Home » Isu » Kesetaraan Gender » Pink Tax: Praktik Diskriminasi Harga Produk Berdasarkan Gender

Pink Tax: Praktik Diskriminasi Harga Produk Berdasarkan Gender

Pink tax adalah

Bincangperempuan.com- Saat berbelanja, pernahkah kamu melihat perbedaan harga barang yang diperuntukkan untuk laki-laki dan perempuan? Apakah kamu pernah menjumpai harga barang untuk perempuan lebih mahal dibandingkan barang untuk laki-laki?

Dalam menjalankan kehidupannya, perempuan dan laki-laki membutuhkan barang yang sama seperti alat mandi, pakaian, dan sebagainya. Barang tersebut memiliki berbagai pilihan dan konsumen dapat memilih menyesuaikan dengan keinginannya. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa beberapa produk yang ditargetkan untuk perempuan harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan barang serupa untuk laki-laki.

Menurut riset yang dilaksanakan oleh New York City Department of Consumer Affairs, barang yang ditargetkan untuk perempuan, misalnya pisau cukur berwarna merah muda, pulpen berwarna pastel, bahkan mainan di pasaran dihargai lebih mahal pada barang tersebut. Pink tax adalah adanya perbedaan harga yang dikenakan pada produk untuk perempuan dibandingkan dengan produk untuk lelaki.


Mengenal Lebih Dalam Mengenai Pink Tax

Apabila ditinjau melalui sejarahnya, Pink Tax sudah berjalan selama bertahun-tahun lalu. Di Amerika, adanya Affordable Act Care 2010 menjadi peraturan perundangan yang melarang adanya perbedaan harga tersebut. Sebelum adanya peraturan ini, diketahui bahwa premi asuransi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki dengan alasan bahwa perempuan memiliki lebih banyak kebutuhan seperti kesehatan reproduksi dari pada laki-laki.

Selain itu, di negara Amerika terdapat pajak yang dibayarkan oleh perempuan terhadap barang-barang yang diperlukan. Sebanyak 22 negara bagian Amerika membebankan pajak penjualan pada pembalut dan tampon karena dianggap sebagai luxury goods atau barang mewah, bukan sebagai kebutuhan pokok perempuan.

Baca juga: Pendidikan Membaik, Namun Partisipasi Kerja Perempuan Masih Timpang 

Apabila melihat dari sisi hukum, di Indonesia terdapat Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Pada Pasal 1 dari peraturan tersebut menyebutkan bahwa Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat serta definisi dari barang penting, yaitu barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. Akan tetapi, dari peraturan tersebut dibatasi terkait barang penting dan barang kebutuhan pokok.

Di Indonesia, tidak banyak orang yang membahas mengenai Pink Tax itu sendiri. Padahal seharusnya hal tersebut sudah mulai diperhatikan mengingat di Indonesia hal tersebut juga terjadi. Fenomena ini sempat jadi pembicaraan publik kembali setelah adanya peristiwa viral dari perusahaan layanan jasa, yaitu PT Grab Indonesia yang menawarkan jasa antar “Grab for Women”.

Adanya “Grab for Women” tersebut menuai komentar dari berbagai masyarakat di Twitter sebab harga yang ditetapkan lebih mahal daripada layanan “Grab Protect”. Pilihan jasa “Grab for Women” diklaim menghadirkan mitra Pengemudi yang tidak merokok atau vape serta armada yang bersih, wangi, memiliki sertifikasi pelayanan prima, lulus psikotes, dan mendapatkan pelatihan khusus tambahan yang lebih ekstensif terkait etika dan tata krama. Sangat disayangkan apabila hal yang seharusnya menjadi bare minimum atau standar minimal dikomersialisasikan bagi khalayak umum.

Baca juga: Lahan Parkir dan Gerbong Kereta Khusus Perempuan


Praktik Diskriminasi Gender

Laporan yang ditemukan oleh The World Economic Forum’s Global Gender Gap Report tahun 2022 menunjukkan dalam hal kesetaraan upah untuk pekerjaan serupa, hanya sebesar 5 dari 146 negara yang dianalisis mencapai skor lebih tinggi dari 0,80. Selain itu, dengan total 129 negara lainnya melaporkan penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Salah satu faktor yang menonjol atas peristiwa tersebut adalah adanya kesenjangan upah antar gender.

Bincang Perempuan berkesempatan untuk bertanya kepada Direktur Umum Amnesty International Chapter Universitas Indonesia 2023-2024, Diandra Paramita, mengenai fenomena pink tax yang kerap terjadi di Indonesia. Diandra mengatakan bahwa bias gender yang kerap terjadi di masyarakat telah melahirkan diskriminasi pada gender tertentu.

“Pink tax yang menyebabkan perempuan mengeluarkan biaya lebih untuk kebutuhannya juga lahir karena adanya bias gender. Pink tax sebagai salah satu diskriminasi harga memang lahir dari bias gender terlebih dahulu,” terangnya.

Selain fenomena pink tax, adapula diskriminasi gender yang kerap dirasakan perempuan yakni Gender Pay Gap atau kesenjangan upah yang diterima laki-laki maupun perempuan. Laporan yang dikeluarkan oleh United State Department of Commerce pada tahun 2015 menemukan bahwa seorang wanita dalam satu tahun dengan penghasilan rata-rata bekerja penuh waktu hanya memperoleh 80 persen dari total yang diperoleh oleh rekan prianya.

“Daya beli perempuan itu jadi dilemahkan dengan adanya Pink Tax ini. Jadi, sebenarnya diskriminasi yang dihadapkan perempuan itu banyak banget. Dilihat dari daya beli mereka udah rendah karena pendapatan mereka umumnya lebih rendah. Ditambah dengan adanya Pink Tax menyebabkan perempuan harus membayar lebih,” jelas Diandra.

“Ini sebuah permasalahan yang harus diselesaikan karena perempuan yang dari awal daya belinya sudah rendah, diperlemah lagi dengan adanya Pink Tax, kita nggak akan maju secara ekonomi. Ini juga untuk perempuan yang dalam hal pekerjaannya itu male dominated, jadi mereka dianggap tidak lebih bisa dari rekan kerjanya yang lain,” sambungnya.

Hal ini terkonfirmasi dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik mengenai pengeluaran per kapita yang disesuaikan (daya beli) menurut jenis kelamin tahun 2021-2022, ditemukan bahwa daya beli perempuan tiap tahunnya lebih kecil daripada laki-laki. Di tahun 2021 daya beli laki-laki sebesar Rp 15.770/orang per tahun sedangkan perempuan hanya Rp 9.050/orang per tahun. Ketimpangan yang sama juga ditunjukkan pada data 2022 yang menunjukkan daya beli laki-laki sebesar Rp 16.215/orang per tahun sedangkan perempuan hanya sebesar Rp 9.281/orang per tahun.

Lebih lanjut Diandra menambahkan bahwa terdapat beberapa alasan yang menyebabkan Pink Tax dapat terjadi di masyarakat. Hal itu bisa saja terjadi akibat adanya perbedaan biaya dalam proses produksi, misalnya ketika pembuatan baju perempuan memakan biaya produksi lebih banyak dengan model tertentu atau ketika produsen melakukan diferensiasi produksi.

“Adanya tarif masuk untuk produk yang ditargetkan untuk perempuan menyebabkan harga yang dijual juga semakin tinggi, padahal fungsi dari produk tersebut sama dengan yang ditargetkan untuk laki-laki. Di sisi lain perusahaan menggunakan survei yang menghasilkan temuan bahwa konsumen perempuan itu tidak sensitif dengan harga sehingga biaya untuk perempuan dibuat lebih tinggi, padahal seharusnya tidak boleh seperti itu. Adanya Pink Tax ini bukan sebuah solusi untuk meningkatkan inklusivitas barang atau jasa.”


Kiat-Kiat Melawan Pink Tax

Meskipun fenomena ini masih lumrah terjadi di Indonesia, namun ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk merespons hal ini. Dalam melawan Pink Tax di Indonesia, dapat dilakukan beberapa hal seperti konsumen dapat membeli produk yang ditargetkan untuk pria, atau yang bersifat gender neutral. Selain itu, kita juga dapat menyuarakan keresahan yang dialami kepada pemangku kebijakan yang tertinggi, mulai menyadarkan dan mengedukasi masyarakat lainnya, serta melakukan diskusi-diskusi umum yang bersifat inklusif agar isu ini semakin dikenal.

Di beberapa negara, para advokat telah lama bekerja untuk menurunkan atau menghilangkan pajak atas produk pembalut wanita (tampon), menyadari beban yang mereka berikan pada wanita—terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Beberapa negara—termasuk Australia, Kanada, India, dan Rwanda, antara lain—telah menghapus pajak atas tampon dan produk feminin lainnya.

Untuk itu, Diandra menutup wawancara dengan memberikan pesan pada perempuan agar terus berupaya untuk menjadi konsumen yang cerdas. Menurutnya hal tersebut dapat dilakukan dengan melihat produk dari fungsinya sehingga perempuan dapat lebih bijak ketika membeli suatu barang.

“Meskipun adanya Pink Tax di indonesia tidak separah di luar negeri, karena di luar negeri terdapat Tampon Tax dan sebagainya, dirasa tetap perlu membuat regulasi mengenai peristiwa ini. Tidak harus dengan undang-undang yang rigid, cukup dengan adanya Keputusan Presiden atau regulasi yang dapat membuat para pengusaha untuk menghindari strategi penjualan yang bersifat diskriminatif,” pungkasnya. (Sylvi Sabrina)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan dan Akses Pendidikan yang Setara

Menanti Akses Pendidikan yang Setara

Memperjuangkan Keadilan Gender dan Ekologis Harus Menjadi Bagian dari Kehidupan Sehari-hari

Fragile masculinity

Fragile Masculinity dan Dampaknya pada Perempuan

Leave a Comment