Home » News » Penjualan NCII: Ancaman yang Belum Teratasi

Penjualan NCII: Ancaman yang Belum Teratasi

Yuni Camelia Putri

News

Interaksi sosial tidak lagi terbatas pada pertemuan tatap muka namun beralih di media sosial. Pengguna media sosial yang didominasi generasi muda menjadi wadah untuk menjalin pertemanan atau membangun komunitas yang diinginkan. Ironinya, dibalik perkembangan teknologi ini, media sosial menjadi ancaman mengerikan bagi penggunanya.

Tulisan ini bersifat eksplisit, beberapa bagian dapat menimbulkan trauma dan ketidaknyamanan pembaca.

Bincangperempuan.com- Media sosial menjadi ranah pelaku kejahatan untuk melancarkan aksi yang menargetkan anak muda. Salah satu kasus yang banyak terjadi adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). 

Seperti penyebaran konten intim tanpa kesepakatan atau dikenal dengan Nonconsensual dissemination of Intimate Images (NCII). Mereka yang berusia di bawah dua puluhan dan minim edukasi, menjadi mangsa empuk bagi pelaku NCII.

Reporter Bincang Perempuan melakukan penelusuran ke beberapa grup chat yang menjual dan menyebarkan konten intim tanpa kesepakatan. Diketahui setiap konten yang diperjual belikan di grup diploting berdasarkan kategori usia dan status dengan harga yang bervariasi. 

Selain itu, ditemukan pula konten-konten yang berisikan anak-anak di bawah umur dan diambil tanpa sepengetahuan dari korban.

Grup-grup ini mudah diakses bagi siapapun yang memiliki akun Telegram. Sekali klik, ajukan permintaan, bayar. Hitungan menit pengguna akun sudah bisa mengakses puluhan konten-konten intim.

Ironinya, perempuan menjadi korban NCII terbanyak di Indonesia. Kenapa hal ini dapat terjadi?

Singkatnya, perempuan muda yang sedang mencari identitasnya minim edukasi keamanan digital, mudah mempercayai orang baru, dan dianggap lemah. 

Biasanya, pelaku akan menargetkan perempuan yang sedang terpuruk, merasa sendiri atau memiliki kondisi mental yang tidak stabil. Mereka akan mendekati korban agar mudah dikendalikan sehingga menuruti keinginan pelaku.

Pap untuk pacar 

Nita, bukan nama sebenarnya, menceritakan kisahnya pada Bincang Perempuan, Kamis (27/04/2024).

“Sebenarnya traumanya nggak bisa hilang. Seiring berjalannya waktu, aku mencoba untuk berdamai dengan hal itu,” tuturnya. 

Mulanya Nita tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Apalagi dengan pelaku sebelumnya, Nita menjalin hubungan pacaran. Namun sikap pelaku yang belakangan cenderung manipulatif dan kerap membuatnya merasa bersalah, membuat Nita merasa bingung dengan hubungan yang dimilikinya.

“Saat kejadian itu terjadi, dia (pelaku,red) ini adalah pacarku. Dia ini manipulatif banget orangnya. Hubungan kami juga nggak jelas, dia ini sering bilang putus dan aku dibuat bingung,” ungkapnya.

Penyebaran foto-foto intim Nita mulai terjadi saat ia mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan pelaku. Pelaku yang tidak terima, mengirimkan pesan melalui WhatsApp dan SMS menggunakan nomor +628953912****. Isinya ancaman akan menyebarkan foto intimnya.

Aku bakal nepatin janjiku. Kamu yang mau kita musuhan. Oke, berarti salah satu dari kita bakal ada yang malu,”

Ya, seharusnya kamu menerima akibatnya dari ulahmu. Nggak usah bawa-bawa aku kalau berurusan dengan kampus nanti. Ada buktinya, lihat aja kelakuanku. Itu pelajaran buat kamu. Salahnya kamu minta putus. Urusin semuanya sendiri,

Tak sebatas ancaman. Pelaku juga meminta Nita untuk melakukan hubungan badan dengannya sebelum benar-benar mengakhiri hubungan tersebut.

Situ si. Udah lah nurut aja, terakhir juga. Habis itu putus, yakan. Kayanya udah ga sayang kayak kemaren. Cuma lagi pengen ml, jadi kalau mau putus saat yang tepat ya sekarang,”

Tentu saja, Nita menolak permintaan pelaku. Nita bahkan menanyakan motif pelaku atas ancaman yang diberikannya. Hasilnya, pelaku justru memberikan jawaban yang tidak jelas alias ngambang.

Dan foto Nita pun menjadi konsumsi publik.

“Sebelum foto itu tersebar, aku sempat tanya ke dia (pelaku,red). Apa maksud dia melakukan hal itu? Apa mau dia? Tapi dia nggak kasih jawaban yang jelas. Dia cuma jawab kalau dia pengen aku menderita. Jadi aku nggak tau motifnya itu apa,” jelas Nita.

“Dia (pelaku,red) pengen buat aku kayak terus bergantung dengan dia. Supaya aku tuh cuma mengandalkan dia dan nggak bisa minta bantuan ke orang lain,” tambahnya.  

Nita tidak menapik semasa pacaran, kesalahan terbesarnya adalah selalu menuruti setiap kali pelaku meminta pap (foto,red) tanpa busana. Hal itu ia lakukan karena pelaku memaksa dan mengancam hingga membuatnya ketakutan. Ia tidak pernah membayangkan jika foto-foto tersebut disimpan pelaku. Bahkan digunakan untuk mengancam.  

“Foto itu aku yang kirim ke dia pas kita masih pacaran. Dia selalu minta dengan ancaman yang membuat aku akhirnya ngasih foto itu ke dia,” ucap korban.

Cerita Nita hanya satu dari sekian banyak kasus. Ibarat gunung es, kasus yang tidak tampak di permukaan lebih banyak. 

Baca juga: Ketua AJI Bengkulu: Perempuan Masih Menjadi Sasaran KBGO

Diam, dan mencoba pulih dari trauma 

Tetap berusaha tegar, meskipun mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan. Tidak mudah bagi Nita melupakan fotonya tanpa busana yang tersebar di media sosial. Hal tersebut membuatnya malu dan tertekan. Merasa dikucilkan, dan tidak layak untuk melanjutkan hidup. 

“Pada saat itu pikiranku udah kacau dan nggak bisa mikir jernih karena aku panik. Aku masih baru di lingkungan tempat tinggalku dan belum menemukan teman untuk meluapkan masalahku. Aku takut ini menganggu studiku dan pertemananku,” ungkapnya.

Pada Bincang Perempuan, Nita mengaku mengalami stress hampir satu tahun lamanya. Ia memilih menutup diri. 

Padahal, sebelum peristiwa itu terjadi, ia dikenal sebagai sosok yang ceria dan mudah berbaur dengan lingkungan barunya.

“Aku tuh sebelumnya suka main dan berinteraksi dengan banyak orang. Sejak kejadian itu, aku tuh benar-benar menutup diri dan off dari media sosial. Aku jadi nggak suka main, tetap di rumah aja, dan aku takut orang di sekitarku itu nggak bisa menerima image aku yang seperti itu. Dan itu terjadi selama satu tahun,” jelas Nita.

Nita lebih memilih untuk diam. Mencoba melupakan persoalan yang ada tanpa melibatkan aparat penegak hukum. Dukungan keluarga membuat Nita bangkit dari keterpurukan. 

“Butuh waktu yang lama untuk pulih, ya. Untungnya keluarga dan teman-teman itu selalu dukung aku dan meyakinkan kalau itu bukan salah aku. Aku selalu dihibur dan dikasih masukan positif biar nggak kepikiran terus,” paparnya. 

Baca juga: Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal

Banyak korban enggan melapor 

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka, mengatakan apa yang dialami Nita bukan hanya satu atau dua kasus di Indonesia. Apalagi berujung pada keputusan korban untuk tidak melaporkan permasalahan yang dialaminya ke pihak berwajib bukanlah kejadian yang baru. 

Dikatakan Mike, ada banyak korban dari penyebaran konten intim tanpa persetujuan yang melapor ke KPI namun menolak untuk melaporkan permasalahannya ke pihak berwajib. Hal tersebut lebih dikarenakan korban merasa bersalah dan berdosa. Sehingga lupa jika korban sebenarnya sudah dirugikan. 

“Kita tahu betul ya kalau NCII ini kuat nilai moralitasnya. Jadi, kadang-kadang korban itu rasa berdosanya, rasa bersalahnya itu lebih tinggi daripada rasa bahwa dia dirugikan. Dia adalah orang yang sedang mendapatkan kriminal,” terang Mike.

“Justru tabu yang sangat kuat. Lalu unsur moralitas di masyarakat membuat korban malah ketakutan. Dampak yang mereka pikirkan, kalau ini dilaporkan maka keluarga akan tahu. Jangankan mau melapor atau tidak melapor, dua sisi itu punya dampak yang buruk sehingga korban takut. Korban pikir melapor dan nggak melapor itu sama buruknya,” tambahnya.

Meskipun demikian, Mike menilai bahwa sisi moralitas perlu diluruskan agar dapat membantu korban. Sehingga korban bisa mendapatkan keadilan dan hak-hak mereka ketika mengalami kejadian tersebut.

“Sebenarnya, ini (nilai moralitas,red) yang perlu dikuatkan, ya. Dari sisi-sisi moralitas itu perlu dicerahkan, ya. Khususnya korban agar menyadari bahwa mereka itu mengalami tindak pidana dan mereka berhak ditolong, dilindungi, dan mengakses keadilan. Itu yang sebenarnya perlu,” tegas Mike. 

Tidak sedikit, kata Mike, minimnya korban yang tidak melapor juga turut disebabkan oleh tekanan dari lingkungan yang tidak mendukung. Akibatnya korban menjadi semakin takut. 

Kondisi ini kata Mike, juga didukung dengan kuatnya nilai patriarki dan streotip gender memiliki peran penting dalam penyebaran konten tanpa izin. Masyarakat yang masih misogini dan selalu menyalahkan korban membuat kasus ini menjadi sulit teratasi. 

“Menyalahkan korban dan bukannya dibantu. Bahkan kata-kata kayak gatel dan liar itu udah bikin terpuruk berkali-kali lipat ketika korban menyadari itu dampak dari melapor,” katanya. 

Sementara dari sisi hukum, terdapat banyak tantangan untuk mengatasi kasus ini sehingga korban turut mempertimbangkan keinginannya untuk melaporkan. Mulai dari persoalan perspektif yang masih tidak menganggap kasus-kasus seperti ini sangat merugikan. Tidak hanya korban namun juga ruang lingkup korban yang terdampak. 

“Pertama, aparat hukum ini tidak melihat korban dengan clear, ya. Padahal kekerasan seksual adalah pidana yang serius karena berkaitan dengan kerendahan martabat manusia. Sayangnya itu menjadi masalah dari sisi layanan hukum. Kedua, secara kebijakan meskipun sudah diatur tetapi tidak cukup melindungi. Dimana belum ada pengaturan yang responnya cepat seperti mekanisme penanganan yang langsung,” papar Mike. 

“Dan ini juga soal-soal kebijakan itu masih tumpang tindih, ya. Misalnya UU ITE kita bahkan pasal karet. Ketika korban melaporkan, mereka bisa dibalik dengan tindak pidana yang lainnya. Jadi, kriminalnya itu kepada korban dengan tuduhan pencemaran nama baik dan perlakuan tidak menyenangnya. Ini justru malah berbalik kepada korban. Saya melihat ada kesimpang siuran dan proses yang sangat lambat padahal kita berhadapan dengan sesuatu yang cepat,”  sambungnya. 

Akibatnya, kata Mike, dilema korban akan semakin kalut karena rasa khawatir akan dampak yang lebih besar. 

“KBGO ini juga susah- susah gimana, ya. Saya melihat ini bagian dari KBGO dan kalau nggak hati-hati ini tuh justru menyebabkan dampak yang berkali-kali lipat bagi korban. Belum lagi, misalnya nilai-nilai di masyarakat yang melihat kasus ini dengan pandangan negatif dan tidak membantu korban,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida

Lazy Girl Job, Semestinya Bukanlah Kemewahan

Mendukung Langkah Pemerintah Indonesia Padat Karya, Menilik Lebih Dalam Hak Pekerja

Leave a Comment