Home » News » Perempuan dan Alam, Kearifan Relasi yang Dilumpuhkan

Perempuan dan Alam, Kearifan Relasi yang Dilumpuhkan

Delima Purnamasari

News

bincangperempuan.com- Perempuan dan alam adalah sepasang kawan dekat. Keduanya sama-sama melahirkan kehidupan. Merusak alam berarti menghancurkan perempuan. Sayangnya, reproduksi pengetahuan oleh kelompok berkuasa mencabut mereka dari akar filosofis ini. Perempuan digantikan dengan tenaga mesin demi menghasilkan komoditas sebanyak mungkin.

Perempuan sejatinya tidak hanya mengumpulkan dan mengonsumsi hasil bumi. Mereka turut membuat segala sesuatu jadi tumbuh. Ada tataran feminisme dalam alam.

Subordinasi alam dan perempuan tercermin dalam kesamaan konsep, bahasa, dan simbol. Istilah alam seringkali dilekatkan pada perempuan dan begitu pula sebaliknya. Contohnya, bumi diperkosa, perempuan digarap, sampai hutan ditelanjangi.

Kerusakaan alam yang disebabkan segelintir manusia justru menuntut perempuan untuk menanggungnya. Ketika sumber mata air mati atau rusak kualitasnya, mereka harus memutar otak demi bisa membeli air bersih. Begitu pula ketika tertimpa bencana, seperti banjir dan longsor, mereka tetap dibebankan untuk merawat anak dan orang tua meski di tengah keterbatasan.

Perusakan lingkungan dan perubahan iklim tidak netral gender. Bencana tersebut memberikan dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini karena ada konstruksi sosial yang secara tidak langsung mengatur peran antara keduanya.

Perempuan yang Berjuang di Tanah Wadas

Peran perempuan begitu sentral di balik keasrian Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Mereka mengindentifikasi diri sebagai Wadon Wadas. Para perempuan ini aktif dalam beragam kegiatan advokasi demi mempertahankan tanahnya. Mulai dari demonstrasi, hadir dalam forum diskusi, tanda tangan petisi, sampai mujahadah dan dzikir bersama.

Wadas sendiri adalah wilayah yang akan dilakukan pembukaan lahan demi penambangan batu andesit. Material tersebut akan dipasok untuk proyek Bendungan Bener. Nantinya, sebanyak 60% air dari bendungan itu akan dialirkan untuk salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), yakni Yogyakarta International Airport.

“Kami akan terus melawan sampai mati. Sampai titik darah penghabisan,” tutur Susi Mulyani, salah satu Wadon Wadas. Ia bercerita dalam acara People Strike yang diadakan oleh Solidaritas Perempuan Kinasih (SP Kinasih) bersama berbagai jaringan pada Senin (13/3/2023) lalu.

Pekerjaan sehari-hari Susi adalah membuat besek. Ia menolak rencana pembangunan karena tidak mau kehilangan tanah yang telah memberikannya kehidupan. Di sana tumbuh bambu-bambu yang menjadi bahan baku beseknya. Wadas memang kaya akan hasil alam, seperti kayu, temulawak, nira, hingga aren.

Susi masih ingat betul soal represi yang diterima. Salah satunya saat pengukuran lahan yang berujung kerusuhan dengan polisi pada Selasa, (08/02/2022). Ketika itu lebih dari 60 orang warga Wadas ditangkap. Takut akan ikut diciduk, ia memilih mengungsi dan bersembunyi. Suaminya bahkan sempat tidur di alas. Sebutan untuk wilayah hutan di Wadas. Ia mengaku juga menerima intimidasi dari tetangganya.

Konflik di Wadas berkembang menjadi konflik horizontal. Masyarakat terpecah-pecah. Susi menuturkan jika sebagian warga memang telah memilih menerima kompensasi atas tanahnya. “Kami ini bingung. Kenapa ada kiai yang malah ingin menghancurkan desa?”

Keputusan itu pada akhirnya mulai menimbulkan dampak. Menurut Susi, beberapa mata air telah mati akibat pengerukan yang sudah dimulai.

“Sampai sekarang, hati saya merasa sakit. Saya masih ingat suami saya diinjak-injak polisi. Saya cuma mau mempertahankan tanah kelahiran. Kami itu salah apa?”

Wadon Wadas lainnya, yang akrab disapa Mbah Sih juga mengeluhkan hal yang sama. Ia menuturkan jika tidak bisa menjalani kehidupan dengan damai. “Saya takut dampak tambang. Mau ngaji pun sering tidak tenang. Wadas ini tempat kami bertani jadi saya mau tetap bertahan,” tuturnya.

Alam Adalah Sumber Spiritualitas Perempuan

Dalam forum yang sama, Risma Umar dari Solidaritas Perempuan mencoba menjelaskan soal posisi dan peran perempuan yang berkelindan dengan ketidakadilan gender maupun lingkungan. Menurut Risma, wujud tertinggi dari sikap inklusif adalah menerima segala ciptaan Tuhan. Termasuk di dalamnya adalah alam dan lingkungan.

“Manusia itu diberikan kesalehan ekologi dan sosial. Karena itu, alam jangan dipandang dari relasi ekonomi semata,” tuturnya.

Risma menjelaskan jika pemanfaatan alam tanpa mempertimbangkan batasnya merupakan cara pandang orang yang memiliki kekuasaan. Mereka bukan petani, nelayan, atau kelompok kecil lainnya. Hal ini merupakan implementasi dari sistem patriarki eksploitatif yang didukung oleh kebijakan negara.

“Perempuan dan alam adalah dua entitas yang tidak dipisahkan. Alam adalah sumber spiritualitas perempuan,” jelas Risma.

Perlu diketahui jika pemikiran semacam ini adalah bagian dari gerakan ekofeminisme. Sebuah ideologi yang hendak membangun dunia dengan tidak berdasarkan dominasi. Ini dilakukan dengan mengkaji ulang korelasi manusia dengan non-manusia. Ekofeminisme berupaya menghidupkan dewi. Dengan kata lain, spiritualitas yang berperspektif perempuan.

Salah satu tokoh ekofeminisme adalah Vandana Shifa. Ia adalah sosok yang kerap berpartisipasi dalam gerakan Chipko. Aktivisme yang melawan pemerintah ataupun kontraktor dengan memeluk pohon-pohon untuk mencegah penebangan.

Ketua SP Kinasih, Sana Ullaili juga menjelaskan jika alam adalah potret relasi manusia dengan Tuhan. “Pembangunan adalah konsepsi tanpa emosi karena yang ada hanya nalar. Orang tanpa perasaaan hanya akan memunculkan dominasi mutlak,” jelas Sana.

Menurutnya, penting untuk melakukan perubahan dengan membangun spiritual interkoneksi. Sebuah jalan yang memperpendek jarak antara pikiran dengan emosi agar dapat setara. Di sini lah peran feminisme. Ia berupaya menengahi hipermaskulinitas. (Delima Purnamasari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

“Lean In” Membongkar Mitos dan Menggebrak Langit-langit Kaca

Perempuan dan Pembangunan Infrastruktur: Kebijakan dan Dampak yang Tidak Responsif Gender

Mendorong Suara Perempuan di Meja Perundingan Iklim

Leave a Comment