“SAYA sudah lama melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini, sejak tahun 1998,” kata Rida Nurdin, mengawali perbincangan tentang aktivitas yang dilakoninya selama ini pada Minggu, 17 Juli 2021, di sebuah kafe di kawasan kampus Darussalam, Banda Aceh.
Itu artinya, aktivitas Rida yang bergiat pada isu-isu advokasi dan perlindungan perempuan dan anak sudah setua usia reformasi di Indonesia. Saat itu, Rida masih bergiat di Women Crisis Center yang dikelola Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang digerakkan oleh aktivis perempuan dan diketuai Nursiti. “Jadi, memang ada komitmen pribadi, saya suka dengan kegiatan-kegiatan advokasi,” ujarnya lagi.
Kata “suka” yang terlontar dari mulut Rida jelas bukan kata-kata biasa. Sebagai seorang sarjana hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dan profesinya sebagai pengacara, Rida tentu punya ilmu dan memang cakap. Kata suka itu bisa dimaknai sebagai pengabdiannya kepada kelompok rentan atas semua ilmu yang dimilikinya.
Rida adalah konselor psikologi dan hukum (pengacara) di Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Aceh. Ia bekerja di sana sejak masih bernama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) hingga berubah menjadi UPTD setelah terbitnya Pergub No. 59 Tahun 2019. Tugasnya memberikan pendampingan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan, anak yang berkonflik dengan hukum, serta perempuan yang berhadapan dengan hukum. Rida sudah akrab dengan pengadilan sejak sewindu lalu. Sidang demi sidang telah ia lalui untuk mendampingi perempuan atau anak yang berhadapan dengan hukum.
Sebelum bekerja di UPTD PPA, Rida sempat bekerja di sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti Forum LSM Aceh dan Mispi. Jobdesk-nya juga tak jauh-jauh dari kegiatan advokasi. Namun, akhirnya ia memilih berlabuh ke UPTD PPA. Menjadi pengacara bagi perempuan dan anak-anak berhadapan dengan hukum yang diadvokasi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Bagi Rida, semua ini merupakan panggilan jiwa.
“Kalau misalnya dibilang karena uang, di awal-awal dulu gajinya Rp150 ribu per bulan, jelas itu bukan tujuan,” kata Rida sambil tersenyum, “memang ada uang pendampingan yang saya terima, tapi per kasus yang ditangani, besarnya Rp150 ribu per surat tugas, tetapi sejak tahun ini menjadi Rp140 per surat tugas,” ujar perempuan yang genap berusia setengah abad itu.
Karena modal panggilan jiwa inilah, Rida selalu enjoy menikmati pekerjaannya. Alih-alih berharap penghasilan yang memadai dari pekerjaannya, justru uang pribadinya yang sering terpakai. Misalnya ketika turun lapangan ke daerah-daerah, uang perjalanan dinas dari kantor jelas tidak bisa meng-cover semua kebutuhan di lapangan yang sering kali di luar prediksi.
Namun, Rida tak pernah mempersoalkan itu. Ia meyakini, kerja-kerja ikhlas yang dilakukan karena dasar kemanusiaan dan semata-mata berlandas pada Sang Pemilik Semesta, pasti akan selalu tercukupkan. Ia bahkan bekerja lebih dari yang semestinya diberikan sebagai tanggung jawab profesional. Misalnya, rela menemui kliennya di hari-hari libur yang notabenenya di luar jam kerja dengan jarak yang cukup jauh.
Menurut Rida, kerja-kerja advokasi memang pekerjaan yang tidak saja menyita tenaga dan pikiran, tetapi juga waktu dan ekonomi. Menangani kasus seseorang yang sedang tersangkut hukum misalnya, tidak cukup hanya dengan mendampingi mereka saat menghadiri sidang demi sidang. Nyatanya, kehidupan orang-orang yang berhadapan dengan hukum ini sangat kompleks sehingga juga menyita perhatian untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang lain.
“Kadang-kadang di akhir pekan saat seharusnya kita menghabiskan waktu di rumah untuk keluarga, kita justru harus hadir bersama mereka, tetapi karena memang sudah punya komitmen dengan diri sendiri, ya dinikmati saja, keluarga pun sudah memahami karena selalu dikomunikasikan,” katanya.
Salah satu kasus yang pernah ditangani Rida dan sangat berkesan baginya ialah saat menangani seorang anak berkebutuhan khusus yang mengalami sodomi tahun 2020 lalu. Tidak diketahui siapa pelakunya karena memang sulit untuk mendapatkan informasi dari korbannya yang ABK. Peliknya, anak ini juga lahir dari hasil hubungan inses yang terjadi di barak pengungsian. Ibunya korban tsunami Aceh pada 2004 silam. Dan di sanalah ia mendapatkan perlakuan tak senonoh dari salah satu keluarganya.
Saat anak ini berusia dua tahun, ada salah satu keluarga yang mengadopsinya. Namun, ketika usia anak ini sudah remaja, ayah angkatnya meninggal dunia. Dari sinilah prahara demi prahara dalam hidup anak ini dimulai.
Ibu angkatnya tidak lagi bersedia merawatnya karena terlalu sering mendengar gunjingan tetangga perihal status anak tersebut. Ia pun memulangkan anak ini pada ibu kandungnya. Sang ibu yang telah menikah ternyata juga menolak karena suaminya tidak bersedia menerima anak itu. Kasus ini sempat ditangani oleh P2TP2A Aceh Besar, P2TP2A Banda Aceh, dan Dinas Sosial Aceh sebagai kasus penanganan bersama. Penanganan yang dilakukan meliputi penanganan anak sebagai korban, saksi, dan pelaku. Juga penanganan perempuan sebagai korban dan perempuan yang berhadapan dengan hukum terhadap ibu anak tersebut.
Hidup remaja ABK ini pun sempat terlunta-lunta. Dia sempat menjadi anak jalanan. Sebelum akhirnya dirujuk ke UPTD PPA karena keterbatasan sumber daya di Aceh Besar, baik tenaga maupun dari sisi anggaran. Karena persoalannya yang kompleks, anak tersebut juga membutuhkan penanganan psikiater, advokasi pendidikan, dan penanganan dari psikolog.
“Kami lantas mencari tahu keberadaannya dan terhubunglah kami dengan ibu angkatnya dan ibu kandungnya. Dari sini saya jadi tahu ternyata si anak ini juga sudah dikeluarkan dari kartu keluarga ibu angkatnya, sekolahnya juga putus. Dalam kasus ini saya penanggung jawabnya, selain itu UPTD PPA juga mengadvokasi dengan lintas sektor dalam pemenuhan hak-hak korban,” kata Rida.
Karena tidak ada satu pun yang menerimanya, Rida lantas menitipkan anak tersebut di Lembaga Perlindungan Kesejahteraan Sosial untuk sementara. Tentu saja persoalannya tak selesai sampai di situ, kondisi remaja tersebut yang ABK, ditambah juga memiliki gangguan kemih sehingga sering mengompol, membuat Rida harus memutar otak untuk mengatasi persoalan itu.
“Kalau dia sudah ngompol saya sering mendapat telepon, nanti saya datang ke panti,” kata Rida sambil tertawa.
Rida juga mengadvokasi ke Baitul Mal Aceh sehingga anak tersebut mendapatkan bantuan dana zakat sebesar Rp1,5 juta. Dengan uang itulah dia membawa anak ini ke dokter spesialis dan digunakan untuk menebus obat yang harganya tidak murah. Sisanya untuk membeli keperluan sehari-hari anak tersebut.
Selanjutnya ia juga mengadvokasi ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Banda Aceh agar anak ini bisa mendapatkan kartu identitas anak (KIA). Berkat advokasi yang dilakukan Rida dan rekan-rekannya, anak tersebut akhirnya bisa ditampung oleh Panti Media Kasih. Media Kasih juga bersedia memasukkan nama anak ini dalam daftar kartu keluarga pemiliknya. Bukan hanya itu, Rida juga pernah membawanya untuk konsultasi dengan psikolog.
“Yang paling dibutuhkan oleh anak ini sebenarnya kehadiran orang tua, kasih sayang, makanya itu juga nggak boleh luput. Khusus untuk anak ini, seminggu sekali saya bawa jalan-jalan, kami bawa jajan di luar, kalau kita tidak punya kesabaran tentu nggak akan sanggup melakukan yang begini,” ujarnya lagi.
Namun, Rida cukup lega sebab ending dari perjuangan ini berakhir happy ending. “Saat ini anak itu sudah di Jakarta, ia ditempatkan di Panti Media Kasih Jakarta dan dididik menjadi hafiz (penghafal Quran) di sana, tapi masih sering komunikasi, sering video call. Anak ini betah di sana,” ujarnya haru.
Cerita itu hanyalah segelintir saja tentang bagaimana totalitas seorang Rida Nurdin dalam bekerja. Bertahun-tahun menjadi pengacara, tak terhitung kasus yang berhasil diselesaikannya. Menjalani tugas sebagai advokat, memang bukan perkara mudah. Tak jarang Rida mendapatkan ancaman, umumnya ketika menangani kasus-kasus perebutan hak asuh anak. Suatu ketika, saat ia mendampingi kliennya di Aceh Besar, kaca mobil kliennya malah dihancurkan dengan parang oleh suaminya sendiri. Menghadapi kondisi-kondisi tak terduga ini kecut juga hati Rida, tetapi tak lantas membuatnya patah arang. Dukungan orang-orang di sekitarnya, seperti Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, Nevi Ariyani, dan Kepala UPTD PPA, Irmayani, memberinya keleluasaan dalam bekerja.
Di lain waktu saat ia menangani kasus perebutan hak asus anak kliennya yang bersuamikan seorang TNI, komandannya bahkan sampai datang ke kantornya dan mencoba mengintervensi. Pernah juga beberapa kali dipanggil polisi karena dituduhkan telah menyembunyikan anak-anak mereka yang sedang dalam perebutan hak asuh.
“Padahal ya bukan disembunyikan, tetapi anak ini diamankan sementara karena orang tuanya sedang menjalani proses hukum, dan ini juga sepengetahuan ibunya,”
Bagi Rida, selama yang diperjuangkan itu benar, tidak perlu merasa gentar. Didikan kedua orang tuanya, Nurdin Nasir dan Roslina, yang berprofesi sebagai TNI dan pengusaha kuliner telah membentuk karakternya menjadi sosok yang selalu disiplin dan penuh dedikasi saat mengemban amanah. Sejak kecil ia juga kerap diajarkan tentang arti berbagi dan itu terus terbawa hingga saat ini. Ditambah ia juga berada dalam lingkaran positif yang selalu mendukung kerja-kerjanya. Merekalah yang selalu membuatnya kembali bersemangat saat mengalami kendala dalam menjalankan tugasnya.
Di luar kerja-kerja advokasi, Rida juga aktif menghimpun zakat dari teman-temannya untuk disalurkan kepada individu-individu dari kelompok rentan. Tahun 2021 ini ia berhasil menghimpun dana zakat hingga Rp16 juta, tahun sebelumnya malah lebih besar lagi hingga Rp20 juta. Baginya menjadi kesenangan tersendiri saat bisa memudahkan hidup orang lain, tidak hanya di ranah hukum, tetapi juga dalam hal ekonomi atau pemenuhan hak-hak lainnya.
Praktik-praktik baik selalu membutuhkan motor sebagai penggerak, dan Rida memilih untuk menjadi penggeraknya. (penulis: Ihan Nurdin)
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh Perempuan Leuser