Bincangperempuan.com– Persoalan keterwakilan perempuan di kursi pemerintahan di Indonesia, masih menjadi masalah yang tak kunjung usai. Persaingan yang tidak seimbang dan pembatasan hak pada perempuan adalah alasan-alasan tak terelakkan dalam hal ini.
PKPU Nomor 10 tahun 2023 pasal 8 ayat 2 yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengenai keterwakilan perempuan dengan pola penghitungan pecahan ke bawah atas pembagian kuota minimal 30 persen jumlah caleg perempuan dan kursi di setiap daerah pilihan, mengundang kontroversial.
Pasalnya PKPU tersebut juga telah dibatalkan putusannya oleh Mahkamah Agung namun KPU masih belum merevisi peraturan yang dimaksud. Hal ini membuat upaya memperjuangkan keterwakilan perempuan terutama pasca pemilu 2024 menjadi semakin panjang.
Hal ini terungkap dalam seminar Proyeksi Keterwakilan Perempuan di DPR Hasil Pemilu 2024, yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kamis (28/03/2024).
Seminar tersebut memaparkan hasil riset yang dilakukan Perludem. Terkait adanya kemunduran kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota pencalonan 30% perempuan dalam PKPU 10/2023 yang melakukan pembulatan ke bawah yang berdampak pada tidak terpenuhinya jumlah minimal perempuan 30% di daerah pemiihan beralokasi kursi : 4, 7, 8 dan 11 yang berpotensi menurunkan angka keterwakilan perempuan.
Turut hadir, ahfi Adlan Hafiz dan Heroik M. Pratama sebagai Peneliti Perludem, Khoirunnisa Agustyati sebagai Direktur eksekutif Perludem, Kurniawati Hastuti Dewi dari Pusat Riset Politik BRIN, Julia Novrita dari The Habibie Center, dan Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia.
Baca juga: Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Faktor Penyebabnya
Berdasarkan data yang dipaparkan Perludem ada 8 partai politik yang mungkin akan duduk di DPR, ada 128 perempuan yang terpilih di pemilu DPR 2024 setara dengan 22,1 persen angka ini tentunya masih di bawah angka critical mass 30 persen.
Dari Pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2019 terjadi peningkatan jumlah keterwakilan perempuan meskipun tren peningkatannya tidak cukup signifikan.
Akan tetapi ada realitas terbalik jika dilihat dari proporsional terbuka ditetapkan, ternyata angka keterpilihan legislatif anggota DPR mayoritas diisi dan didominasi caleg yang mendapatkan nomor urut satu.
Persoalannya dalam ketentuan undang-undang Pemilu Indonesia belum sepenuhnya menggunakan adopsi zipper system murni ketika nomor urut calon legislatif daftarnya diselang-seling berdasarkan gender. Akan tetapi di undang-undang Indonesia disebutkan di antara tiga calon terdapat satu orang perempuan berapa pun nomor urutnya.
Tren dari tiga Pemilu terakhir mayoritas perempuan ditempatkan di nomor urut 3 karena kebanyakan partai politik hanya megunakannya untuk pemenuhan syarat administratif saja. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan masih rendahnya angka keterwakilan perempuan dan tren peningkatan keterwakilan perempuan masih tidak sampai lebih dari 5 persen.
Menurut Perludem di 2024 ini diproyeksikan ada 16 daerah pemilihan dari total 84 daerah pemilihan yang sama sekali tidak ada perempuannya.
Dari range 10 sampai dengan 28 persen ada 42 Dapil yang diisi oleh perempuannya.
Dari range 30 sampai dengan 50 persen ada 20 Dapil.
Kemudian dari range 50 sampai dengan 100 persen 6 Dapil yang jumlahnya mayoritas diisi oleh perempuan.
Perolehan suara tertinggi perempuan di masing-masing partai politik kalau dari keseluruhan diduduki oleh Demokrat.
Menurut Kurniawati, angka 22,1% cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan karena ia mengira akan mengalami penurunan setidaknya di bawah 20 persen.
“Jika proyeksi Perludem ini benar berarti dalam kondisi yang sedemikian buruk kawan-kawan perempuan itu masih tetap bisa mengkonsolidasikan diri. Kita bersama-sama untuk berusaha mendorong supaya caleg perempuan itu tidak merasa sendiri pada pemilu 2024,” ujar Kurniawati.
Dari hasil penelitian dari tim Pusat Riset dan Politik BRIN, rata-rata yang bisa masuk di nomor urut 1 atau 2 itu adalah caleg perempuan yang memiliki kekuatan atau berada di struktur partai karena menentukan nomor urut itu tidaklah mudah. Caleg perempuan tingkat provinsi harus ada jejaring atau back up dari DPD Partai. Artinya bagi caleg perempuan yang tidak memiliki sumber daya yang cukup bagus di dalam struktur partai dia tidak akan mungkin dapat nomor urut 1 2 dan 3.
Baca juga: Keterwakilan dan Jumlah Pemilih Perempuan pada Pemilu DPD RI di Indonesia 2019-2024
Tantangan yang Dihadapi Perempuan dalam Pemilu
Dalam seminar tersebut dipaparkan pula banyaknya tantangan yang harus dihadapi perempuan ketika mereka masuk dalam dunia politik dan kompetisi elektoral, khususnya perempuan muda mereka mengalami kekerasan yang lebih lebih intens. Rata-rata caleg perempuan muda mengalami kekerasan psikologi dan diremehkan berlapis-lapis.
Permasalahan ekonomi juga bisa dikategorikan dalam kekerasan terhadap dalam politik, bagaimana mereka memiliki sumber daya yang terbatas kemudian berkontribusi terhadap penggunaan sumber daya mesin partai misalnya jika alokasi-alokasi tertentu dibuat sedemikan rupa tidak untuk keuntungan semua kader tapi hanya segelintir orang yang ada di duduk di struktur partai
Biasanya penjelasan mengapa keterwakilan perempuan masih rendah itu struktural dan kultural dimana kultural Indonesia tentu bersinggungan dengan patriarkal perspektif yang blended dengan kultur di beberapa daerah.
Dari riset yang dillakukan di Amerika pada tahun 2014, menurut Julia masih sangat relevan hingga saat ini dimana dalam riset tersebut mereka mencoba mensurvei halangan-halangan perempuan to be top position. Bahwa ekspektasi terhadap perempuan standarnya lebih tinggi, masyarakat belum siap untuk memilih perempuan sebagai pemimpin, memiliki tanggung jawab keluarga, perempuan tidak punya dukungan yang cukup, serta persepsi perempuan tidak cukup kuat dalam narasi-narasi politik yang mengatakan bahwa Politik Itu kejam dan jahat.
Menurut Ferdinan salah satu peserta seminar, keterwakilan perempuan sangat kurang karena terlalu bermain cantik dalam hal mobilisasi dana dimana menurutnya pria lebih berani. Hal ini kemudian memunculkan berbagai tanggapan, dimana pada kenyataannya perempuan kebanyakan digunakan untuk pemenuhann administratif saja dalam partai politik.
“Bermain cantik ini pak itu sudah menjadi langgamnya politisi perempuan karena semangat atau spirit politisi perempuan itu ya bermain sesuai dengan rule bermain bersih. Bahkan kalau misalnya perempuan akhirnya selalu aja tersingkir itu berarti bukan harus merubah spiritnya perempuan atau politisi politisi perempuannya tetapi sistemnya yang harus dirubah,” papar Mike
“Partai politiknya yang harus diminta lebih berkomitmen karena bermain cantik itu jangan cuma jadi image-nya politisi perempuan tapi politisi laki-laki juga. Sehingga yang namanya mimpi ke depan yang politik elektoral kita yang katanya itu bersih jujur adil itu betul-betul dijalankan,” Sambungnya lagi
Apakah angka 20 persen sudah cukup?
Pencapaian angka ini termasuk di luar dugaan bagi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) karena padahal PKPU tidak sungguh-sungguh berpihak pada keterwakilan perempuan.
“Tapi yang menarik tadi dikatakan bahwa dengan tantangan yang luar biasa besar kita masih dapat angka 22 persen untuk keterwakilan perempuan walaupun ini masih proyeksi. Kalau mungkin kita melihatnya bisa jadi kelompok perempuan hari ini sudah lebih resilien, sudah lebih mampu untuk melakukan konsolidasi-konsolidasi yang memang berkaitan juga dengan kerja-kerja politik perempuan,” ungkap Mike.
Namun demikian angka 22,1 persen ini jika dibandingkan dengan perubahan jumlah kursi sebenarnya tidak terlalu signifikan. Selama bertahun-tahun memperjuankan afirmative action bagi KPI tidaklah mudah. Mike juga beranggapan bahwa terpilihnya perempuan dalam pemilu kali ini juga perlu peninjauan lebih lanjut. Banyak kasus juga dimana mayoritas terpilih karena masih berkerabat dengan pejabat atau faktor lainnya.
Polemik selanjutnya ada pada upaya-upaya afirmative action atau keterwakilan perempuan jika sudah duduk di bangku parlemen, apakah yang bisa dilakukan selanjutnya. Sampai kapan bahwa pemilihan ini hanya kepada mereka yang punya uang yang banyak dan punya modalitas sosial. Karena sebagian besar perempuan lainnya berpolitik di partai politik itu tidak punya sumber dana dan daya yang cukup.
KPI juga berpesan bahwa jangan berhenti juga untuk menuntuk KPU mengubah PKPU. Patut disyukuri bahwa targetnya masih tercapai, tetapi jangan sampai semakin membuat lemah komitmen-komitmen partai politik ke depannya, kita tantang ke pemilu 2029 harusnya 30 persen sudah tercapai.
Bagi Julia Novrita angka 22 persen ini harusnya menjadi concern yang besar. Apakah 5 tahun kedepan mungkin memang sebatas itu, jikalau tidak ada hal-hal yang memang signifikan yang bisal dilakukan. Apakah angka ini memang batas resiliensi perempuan, padahal ada penambahan kursi. Jadi sebenarnya angka tersebut yang bisa jadi tanpa ada intervensi ini dan itu yang signifikan juga kita bisa dapat 20 persen.
Julia mengungkapkan bahwa kita harus tetap menagih direvisinya PKPU 10/2023 pasal 8. Meskipun Pemilu sudah selesai namun harus tetap dituntut tidak boleh ada alasan.
Kehadiran perempuan di parlemen adalah harapan adanya transformasi politik yang menghadirkan ruang-ruang demokrasi negara ini lebih inklusif, lebih demokratis dan juga bisa lebih merangkul banyak pihak. Harapannya ke depan adalah para perempuan yang sudah terpilih dan duduk di parlemen itu mendorong para perempuan lainnya yang berasal dari lapisan tak terjangkau untuk ikut sama-sama masuk dan melalui proses-proses pengkaderan di partai politik.