Wah, dalam hitungan jam kita akan menjejak di tahun 2022. Sungguh tidak terasa 365 hari sudah terlewati. Meski masih dibalut pandemi, namun kesyukuran tak pernah henti kita ucapkan. Mari kita refleksikan sejenak apa yang telah terjadi selama setahun terakhir. Bagi para perempuan.
Tahun 2021 masih menjadi tahun yang “sulit” bagi perempuan untuk terus berjuang menunjukan posisionalnya menuju sebuah dunia yang setara. Dunia yang ramah. Perempuan masih harus terus berjuang dengan segala daya dan upaya ditengah tuntutan domestik, stigma dan streotype yang ada di masyarakat. Membuktikan bahwa perempuan sejatinya layak dan berdaya.
Sepanjang tahun 2021 saya banyak bertemu perempuan-perempuan lokal yang hebat, yang mampu memberikan inspirasi dan menjawab persoalan yang ada di masyarakat, dengan menghadirkan sebuah solusi. Mereka satu persatu terekam dalam program media dan gender yang didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Mulai dari bidang ekonomi, perhutanan sosial, kredit union, pelestarian lingkungan hingga advokasi.
Meskipun masih ada anggapan perempuan kurang ideal menjadi seorang pemimpin dan lebih layak berada di dapur, namun perempuan-perempuan tersebut mampu menjawabnya dengan sebuah pembuktian. Perempuan bisa, dan layak diperhitungkan. Bukan untuk mendominasi namun untuk sebuah kesetaraan.
Menarik pula, saya melihat ada pergeseran gerakan perempuan menjadi sebuah kesadaran oleh perempuan itu sendiri. Seperti yang terjadi di Desa Seluma, bagaimana para perempuan yang ada dulunya, 10 tahun lalu, mereka menjadi bagian dari strategi untuk sebuah gerakkan penolakan tambang pasir besi PT. Faminglevto Bakti Abadi. Namun kali ini tidak.
Perempuan menginisiasi gerakannya sendiri. Bukan bagian dari strategi, namun sebuah bentuk kesadaran atas pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Ketika eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dilakukan tanpa memperhatikan lingkungan, maka perempuan lah yang akan mengalami dampak terberat. Sulitnya mendapatkan air bersih. Perempuan harus bersuara.
Tahun 2021 belum menjadi tahun yang aman bagi perempuan. Masih banyak dijumpai kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan, dan mirisnya masih banyak media yang tidak berpihak pada korban. Menempatkan judul yang seksis demi mengejak klik. Padahal senyatanya, kita sudah tahu aturan mainnya, bagaimana menulis berita yang ramah gender.
Di kalangan jurnalis perempuan pun di Bengkulu mencatat dari 29 jurnalis perempuan ada 19 jurnalis perempuan menjawab pernah merasa terancam atau diancam atas pemberitaan yang dibuat. Kemudian ada 15 jurnalis perempuan yang pernah mendapatkan pelecehan secara verbal maupun non verbal (sentuhan fisik) saat menjalankan tugas jurnalistik. Ini menarik, karena menunjukan profesi jurnalis belum sepenuhnya aman di Bengkulu khususnya dan di Indonesia umumnya, meskipun sudah dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Belum lagi porsi kepemimpinan perempuan di media, dari 29 responden, menunjukan jurnalis perempuan dengan kompetensi wartawan madya mendominasi yakni sebanyak 13 orang atau 44,82 persen. Kompetensi madya umumnya dimiliki jurnalis untuk level redaktur ataupun editor, dengan masa kerja diatas 5 tahun. Menyusul jurnalis perempuan yang sama sekali belum mendapatkan kesempatan mengikuti uji kompetensi, yakni 9 orang atau 31,03 persen.
Kemudian ada 5 jurnalis perempuan yang sudah berada di level wartawan utama, 17,24 %, kompetensi ini umumnya dimiliki untuk posisi pemimpin redaksi (pemred). Namun berdasarkan hasil survey dari 5 responden tersebut tidak ada yang berada di posisi pemimpin redaksi. Hanya ada satu responden yang menempati posisi general manager. Menyusul, ada 2 jurnalis perempuan atau 6,89 % yang sudah mengantongi kompetensi wartawan muda.
Ada pula tarik ulur pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Hingga berubah nama menjadi Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS), namun undang-undang tersebut tak kunjung disahkan. Digantung. Ya, tahun ini masih menjadi tahun yang sulit bagi perempuan. Perempuan harus memiliki strategi sendiri untuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman.
Berita bahagianya, Negara akhirnya memberikan pengakuan atas hak dasar orang tua tunggal dalam pendidikan anak-anaknya dengan dikeluarkannnya SE No 28 Tahun 2021 tentang Pengisian blanko ijazah pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Semangat untuk para ibu tunggal. Semangat melawan setiap stigmatisasi akibat patriaki. Semangat untuk menjadi perempuan yang berdaya hingga pada akhirnya masyarakat akan melihat Ibu tunggal bukanlah potret orang tua yang gagal.
Teruslah bergerak para puan. Mari berdaya dan saling menguatkan.
(Betty Herlina : Founder Bincang Perempuan)