Bincangperempuan.com- “Pernah dijambret waktu itu di Tanjung Agung, malam hari, sekitar pukul 21.00 WIB. Untungnya motor tidak dibegal,” kenang Ida saat menceritakan pengalaman buruknya sebagai perempuan pengemudi ojek online (ojol) di Bengkulu.
Rosida, Ketua Ladies Grab Bengkulu sudah menjadi pengemudi ojol sejak tahun 2019. Awalnya ibu tiga anak ini ingin membantu ekonomi keluarga. Namun perceraiannya di tahun 2020 membuat Rosida tak ada pilihan. Sebagai single parents yang dituntut berperan ganda, Rosida memutuskan untuk serius menggeluti profesi menjadi pengemudi ojol untuk menopang kehidupannya bersama anak-anak.
Sebelum menjadi pengemudi ojol, Rosida pernah berjualan bakso menggunakan gerobak. Berjualan mainan anak-anak, sayur mayur hingga jajanan ringan seperti tela-tela maupun cimol. Namun geraknya terbatas. Menjadi pengemudi ojol membuat Rosida lebih fleksibel mengatur waktu. Ia bisa mengerjakan pekerjaan rumah dahulu, sebelum bekerja. Termasuk mengantar dan menjemput anaknya dari sekolah. Setelahnya Rosida biasa mangkal di jalan Nusa Indah, depan HokBen Bencoolen Mall atau WTF Cafe.
Hampir 3 tahun menjadi pengemudi ojol, banyak suka duka yang telah dialaminya. Mulai dari harus kehilangan barang, menghadapi orderan fiktif hingga dibatalkan orderan. Ia pernah harus kehilangan surat-surat penting saatnya tasnya dijambret pelaku usai mengantarkan pesanan di daerah Korpri, Kota Bengkulu. Saat itu Rosida tidak terlalu curiga, ketika pelaku yang juga menggunakan motor mendekatinya.
“Tiba-tiba saja, tas saya ditarik. Hilanglah surat-surat di situ. Ya resiko ojol harus siap mental,” imbuhnya.
Budaya patriaki yang menyematkan stereotip terhadap perempuan pengemudi ojek online, menjadi tantangan tersendiri bagi Rosida dan perempuan pengemudi ojek online lainnya. Diskriminasi dari calon penumpang yang membatalkan pesanan setelah tahu bahwa pengemudinya perempuan pernah Rosida alami. Perempuan pengemudi ojek online dianggap kurang mampu untuk menjemput barang dalam ukuran besar dengan mengendarai sepeda motor.
“Pernah penumpang bilang, maaf mbak di-cancel saja soalnya drivernya cewek, bukan muhrim. Pernah dapat begitu,” tutur Rosida.
Kerap mendapatkan diskriminasi karena perempuan, membuat Rosida tak pernah lagi menerima penumpang. Ia memilih menerima order ojol mengantarkan paket atau makanan saja. Akibatnya, penghasilan Rosida berkurang.
“Kini cuma ekspres dan food saja,” katanya singkat.
Menjadi perempuan pengemudi ojek online yang dibutuhkan tidak hanya kemampuan mengendarai motor, namun juga harus memiliki mental dan keberanian yang tangguh, karena dalam menjalaninya ada banyak rintangan dan tantangan. Rosida harus memiliki strategi sendiri agar tetap aman selama di lapangan dan tidak menjadi sasaran pelaku kejahatan. Ia pernah memilih membatalkan pesanan karena jarak dan tempat yang dinilai rawan.
“Kalau rawan ya sudah di-cancel saja. Soalnya walaupun kita dipantau oleh yang lain, mereka kan juga jauh. Tidak mungkin mereka langsung tiba,” terang Rosida.
Meskipun banyak tantangan yang dihadapinya, Rosida tidak pernah merasa sendiri. Teman-teman satu profesi, baik perempuan maupun laki-laki saling membantunya saat berada dalam kesusahan. Ia tidak pernah menyerah walaupun kadang sepi orderan. Mimpinya suatu hari bisa tersenyum ketika melihat anak-anaknya sukses.
“Anak itulah yang membuat kuat, kita maunya anak kita jadi orang. Jangan sampai kita tidak punya suami, anak kita terbengkalai, tidak punya pendidikan,” tekadnya.
Menurut Rosida, perempuan itu bisa melakukan apa saja, menjadi seorang ibu, ayah bahkan sahabat bagi anak-anak. Kuncinya, apapun yang dilakukan harus dengan sabar dan semangat.
“Kita jangan pernah takut untuk sendiri, istilahnya tidak punya suami. Karena rejeki itukan sudah diatur oleh Allah, untuk kasih ke anak-anak kita. Supaya kita mampu menjalani kehidupan, yang penting kita tetap berusaha, ikhtiar, berdoa pasti Tuhan kasih rezeki,” demikian Rosida.(Cindy)
*) Tulisan ini diproduksi kerjasama Bincang Perempuan dan Bengkulu News sebagai program peningkatan kapasitas jurnalis perempuan menulis berita berperspektif gender “Perempuan dalam Ruang Publik