Home » Isu » Kekerasan Gender » Tren ‘Man or Bear’, Ketakutan yang Berakar dari Pengalaman Nyata Perempuan  

Tren ‘Man or Bear’, Ketakutan yang Berakar dari Pengalaman Nyata Perempuan  

BincangPerempuan.com“Kalau kalian seorang perempuan dan terjebak di sebuah hutan, kalian akan memilih terjebak bersama seekor beruang atau seorang laki-laki?” Pertanyaan ini belakangan tren di media sosial TikTok. Dimana perempuan diberikan pertanyaan tersebut dan sebagian besar dari mereka memilih untuk bersama seekor beruang atau lebih dikenal dengan tren man or bear.

“Beruang, hal paling buruk yang dilakukan beruang adalah membunuh karena mereka terancam atau lapar,”

“Beruang, orang lain lebih percaya bekas cakaran beruang,”

“Beruang, karena orang-orang tidak akan mempertanyakan pakaian apa yang lagi aku pakai waktu diserang beruang,”

“Beruang, karena beruang tidak akan memperkosa mayat,”

Kalimat-kalimat tersebut menunjukan betapa perempuan lebih mempercayai seekor beruang daripada laki-laki baik itu laki-laki yang sudah lama dikenal ataupun baru dikenal. 

Beruang diyakini sebagai makhluk yang hanya menyerang atau membunuh karena insting bertahan hidupnya. Sementara laki-laki tidak  dapat diprediksi, apa yang akan dilakukannya sekalipun terhadap perempuan yang diakui ia cintai. 

Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan konsep femisida. Namun, tren ini mencerminkan kekhawatiran perempuan terhadap kekerasan yang dapat dilakukan oleh laki-laki, yang merupakan salah satu bentuk kekerasan gender yang ekstrim dan dapat berujung pada femisida.

Meskipun tren ini tidak secara eksplisit membahas femisida, namun tetap memperlihatkan realitas sosial bahwa banyak perempuan merasa rentan terhadap kekerasan pria, yang dalam kasus ekstrem dapat menyebabkan femisida. Tren “Man or Bear” menggarisbawahi ketakutan yang berakar dari pengalaman nyata perempuan dengan kekerasan gender.

Baca juga: Femisida: Memahami Kekerasan Berbasis Gender dan Tindakan Pencegahannya

Motif femisida 

Komnas Perempuan mendefinisikan femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender sebelumnya.

Kasus pembunuhan terhadap perempuan belakangan ini yang diberitakan media massa, di antaranya kasus ‘wanita dalam koper’ di Cikarang dan di Bali, ‘mutilasi Perempuan’ di Ciamis, dan ‘dibunuh karena mengingau’ di Minahasa Selatan yang dikategorikan sebagai femisida.

Kasus-kasus tersebut menambah daftar jumlah kekerasan terhadap perempuan yan terjadi di Indonesia. Dari hasil penyelidikan, beberapa korban mengalami penyiksaan menggunakan benda tajam dan kekerasan seksual. Ketika sudah tidak bernyawa, pelaku juga masih melakukan penyiksaan terhadap tubuh korban.

“Pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif. Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan,”  ujar Komisioner Rainy Hutabarat dilansir dari siaran pers Komnas Perempuan.

“Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. Termasuk dari kasus-kasus yang terjadi belakangan ini,” sambungnya.

Budaya patriarki yang kuat dan norma sosial yang merendahkan perempuan menjadi faktor utama penyebab femisida. Perempuan sering kali dianggap lebih rendah dan kurang berharga dibandingkan laki-laki.

Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan enggan melaporkan kejadian tersebut karena takut akan stigma, diskriminasi dari masyarakat sekitar, atau tindakan balasan dari pelaku.

Menurut Manajer Advokasi Jakarta Feminist, Naila Rizqi, ada persepsi dan budaya yang keliru dalam melihat perempuan, seakan hanya properti milik laki-laki dan objek seksual semata. banyaknya kasus femisida juga merupakan puncak dari kekerasan dan seksisme terhadap perempuan yang sudah mengakar.

“Femisida biasanya memang diawali dengan kekerasan, apalagi dalam konteks relasi intim. Ada KDRT yang berulang yang semestinya bisa dicegah dengan baik oleh keluarga, tetangga, bahkan aparat penegak hukum,” ungkap Naila.

Pantauan dari Komnas Perempuan dan Jakarta Feminist dalam beberapa tahun terakhir menemukan fakta bahwa pembunuhan kepada perempuan paling banyak dilakukan oleh pasangan intim seperti suami atau pacar, mantan suami, mantan pacar dan klien pribadi.

Meskipun ada undang-undang yang bertujuan untuk melindungi perempuan, implementasinya seringkali lemah. Korban kekerasan seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, dan pelaku sering kali tidak dihukum dengan setimpal.

Baca juga: Tubuh Mulus Tanpa Bulu: Ekspektasi Tak Masuk Akal pada Penampilan

Butuh kesadaran masyarakat 

Kesadaran yang lebih tinggi dapat membantu mengurangi stigma terhadap korban kekerasan. Hal ini penting agar korban merasa lebih aman untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami tanpa takut akan diskriminasi atau pengucilan.

Sayangnya, minimnya akses pelayanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan, menyebabkan peningkatan skala kekerasan yang terjadi seperti femisida. Kebanyakan kasus kekerasan seksual hanya berakhir damai walau sudah sampai ke aparat penegak hukum.

Kepekaan yang lebih tinggi terhadap femisida dapat mendorong perubahan budaya yang lebih luas, termasuk norma-norma gender yang lebih setara dan penolakan terhadap kekerasan berbasis gender.

Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap femisida adalah langkah kunci dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus ini. Melalui pendidikan, dukungan, dan perubahan budaya, masyarakat dapat menjadi bagian dari solusi dalam mengurangi dan akhirnya mengakhiri femisida.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Kesetaraan gender dalam Islam

Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Islam?

Hak Pilih Perempuan ODGJ ‘Mengalah’ pada Stigma

Apa itu KDRT

Melihat atau Alami KDRT? Ini Cara Melaporkannya!

Leave a Comment