Home » Isu » Kekerasan Gender » Peran Penegak Hukum Wujudkan Penghapusan KDRT

Peran Penegak Hukum Wujudkan Penghapusan KDRT

Peran Penegak Hukum Wujudkan Penghapusan KDRT

Bincangperempuan.com- Para penegak hukum memiliki peran penting untuk mewujudkan penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena dalam prosesnya korban meminta perlindungan dan keadilan kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu, dalam rangka Kampanye Jelang Dua Dekade Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Perkumpulan Jalastoria Indonesia (JalaStoria) menggelar Dialog Aparat Penegak Hukum mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Selasa (19/09/2023).

Data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) sepanjang 2022 masih menunjukkan bahwa kasus kekerasan tertinggi yang dialami perempuan, 73 % adalah kekerasan dalam rumah tangga, dengan jenis kekerasan terbesar yang dialami adalah kekerasan fisik. Data ini dibenarkan oleh perwakilan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim POLRI, Ema Rahmawati yang mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memang didominasi oleh kasus KDRT. 

Baca juga: Fair Play: Potret Patriarki dan Misogini yang Dihadapi Perempuan

“Dari data kasus yang kami tangani khususnya yang di TPA terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak itu memang setiap tahunnya didominasi oleh kasus KDRT dari tahun 2005. Tahun terakhir ini saja dari tahun 2019-2020 kemudian 2021-2022 itu memang fluktuatif tapi memang dibanding dengan jenis kejahatan lainnya dari jenis kekerasan lainnya itu adalah KDRT menempati peringkat yang pertama di bulan yang tertinggi di 5 tahun terakhir ini ada di tahun 2020,” terangnya. 

Ema mengatakan bahwa dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk KDRT, POLRI telah memiliki Unit PPA yang tersebar hingga ke tingkat Polres yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, penanganan, dan pelayanan khusus, termasuk juga pendampingan bagi korban perempuan dan anak. 

Dalam penanganan kasus KDRT, diakui Ema bahwa berbagai masalah dan kendala masih dihadapi oleh pihak kepolisian. Misalnya, terkait persepsi APH (aparat penegak hukum) yang belum sepaham dalam memaknai UU PKDRT, batasan-batasan tertentu dalam UU PKDRT yang dinilai belum jelas, dan keterbatasan Sumber Daya Manusia. 

“Penanganan kasus KDRT ini memang masih banyak menimbulkan permasalahan karena apa? terkait dengan bagaimana permasalahan itu timbul dari si korbannya itu sendiri kemudian timbul karena ada keterbatasan saran lain-lain itu memang sangat kompleks termasuk juga dalam penegakan hukumnya ada beberapa hal yang diatur di dalam undang-undang PKDRT ini yang masih belum sepaham masih juga melihat undang-undang PKDRT,” jelasnya. 

“Untuk teknis bagaimana penanganan kasus KDRT juga tentu saja tidak bisa bekerja sendiri ada hak-hak yang harus diberikan kepada korban KDRT ini tentu saja tetap bekerja sama dengan aparat terkait misalnya UPTD PPA kemudian lembaga berbasis masyarakat yang menyediakan layanan pendampingan,” lanjutnya. 

Ibu Ema berharap ke depan ada pedoman khusus kasus KDRT yang dibuat bersama lintas instansi dan institusi penegak hukum agar proses yang dilakukan selaras antar institusi. 

Di tingkat Kejaksaan, Erni Mustikasari Jaksa Ahli Madya Kejaksaan RI menuturkan UU PKDRT sudah masuk dalam mata diklat khusus pada pendidikan dan pelatihan bagi Jaksa. Meski demikian, Eni mengamini pernyataan dari pihak UPPA POLRI yang memandang bahwa masih ada celah hukum diantaranya terkait batas ruang lingkup dalam UU PKDRT yang kerap menjadi persoalan dan kendala dalam implementasi bagi APH khususnya Jaksa. 

Baca juga: Petani Perempuan Karisma, Bangun Gerakkan Pertanian Berkelanjutan

“Yang penting ternyata perspektif kita bersama. Ketika seorang istri melaporkan suami pasti perlakuan yang diterima sudah kelewatan, pertengkaran sudah sering. Maka perspektifnya (APH) harus dibangun, sensibilitas juga. Satu lagi, Restoratif Justice (RJ) jangan dipahami sebagai penghentian perkara tapi adalah pendekatan yang memulihkan. Kalau korban mendapatkan rehabilitasi medis, restitusi dan kompensasi, pelaku bisa memahami kesalahannya dan telah membuat luka itu RJ. RJ itu ketika kita bisa memberikan pemulihan kepada pelaku, korban dan masyarakat,” jelas Erni Mustikasari.

Dalam UU No. 23 Tahun 2004, tindakan KDRT sebenarnya sudah masuk dalam ranah tindak pidana, namun dalam praktiknya masih banyak korban KDRT, terutama istri, memilih penyelesaian untuk mengakhiri kekerasan yang dialaminya dengan datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan perceraian. Oleh karena itu, ini masih menjadi tugas bersama untuk menyelesaikan kasus KDRT dalam ranah tindak pidana agar menghasilkan efek jera bagi para pelaku. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Hukum, KDRT

Artikel Lainnya

Negara Gagal Mengakhiri Femisida

Tren ‘Man or Bear’, Ketakutan yang Berakar dari Pengalaman Nyata Perempuan  

Femisida dan Pemberitaan yang Tidak Memihak Korban

Leave a Comment