Home » News » Perempuan Alam Lestari : Menghidupkan Kearifan Lokal dan Melawan Perubahan Iklim

Perempuan Alam Lestari : Menghidupkan Kearifan Lokal dan Melawan Perubahan Iklim

Diajeng Asa Yoya

News

Kisah inspiratif dari Desa Batu Ampar Kecamatan Merigi Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu. Perempuan-perempuan petani kopi menjadi agen perubahan dan penjaga kearifan lokal yang tangguh menghadapi iklim. 

Bincangperempuan.com- “Kalau kami tidak mendeklarasikan ( Desa Kopi Tangguh iklim,red) atau tidak kami lanjut upaya untuk memperbaiki kondisi kebun kopi kami, maka bisa  gagal panen terus. Dampaknya bisa berpengaruh terhadap kehidupan kami, perempuan,” ungkap Ketua Perempuan Alam Lestari, Supartina Paksi saat dijumpai reporter beberapa waktu lalu. 

Perubahan iklim yang memicu ketidakteraturan musim dan ketidakmenentuan cuaca, nyata dirasakan perempuan petani kopi di Desa Batu Ampar. Menimbulkan beragam dampak negatif. Mulai dari menurunkan kuantitas hasil panen kopi dan memperbesar potensi gagal panen. 

Dampak lainnya, pertumbuhan dan perkembangan kopi tidak maksimal serta  tanaman kopi rentan diserang hama dan penyakit lalu mati. Akibatnya biaya perawatan kebun kopi membengkak. Jika hal ini terus terjadi para petani bisa menjual aset yang ada untuk menutup biaya produksi hingga berhutang. Jika panen gagal atau harga produk pertanian turun, mereka mungkin kesulitan membayar kembali pinjaman tersebut, yang bisa menyebabkan siklus utang yang sulit diputus. 

Dampak ini bisa terus meluas, dan berpeluang menimbulkan kerentanan perempuan dan anak-anak petani kopi mengalami kekerasan,  stres,  dan berujung depresi.  Termasuk mengganggu pasar lokal dimana berkurangnya pasokan kopi dan menyebabkan kenaikan harga di market yang lebih luas. 

Ketua Kelompok Perempuan Alam Lestari (PAL), Supartina Paksi. (Foto: Heri Aprizal)

Tidak ingin hal itu terjadi, tahun 2019 Supartina bersama perempuan-perempuan petani kopi lainnya yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Alam Lestari (PAL), menjadi pionir dalam menghidupkan kembali kearifan lokal untuk mendukung pengelolaan kebun kopi. Kelompok ini sepakat mendeklarasikan Desa Kopi Tangguh iklim pada 28 Januari 2020. Ini menjadi momen penting yang menandai komitmen perempuan di Desa Batu Ampar melawan perubahan iklim. 

Beberapa tradisi lokal berkelanjutan dilakukan kelompok ini. Seperti mengganti pola tanam menjadi polikultur (agroforestri dan tumpang sari),  dengan menanam dan tidak menebang  pepohonan kehutanan penghasil buah,  menanam sayur-mayur dan rempah-rempah. Menggunakan bahan organik sebagai mulsa dan pupuk,  serta tidak menggunakan pestisida kimia menjadi langkah mitigasi dan adaptasi nyata yang dilakukan kelompok perempuan ini. Termasuk membuat  lubang angin (mini rorak) di sekitar kebun kopi untuk membantu penyerapan air dan mencegah kekeringan serta erosi. Sebagai bagian dari solusi inovatif mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. 

“Seperti lubang angin itu itu termasuk mitigasi ini adaptasi karena lubang angin itu untuk mempertahankan kelembaban tanah mempertahankan kesuburan. Membantu penyerapan air, mencegah kekeringan dan erosi,” imbuh Supartina.  

Anggota Perempuan Alam Lestari (PAL), memperlihatkan kopi semang yang berhasil dikumpulkan. (Foto: Heri Aprizal)

Kelompok ini juga bersepakat tidak membakar rerumputan dedaunan dan rerantingan kopi serta pohon lainnya, agar tidak memperbanyak kontribusi pelepasan karbon untuk memitigasi perubahan iklim.  

Kesepakatan kriteria dan standar kebun Kopi Tangguh Iklim tersebut tak hanya dilakukan dalam bentuk praktik. Namun kelompok perempuan ini berinisiatif mengajukan rancangan peraturan desa tentang Desa Kopi Tangguh Iklim pada pemerintan desa setempat.

Usulan peraturan desa tersebut ditujukan untuk mengembangkan peran dan meningkatkan keberdayaan perempuan petani kopi dalam mengendalikan dan menghadapi perubahan iklim. Selain itu juga untuk melestarikan tradisi ganti hari dalam pengelolaan kebun kopi dan tradisi menyemang kopi.

“Ada beberapa pokok pikiran sebenarnya yang ada di dalam perdesnya itu. misalnya saja tentang konsep kopi, kebun kopi tangguh iklimnya itu Nah itu seperti apanya ada standarisasi,” kata Kepala Desa Batu Ampar, Harwan Iskandar.  

Baca juga: Bagaimana Pendekatan Kesetaraan Gender Menjadi Solusi Terbaik Mengatasi Krisis Iklim

Terjadi peningkatan suhu 

Desa Batu Ampar terletak di bawah kaki Bukit hitam yang termasuk kawasan Taman wisata alam Bukit Kaba. Desa ini terdiri dari 3 dusun dan dihuni oleh 220 kepala keluarga. Hampir 90 persen penduduk menggantungkan hidupnya dari kopi.  Tidak hanya sebagai sumber pendapatan, kopi juga menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya mereka. 

Berdasarkan data time series dari stasiun geofisika Kabupaten Kepahiang, dari tahun 1985 hingga 2023 telah terjadi perubahan iklim yang ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata tahunan dan meningkatnya suhu maksimum tahunan.

“Perubahan iklim di Bengkulu khususnya di kabupaten Kepahiang itu sudah nyata terjadi. Berdasarkan data yang kita dapat dari stasiun geofisika Kepahiang bahwa curah hujan berdasarkan analisa tren itu terjadi peningkatan sebesar 0,1 untuk yang suhu. Sementara untuk hujan maksimum juga terjadi peningkatan 0,08,” papar Anang Anwar, Koordinator Data dan Informasi BMKG KLAS 1 Bengkulu. 

Sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan perempuan Alam Lestari memulai gerakkan penanaman kembali hutan, sebanyak 4.500 bibit pohon buah dan tanaman lainnya disiapkan secara swadaya untuk menghijaukan kembali hutan.

“Dan kami juga tidak bergantung dengan kopi saja, misalnya kami menanam ada duren, ada alpukat, setelah kopi kami bisa panen kalau ada buah, kan bisa kami panen alpukat. juga kalau misalnya ada duren kalau tidak panen kopi ada durennya,” pungkas Supartina Paksi. 

Baca juga: Local Media Summit dan Dukungan Untuk Media Perempuan 

Koppi Sakti Kepahiang, brand kopi semang yang diproduksi kelompok Perempuan Alam Lestari. (Foto: Heri Aprizal)

Kopi semang dengan brand “Koppi Sakti Kepahiang”

Salah satu tradisi yang unik yang ada di Desa Batu Ampar adalah menyemang kopi. Dimana para perempuan terutama lansia mengumpulkan buah kopi yang jatuh dengan warna kulit merah dan telah dimakan oleh hewan seperti burung, tupai, monyet atau lainnya. Buah kopi yang dibuang hewan ini umumnya masih terdapat sisa lendir manis. Sisa lendir yang jatuh ini mengalami fermentasi alami dengan bantuan suhu udara atau sinar matahari.

“Jadi kami menyiapkan untuk tempat tidur hewan untuk berbagi misalnya kami lagi musim kopi, hewan itu memanen kopi yang kami semang tadi,” kata Supartina. 

Saat ini, lanjut Supartina, produk kopi semang dengan brand “Koppi Sakti Kepahiang” sudah berhasil menembus pasar di luar Provinsi Bengkulu dengan harga yang menjanjikan. Kopi semang robusta mencapai Rp 500 ribu per kg untuk frosted bean dan Rp600 ribu per kg untuk kopi bubuk. Sementara kopi robusta biasa Rp90 ribu per kg untuk roasted bean dan Rp210 ribu per kg untuk kopi bubuk. 

Supartina mengatakan, saat ini hasil produksi kopi semang perempuan Batu Ampar memang masih terbatas, rata-rata 10 kg per bulan. 

“Ini menjadi hal yang luar biasa, karena dari sisi rasa dan latar belakang kopi semang itu sendiri, sehingga membuat harga kopi semang itu menjadi lebih lebih tinggi,” lanjutnya. 

Data statistik perkebunan unggulan nasional 2021 hingga 2023 Direktorat Jenderal perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong masuk dalam 10 kabupaten kota dengan areal perkebunan kopi robusta market terluas di Indonesia. Yakni dengan luas areal 25.751 hektare, jumlah produksi kopi mencapai 19.953 ton. bandingkan dengan Kabupaten Rejang Lebong dengan luas areal 29.854 hektar, produksi kopi lebih rendah yakni 18.797 ton. 

Data BPS Provinsi Bengkulu pun mencatat produksi kopi Kepahiang mengalami peningkatan setiap tahunnya, seperti tahun 2018 sebanyak 13.464 ton, 2019 naik menjadi 19.130 ton, serta tahun 2020 naik lagi menjadi 19.220 ton.  

Secara mutu dan kualitas kopi semang dinilai penggiat kopi lebih baik dari kopi robusta biasa. Seperti yang disampaikan pengelola KM Nol Coffee, Hery Supandi,  yang berlokasi di lantai 1 Atrium Bencoolen Mall, sebagai salah satu kedai kopi yang memasarkan produk ini. 

“Siapapun yang menikmati kopi semang ini akan merasakan sensasi yang berbeda dari kopi-kopi biasa. Kenapa kualitasnya baik? Karena kopi ini dipilih oleh hewan yang instingnya sangat kuat dan tahu mana kopi dengan kualitas terbaik,” tuturnya. 

Hery menambahkan, kopi semang yang disajikan dalam bentuk kopi hitam tanpa campuran susu menjadi salah satu menu andalan di  KM Nol Coffe. Dengan harga per gelas Rp50 ribu, pelanggan,lanjut Hery tidak sungkan untuk  repeat order. 

“Mereka (pelanggan,red) tidak keberatan dengan harganya, karena memang ada sensasi khas, sensasi bahagia saat menyeruput kopi tersebut,”  pungkasnya.

Heri Aprizal turut berkontribusi dalam liputan ini

*)Artikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs (https://jurnalisme.id/womenmediacollabs/) didukung oleh UNDP Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Inisiatif Perempuan

Artikel Lainnya

Perempuan dalam Lingkaran Hustle Culture

Perempuan dalam Lingkaran Hustle Culture

Kesetaraan Gender dan Ancaman Deklarasi Konsensus Jenewa

Deklarasi Konsensus Jenewa, Ancaman Bagi Kesetaraan Gender

Bagaimana Jurnalis Menghadapi Kekacauan Informasi?

Leave a Comment