Home » Isu » Kekerasan Seksual » Marital Rape: Bingkai Hukum di Indonesia

Marital Rape: Bingkai Hukum di Indonesia

Marital rape dalam bingkai hukum di Indonesia

Bincangperempuan.com- Bidan Septri Penyuluh KB Bekasi mendapatkan pengaduan dari salah satu pasien (nama dirahasiakan, red), terkait kasus penyiksaan yang dilakukan suaminya. Korban kerap dipaksa berhubungan intim oleh suaminya hingga menimbulkan luka di bagian alat vital korban dan lebam di bagian paha. (2016)

Seorang istri di Tanjung Priok, sebut saja Santi, mengalami luka di bagian leher dan lengannya akibat serangan dari suaminya, Nuryanto. Serangan yang dilakukan oleh Nuryanto dengan menggunakan senjata tajam tersebut diakibatkan oleh Santi yang menolak ajakan Nuryanto untuk berhubungan intim. (2019)

Berikutnya, kasus istri siri ayahanda Taqy Maliq, Marlina Octoria, meminta cerai kepada suaminya Mansyardin Malik yang memaksa berhubungan intim 10 kali dalam sehari. (2021)

Fenomena di atas adalah bukti bahwa perkosaan dalam rumah tangga atau marital rape yang nyata adanya.

Baca juga: Melihat atau Alami KDRT? Ini Cara Melaporkannya!


Apa Itu Marital Rape?

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan dalam UU PDKRT Nomor 23 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ada 4 bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang. Yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran. Marital Rape adalah kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi perkawinan, artinya antara suami dan istri atau sebaliknya. Sering juga disebut dengan istilah pemerkosaan dalam rumah tangga.

Data yang masuk ke Komnas Perempuan, lanjut Siti, menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga kerap dialami oleh istri. Termasuk di dalamnya kekerasan seksual. Tidak hanya berbentuk rape dalam ruang lingkup rumah tangga, tetapi juga dapat dalam bentuk memaksa pasangan melakukan hubungan seksual dengan orang lain, dengan tujuan komersial atau tujuan tertentu. Alasan lain terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga atau Marital Rape yaitu sebagai eksploitasi ekonomi, adanya kecanduan pornografi atau pengaruh narkoba.

Dijelaskan oleh Siti, konteks kekerasan seksual tidak hanya penetrasi penis ke vagina, tetapi juga dalam bentuk anal seks (penetrasi ke anus,red). Hal ini menjadi bukti bahwa aktivitas seksual anal seks tidak hanya dilakukan oleh kelompok orientasi seksual minoritas tetapi juga dilakukan oleh kelompok-kelompok hetero.

Baca juga: Beri Ruang Aman, Siapkan Pendampingan Bagi Penyintas Kekerasan 

Seperti yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus salah satu anggota Satsabhara Polres Pamekasan, AR. AR membawa seorang laki-laki ke rumah yang ditinggalinya bersama istrinya, MH. AR meminta seorang laki-laki tersebut untuk menggauli MH yang sebelumnya telah dicekoki dengan sabu-sabu sehingga MH setengah tidak sadar.

AR mengaku melakukan hal tersebut agar ia merasa lebih bergairah untuk menggauli istrinya. Akibat perlakuan menyimpang tersebut, AR kemudian ditangkap anggota Bidang Propam Polda Jatim, (Januari 2023).

Menurut Siti, UU PKDRT untuk semua bentuk kekerasan sebenarnya sudah efektif. Dibuktikan dengan putusan-putusan pengadilan terkait kekerasan seksual dalam ruang lingkup perkawinan. 

Contohnya pada kasus warga Denpasar, Tohari (57) dipidana selama 5 bulan penjara akibat pemerkosaan yang ia lakukan terhadap istrinya, Siti Fatimah. Tohari saat itu memaksa berhubungan intim saat Siti sedang sakit dan dalam kondisi lemah. (2015)

Siti mengatakan walaupun tentu ada hambatan di struktur aparat penegak hukum. Berupa cara pandang, perspektif dan juga kemudian dari masyarakat dan perempuan.

Baca juga: Mengungkap Kekerasan Seksual: Definisi, Jenis, dan Contohnya

“Perspektif terbangun karena cara kita atau budaya yang masih menempatkan bahwa setelah menikah istri wajib untuk memberikan layanan seksual. Seorang istri yang telah terikat perkawinan dianggap memiliki kontrak seumur hidup untuk memberikan layanan seksual terhadap suami. Perspektif inilah yang membuat perempuan kehilangan hak konstitusionalnya, yaitu hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Padahal konteks UU Perkawinan dibuat untuk membangun keluarga yang bahagia. Jika dalam kehidupan rumah tangga diwarnai dengan kekerasan, terutama kekerasan seksual maka tentu tidak akan tercipta keluarga bahagia yang dimaksud,” katanya.

Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, salah satu hambatan dalam penanganan kasus KDRT secara umum, termasuk kasus kekerasan seksual (Marital Rape) adalah laporan dicabut oleh korban. Pengaruh dari suami dan keluarga kerap mejadi alasan korban menarik kasus sehingga tidak berlanjut ke persidangan. Selain itu tidak lain karena struktur sosial masyarakat yang masih melihat kekerasan seksual dalam perkawinan sebagai aib.

Perempuan dianggap tidak mampu membangun harmoni sehingga tawarannya diselesaikan secara kekeluargaan, dengan janji tidak akan terulang. Walaupun kemudian dalam perjalanan waktu, siklus kekerasan seksual biasanya kembali terjadi. Sehingga dalam hal ini biasanya korban memilih tetap berada dalam kondisi kekerasan, bercerai atau kembali melaporkan kasusnya ke kepolisian.

Baca juga: Joti Mahulfa, Bahagia Melihat Senyum Para Penyitas yang Sudah Pulih

“Apabila korban mencabut laporannya, tentu dari pihak aparat penegak hukum tidak mampu berbuat apapun. Karena telah disebutkan pada Pasal 479 Ayat (1) bahwa, Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana paling lama 12 (dua belas) tahun. Kemudian pada Ayat (6) disebutkan bahwa, Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan korban,” terang Siti.

Siti juga menambahkan, bahwa kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang kompleks. Karena sejatinya perempuan tidak hanya mendapatkan satu kekerasan. Mungkin korban melapor dalam kekerasan fisik dan kekerasan seksual, tetapi sesungguhnya korban juga mendapatkan kekerasan psikis.

“Perempuan harusnya  tahu haknya sebagai perempuan, otonomi tubuhnya serta hak untuk bahagia. Sehingga dengan demikian perempuan mampu mengambil keputusan yang tepat terhadap kasus kekerasan yang dialaminya,” pungkas Siti. (Ryen Meikendi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Hukum, KDRT, UU PKDRT

Artikel Lainnya

Ucapkan “Tobrut” Bisa Didenda Rp10 Juta

Lembaga layanan di Bengkulu

Lembaga Layanan di Bengkulu

Humor seksis adalah

Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal

2 Comments

  1. Semoga dengan adanya artikel ini bisa membuat para suami bisa memahami dan mengerti akan adanya hukum dalam melakukan kekerasan seksual 🙏

    Reply

Leave a Comment