Home » Data » Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Faktor Penyebabnya

Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Faktor Penyebabnya

Betty Herlina

Data, Politik

Keterwakilan perempuan dalam politik

Bincangperempuan.com- Upaya mewujudkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik, dalam hal ini parlemen makin sulit terpenuhi sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. 

Pasal 8 Ayat (2) aturan tersebut menyatakan bahwa dalam penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan pecahan desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sebaliknya, hasil penghitungan akan dilakukan pembulatan ke atas bila bernilai 50 atau lebih.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menilai ketentuan ini berpotensi menekan keterwakilan perempuan. Ini karena pembulatan ke bawah mengakibatkan pencalonan anggota legislatif untuk perempuan oleh partai politik berada di bawah 30 persen. “Partai menjadi lebih santai. Perubahan itu dilakukan pada peraturan yang lebih teknis, kemunduran dari gerakan perempuan, ada affirmative action saja kuotanya belum sampai  30% di parlemen,” katanya. 

Serupa disampaikan Khoirunnisa, dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Ella S. Prihatini menilai Pasal 8 (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 merupakan bentuk kemunduran demokrasi untuk perempuan. “Ini menjadi kemunduran yang bisa diprediksi di tahun 2014, semua partai nadanya sama, partai kader kesulitan untuk mencari kandidat perempuan,” pungkasnya. 

Sebelumnya, representasi perempuan di parlemen terus menjadi sorotan sejak dua dekade terakhir. Meski jumlah perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meningkat sejak 2004, afirmasi 30 persen tak pernah tercapai. Padahal partisipasi aktif perempuan dalam politik merupakan salah satu indikator penting bagi keberagaman dan keseimbangan dalam sistem pemerintahan suatu negara.

Baca juga: Empat Kursi DPR RI Dapil Bengkulu Diraih Perempuan

Pada Pemilu 2004, jumlah kursi perempuan di DPR RI hanya 11,60%. Periode selanjutnya meningkat menjadi 18,04% di 2009. Kemudian terjadi penurunan sebanyak 0,72% di 2014 menjadi 17,32%. Sementara pada periode 2019-2024 kembali meningkat menjadi 20,52%.

Meski persentase perempuan naik 3,2%, menurut peneliti Senior Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kurniawati Hastuti Dewi belum cukup. “Pemilu 2019 menjadi raihan tertinggi untuk persentase perempuan setelah beberapa kali pemilu. Tapi jumlah tersebut belum ideal. Critical mass baru akan terasa jika untuk pengambilan keputusan setidaknya harus 30-35%, baru bisa memberikan dampak pada isi keputusan politik,” papar Kurniawati merujuk Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Status Perempuan (UN Commission on the Status of Women).

“Isu-isu tentang perempuan yang selama ini diabaikan seperti seperti persamaan hak, kontrol perempuan atas tubuh mereka sendiri, pengasuhan anak dan perlindungan terhadap kekerasan seksual, secara bertahap bisa dimasukkan dalam agenda publik dan tercermin dalam anggaran nasional,” ia melanjutkan. 

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait caleg DPR RI periode 2019-2024 di 8 daerah pemilih (dapil) menunjukan selisih sebesar 1.578 orang antara jumlah caleg perempuan dengan laki-laki. Terdiri dari  4.778 caleg laki-laki dan 3.200 orang caleg perempuan. 

Pada periode yang sama, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi partai dengan porsi caleg perempuan paling besar dibandingkan 15 partai lainnya, yakni mencapai 272 orang. Menyusul Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebanyak 233 caleg perempuan, dan Partai Demokrat sebanyak 223 caleg perempuan. 

Sementara, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), menjadi partai yang paling minim jumlah caleg perempuannya, yakni hanya 76 orang. Meskipun begitu, jumlah tersebut cukup besar dibandingkan dengan caleg laki-lakinya yang hanya 61 orang. 

Bila dilihat dari daerah pemilihan, pada pemilu 2019-2024, dapil Kalimantan Utara menjadi wilayah dengan jumlah caleg perempuan paling sedikit, yakni 16 orang. Di mana setiap partai masing-masing mengusung satu caleg perempuan. Dapil Nusa Tenggara Barat II menjadi dapil terbanyak caleg perempuan, 52 orang, dengan PSI sebagai penyumbang terbesar, yakni 7 orang. Sementara partai lain merata mengisi kuota caleg perempuan 3-4 orang. 

Dilihat dari hasil pemilu 2019-2024, jumlah legislator perempuan yang berhasil meraih kursi di DPR RI hanya berjumlah 119 orang, sementara legislator laki-laki mencapai 456 orang. Legislator perempuan paling banyak berasal dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yakni 26 orang, dari total Daftar Calon Tetap (DPT) sebanyak 216 caleg perempuan. 

Baca juga: Tiga Periode Pemilihan, Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi

Kemudian Partai Golongan Karya (Golkar) dan Nasional Demokrat (Nasdem) sama-sama memiliki legislator perempuan di DPR RI sebanyak 19 orang. Mereka bersaing dengan 217 caleg perempuan lain yang maju dari Golkar. Sedangkan Nasdem, saat itu, menyorongkan 221 caleg perempuan.  

Namun jika dilihat persentasenya berdasarkan jumlah kursi yang diraih, baru Partai Nasdem yang memenuhi 30% dari 60 total kursi di DPR RI, yakni sebanyak 31,7%. Menyusul Partai Persatuan Pembangunan, 27,8 % legislator perempuan dari 18 total kursi. Sedangkan 7 partai lain masih dibawah 25 persen. Persentase paling kecil Partai Amanat Nasional (PAN) hanya 15,9% dari 44 total kursi di DPR RI.  

Kondisi berbeda akan didapat jika melihat dari dapil pemilihan. Dari 17 dapil di Indonesia, Aceh II, Bali, DKI Jakarta III, Jawa Tengah I dan Jawa Tengah XI menjadi daerah yang legislatornya laki-laki semua. Kemudian disusul Kalimantan Selatan I, Kalimantan Selatan II, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Bangka Belitung. Lalu ada pula Kepulauan Riau, Lampung I, Nusa Tenggara Barat I, Papua Barat, Riau I dan Riau II. 

Sementara itu, ada 20 dapil yang memiliki legislator perempuan di atas 30%, seperti Bengkulu, DKI Jakarta I, Gorontalo, Jawa Barat III, dan Jawa Barat IX. Kemudian, Jawa Barat VI, Jawa Barat VII, Jawa Barat XI dan Jawa Tengah III. Menyusul Jawa Tengah IV, Jawa Tengah IX, Jawa Tengah VIII dan Jawa Timur I. Lalu Jawa Timur IX, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur II dan Sulawesi Barat serta Sumatera Selatan.  

Khoirunnisa mengungkap sejumlah faktor yang mengakibatkan keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia rendah. Mulai dari kebijakan affirmative action, yang secara kuantitas mendorong peningkatan partisipasi perempuan dalam politik, namun hanya sebatas tahap pencalonan bukan pada kursi yang dikhususkan untuk perempuan. 

“Pada praktiknya ya terjun bebas. Arena kebijakan 30% hanya dalam daftar calon, bukan total kursi. Ketentuan ini belum banyak memberikan perubahan walaupun sudah diimplementasikan sejak Pemilu 2009. Karena belum ada sanksinya kalau parpol yang tidak mencalonkan, sanksi itu hanya ada di peraturan KPU,” kata Khoirunnisa. 

Konteks pemilu, lanjut Khoirunnisa, affirmative action di Indonesia baru berlaku untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD saja. Sementara dalam pemilihan, ada banyak variabel yang membuat seseorang memilih perempuan, salah satunya identitas. “Kalau dilihat dari pemilu sebelumnya, partai hanya memenuhi administrasinya, terpenuhi saja, siapapun yang penting perempuan. Jadi dari sisi angka perempuan bertambah, tapi ternyata latar belakangnya dari kelompok-kelompok elit juga,” katanya. 

Khoirunnisa mengatakan upaya untuk mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR, dapat dilakukan dengan mendorong parpol menyiapkan kader perempuan, sehingga calon yang akan maju memiliki pengalaman dalam pembuatan regulasi. 

Sementara itu, Ella S. Prihatini mendorong pembuatan aturan yang dapat mengikat parpol menerapkan affirmative action. Parpol tidak hanya perlu memenuhi kuota saat pendaftaran, melainkan juga mengusung caleg perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. 

“Faktanya kan parpol suka comot, kalau mengandalkan women vote women ini rasanya tidak efektif karena pernah dilakukan sebelum ada affirmative action. Partai mengeluhkan perempuan nggak mau, perempuan sedikit yang elektabilitasnya bagus, kuncinya affirmative action, partai diikat harus memberikan perempuan nomor urut yang bagus, karena nomor urut juga berpengaruh dengan tingkat kemenangan,” lanjutnya. 

Selain itu, kata Ella, perlu dilakukan berbagai inisiatif untuk mengenalkan caleg perempuan kepada publik dengan harapan masyarakat dapat memilih calon yang tepat. Masyarakat memilih berdasarkan informasi yang jelas dan cukup, bukan berdasarkan tebalnya amplop. 

“Sayangnya di Indonesia pemilih umumnya memilih tanpa melakukan riset terlebih dahulu. Masyarakat yang pola pemilihnya tidak melakukan riset kita tidak bisa berharap. Belum lagi ada juga yang apatisme, data pileg lebih banyak tidak memilih dibandingkan pilpres. Artinya orang tidak benar-benar menginvestasikan waktu untuk memilih. Faktor apatisme  yang terus berkembang, menjadi ciri bahwa demokrasi di Indonesia stagnan. Itu sebenarnya tidak sehat-sehat,” bebernya. 

*) Tulisan ini sudah tayang lebih dahulu di Data Talk Asia dengan judul yang sama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Wahyu Widiastuti, Pentingnya Penguatan Pendidikan Politik Perspektif Gender

Konten Kreator, Rentan Jadi Korban, Mau Lapor Takut Percuma

Setelah Dua Abad, Rafflesia Mekar di Tangan Peneliti Perempuan

Leave a Comment