Home » Kesehatan » Sunat Perempuan, Bentuk Diskriminasi Berbasis Gender

Sunat Perempuan, Bentuk Diskriminasi Berbasis Gender

Delima Purnamasari

Kesehatan

Sunat Perempuan, Bentuk Diskriminasi Gender

Bincangperempuan.com- Sejumlah tradisi dan adat di Indonesia masih melanggengkan praktik sunat pada perempuan. Mutilasi genital ini membahayakan dan tidak memiliki dampak kesehatan yang baik. Alibi untuk melindungi keperawanan ataupun meredam hasrat seksual perempuan tak lain adalah bentuk diskriminasi berbasis gender.

Prosedur sunat perempuan adalah menghilangkan sebagian atau seluruh organ genital atau melukainya tanpa alasan medis. Praktiknya bukan hanya memotong lipatan yang mengelilingi klitoris, tetapi klitoris itu sendiri yang diangkat. 

Sunat bagi laki-laki dapat bermanfaat secara seksual karena pembuangan kulit yang menutupi daerah sensitif rangsangan. Namun, anatomi perempuan berbeda. Perempuan tidak memiliki masalah kualitas reproduksi untuk mewajibkannya melakukan sunat. 

Menurut Komnas Perempuan, pravalensi yang tinggi terhadap praktik sunat ini setidaknya terjadi di sepuluh provinsi. Laporan yang dirilis pada 2018 tersebut menyebut Gorontalo, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Riau, dan Banten. 

Baca juga: Berdaya Bersama Komunitas Single Moms Indonesia

Praktik sunat perempuan umumnya dilakukan ketika masih anak-anak. Tiap-tiap daerah memiliki perbedaan dalam standar usia anak. Di Kalimantan Selatan, Banten, Sulawesi Barat, dan Jawa Barat menetapkan usia maksimal adalah tiga tahun. Sedangkan Kepualauan Bangka Belitung, pada rentang 7-44 hari. 


Bahaya Sunat Perempuan Secara Medis

Praktik sunat perempuan dilakukan dengan pemotongan/pelukaan genitalia perempuan (P2GP). Prosedur ini dapat menyebabkan perubahan organ reproduksi perempuan secara permanen dan tidak bisa diperbaiki. Seiring waktu, perempuan yang disunat ketika kecil kerap mengalami komplikasi kesehatan, seperti infeksi, perdarahan, rasa sakit di area genital, hingga kesulitan buang air kecil atau besar. Konsekuensi jangka panjangnya juga dapat memengaruhi kesehatan seksual dan mental mereka. 

Praktik sunat perempuan di dunia paling tinggi terjadi di wilayah Afrika dan Timur Tengah. Di sana labia perempuan akan diangkat dan digunakan untuk menutup hampir seluruh lubang vagina. Prosedur ini hanya menyisakan lubang kecil untuk menstruasi dan keluarnya urine. Banyak perempuan baru bisa kencing setelah satu minggu, vaginanya membengkak, bahkan mengalami kematian. Ketika perempuan menikah, penutup itu baru akan dibuka dengan cara dipotong sebelum melakukan hubungan seks. 

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan pernah menetapkan larangan bagi petugas kesehatan untuk melakuan praktik P2GP. Namun, karena mendapat fatwa dari MUI yang menyebut aturan tersebut bertentangan dengan syiar Islam, aturan itu dicabut. 

Saat ini hukum yang mengatur soal sunat perempuan hanya didasarkan pada Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010. Aturan tersebut hanya mengatur standar operasional bagi perempuan yang ingin disunat untuk melindungi mereka dari praktik illegal yang membahayakan. Meski begitu, aturan ini hanya mengizinkan goresan kecil pada bagian kulit depan yang menutupi klitoris dan tidak ada pemotongan pada alat kelamin perempuan. 


Motif Agama dan Tradisi

Menurut survei Komnas Perempuan, agama menjadi alasan teratas (91,6%) yang membuat responden melakukan sunat perempuan. Alasan lain adalah tradisi keluarga (72,1%), kesehatan (49,8%), sanksi sosial (25,5%), meningkatkan dorongan seks bagi suami si anak (17,5%), dan mengurangi dorongan seksual perempuan saat menjadi istri (16,7%).

Praktik ini juga kerap digunakan sebagai medium untuk meramal nasib. Di Gorontalo, perdarahan berat saat sunat menyimbolkan setan jahat dan anak perempuan akan tumbuh dengan dorongan seksual yang tinggi. Apabila ada cahaya yang muncul saat darah memancar keluar maka perempuan diramalkan akan mendapatkan keberuntungan dalam perdagangan. Begitu pula di Banten. Banyaknya darah yang keluar menandakan anak memiliki bakat yang bagus dalam perdagangan dan ilmu pengetahuan.

Secara ekonomi, ritual tersebut akhirnya juga menyumbang pengeluaran rumah tangga. Di Banten, ritual yang sederhana saja bisa menghabiskan dana hingga Rp10 juta. 

Dalam agama Islam, ada perbedaan pendapat ulama dalam memandang sunat perempuan. Meski demikian, apabila mengacu keputusan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada (24-26/11/2022) lalu maka P2GP yang membahayakan tanpa alasan medis hukumnya adalah haram. Seluruh pihak juga turut bertanggung jawab untuk mencegah tindakan P2GP yang membahayakan. Selain itu, menggunakan wewenang sebagai keluarga, tokoh adat, tenaga medis, media, atau tokoh agama untuk melindungi perempuan dari tindakan P2GP yang membahayakan juga dinilai sebagai sebuah kewajiban.


Sudah Semestinya Dihentikan

Sejak tahun 2012, setiap tanggal 6 Februari diperingati sebagai hari internasional menentang sunat perempuan. Dikenal juga sebagai International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation. Ini adalah usaha untuk mengakhiri praktik sunat perempuan yang hingga kini masih berlangsung. 

Baca juga: 6 Sosok Perempuan yang Berhasil Memajukan Teknologi

Sunat perempuan adalah praktik diskriminasi gender. Hal ini dilakukan tanpa consent sehingga menyangkal hak dasar perempuan atas tubuh mereka sendiri. Menurut UNICEF, Indonesia menjadi negara keempat terbanyak di dunia yang menjalankan praktik ini. Jumlah anak perempuan usia 0-14 tahun mengalami sunat perempuan mencapai 49%. Delapan dari sepuluh kasus di antaranya adalah hasil rekomendasi dari orang tua. 

Praktik ini berakar pada budaya patriarki karena hasrat dasar perempuan seakan digambarkan layaknya kekuatan jahat yang perlu dikendalikan. Perempuan mendapat stigma sebagai makhluk binal sehingga apabila tidak disunat akan menjadi liar. Stigma tersebut jelas bertentangan dengan kasus kekerasan seksual yang justru banyak dilakukan oleh laki-laki. 

Praktik sunat perempuan hanya cara mengontrol untuk menguntungkan satu pihak. Nilai etis agar perempuan bisa membatasi dirinya terhadap lawan jenis atas nama kehormatan adalah bentuk diskriminasi. Pengendalian hasrat sesungguhnya tergantung pada akhlak masing-masing. (Delima Purnamasari/eL)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Diskriminasi Gender

Artikel Lainnya

Benarkah Sperma Meninggalkan DNA Saat Intim tanpa Pengaman?

Mendobrak stigma negatif masyarakat terhadap aborsi

Mendobrak Stigma Negatif Masyarakat Terhadap Aborsi 

Apa Itu Premenstrual Syndrome? Bagaimana Gejalanya?

Leave a Comment