apalagi menuntut pengorbanan untuk menabrak moralitas dan mengaburkan batasan antara perilaku seksual yang wajar (normal sexual behavior) serta berbahaya (harmful sexual behavior).   

Permendikbud PPKSP dan edukasi seksual

Tidak sedikit kasus pelecehan antar teman sebaya yang terjadi di lingkup sekolah. Berdasarkan hasil survei Asesmen Nasional (AN) tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual. Berangkat dari temuan ini, pada 2023 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis peraturan No. 46/2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).

Aturan ini memberi penjelasan yang lebih komprehensif menyangkut subjek kekerasan, bentuk kekerasan, serta rincian tugas satuan pendidikan dan pemerintah dalam mengatur pencegahan serta penangan kasus. Dengan adanya aturan ini, diharapkan menjadi langkah tegas terstruktur dari pemerintah untuk menumpas fenomena normalisasi pelecehan seksual.

Di luar itu, pengajaran edukasi seksual yang komprehensif dari lembaga seperti sekolah dan keluarga juga berperan mengukir karakter anak, sehingga memicu perubahan internal yang sifatnya lebih berkelanjutan. Apa yang dipelajari pada fase anak-anak dan remaja adalah fondasi yang membentuk kehidupan mereka.

Perjuangan memutus rantai patriarki tak akan terwujud apabila mereka, para penerus masa depan, justru tumbuh menjadi orang dewasa yang terus memandang “lumrah”seksisme. Sudah bukan masanya lagi menabukan hak anak memperoleh pengetahuan tentang otoritas tubuh dan consent yang menyertainya.

Normalisasi pelecehan seksual harus dilawan balik dengan upaya pemberdayaan melalui pendidikan gender yang menyandingkan perempuan dan laki-laki untuk saling menghargai sesama selayaknya manusia.

Sumber :

  • Fiona Putri, Normalisasi Kekerasan Seksual Antar Siswa di Sekolah (Bagian 1) dalam Independen.id, 2024
  • Prinstein, M. J., & Dodge, K. A, dalam Understanding Peer Influence in Children and Adolescents. The Guillford Press, 2008
  • Kemendikbudristek Gaungkan Pendidikan Berkualitas tanpa Kekerasan melalui Forum Bakohumasi, 2023
  • Gracia, Aurelia, Anak Laki-laki Jahil ke Perempuan, Benarkah karena Naksir? dalam Magdalene.co, 2023

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perceraian dan Stigma Negatif tentang Status Janda

Women Media Collabs didukung oleh UNDP Indonesia

Kolaborasi Media Perempuan Mendorong Ruang Digital Aman

Bumi & Anak Ciptakan Harmoni dan Gali Potensi dalam Perjalanan Tumbuh Kembang Anak

Bumi & Anak: Ciptakan Harmoni dan Gali Potensi dalam Perjalanan Tumbuh Kembang Anak

Leave a Comment