Bincangperempuan.com- Keperawanan saat ini masih dianggap sebagai hal yang menentukan nilai moral seorang perempuan. Pada banyak kasus di masyarakat patriarki, perempuan yang sudah tidak perawan dianggap bukan perempuan baik-baik, menjadi aib dan tidak layak dipilih sebagai pasangan. Masyarakat cenderung menghubungkan keperawanan dengan kondisi selaput dara (hymen).
Selaput dara berupa jaringan serabut yang terletak pada vagina dan berfungsi untuk menyaring kotoran agar tidak langsung masuk ke dalam vagina. Selaput dara bertumbuh seiring dengan berkembangnya organ intim seorang perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan selaput dara menjadi rusak atau robek. Sehingga selaput dara bukanlah selaput yang menjadi penanda seorang wanita masih perawan atau tidak.
Fanatisme atas keperawanan menjadi bukti fisik stigmatisasi yang menambah beban perempuan. Bahkan, konsep keperawanan ini juga ikut merambah wilayah seleksi atau tes-tes untuk masuk ke sekolah dan instansi tertentu yang dilegitimasi pemerintah.
Masyarakat digiring pada pemikiran, penting untuk mengurusi status keperawanan perempuan, ketimbang mempersoalkan keperjakaan. Laki-laki yang sudah kehilangan keperjakaannya justru dianggap hal biasa, dan berhasil membuktikan kejantanannya. Sebaliknya, perempuan, cenderung dikucilkan, mendapatkan diskriminasi hingga label, bukan perempuan baik-baik.
Padahal, mempertanyakan keperawanan perempuan sebagai standar nilai moral merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Dari sisi medis pun, selaput dara tak bisa dijadikan penanda, karena fungsi dari selaput dara tidak ada hubungannya dengan aktivitas seksual.
Asal Mula ‘Keperawanan’
Menurut bahasa latin Yunani, keperawanan berasal dari kata “virgo” yang berarti gadis. Kata tersebut digunakan karena perempuan diibaratkan sebagai dewi-dewi Yunani yang berkaitan dengan kemandirian, keluarga, dan kekuatan. Sama sekali tidak berurusan dengan kondisi selaput dara.
Baca juga: Mengenal Fenomena Catcalling di Ruang Publik
Sebaliknya, masyarakat yang mengaitkan isu keperawanan dengan selaput dara. Perempuan yang tidak mengeluarkan dara saat malam pertama dianggap sudah tidak perawan dari sebelum menikah. Padahal dalam dunia medis, kondisi selaput dara setiap perempuan berbeda-beda, sehingga tidak semua perempuan akan mengeluarkan darah ketika pertama kali melakukan aktivitas seksual.
Dampak Psikologis Stigma Keperawanan
Stigma negatif tentang keperawanan memberikan dampak psikologi bagi perempuan. Hal ini bisa berdampak pada kesehatan mental. Psikolog Rs Bhayangkara Denpasar, Made Ayu Praditya Larashati, M.Psi mengungkapkan jika tidak semua perempuan merasa nyaman ketika ditanyakan keperawanannya. Kebanyakan dari mereka memilih untuk diam karena nilai budaya dan lingkungan sosial yang menganggap hal-hal berbau seksualitas masih tabu untuk dibicarakan.
Hal yang banyak dirasakan perempuan dari stigma keperawanan adalah rasa tidak nyaman karena privasi yang telah diganggu. Intensitas dari perasaan tidak nyaman ini akan naik menjadi lebih tinggi karena keperawanan mempunyai nilai budaya dan lingkungan yang sangat penting.
Ketika perempuan tidak dapat mempertahankan keperawanannya hingga jenjang pernikahan, mereka akan dilabeli sebagai perempuan nakal atau salah pergaulan dan telah merusak kepercayaan orang tuanya. Kondisi inilah yang mempengaruhi kondisi psikologisnya sehingga mereka cenderung sulit untuk menerima diri sendiri, merasa hina dan jijik terhadap diri sendiri, hingga merasa ingin mengakhiri hidupnya.
Sebuah studi sosial di Giza, Mesir, menemukan bahwa kebanyakan perempuan merasa cemas, panik, sakit dan takut sebelum malam pertama. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sophia Smith Galer yang menemukan banyak postingan media sosial seputar reproduksi yang membahas ketakukan perempuan terhadap kehilangan selaput dara ketika melakukan mastrubasi. Hal ini telah mempengaruhi kesejahteraan seksual perempuan dan menghambat mereka dalam mengakses keadilan.
Mitos Keperawanan yang Harus Diluruskan
Sejatinya, pandangan tentang keperawanan disebabkan oleh kesetaraan gender yang tumpang tindih diantara laki-laki dan perempuan. Hal ini membentuk nilai-nilai misoginis dan stereotip gender mengenai nilai kesucian perempuan. Selain itu, sudut pandang budaya yang memandang jika berhubungan seksual merupakan suatu hal yang sakral sehingga darah saat malam pertama dianggap penting dalam menentukan keperawanan.
Sebuah studi yang dilakukan Sophia Smith Galer dalam bukunya yang berjudul ‘Losing It’ terhadap pandangan keperawanan menemukan bahwa penelitian ilmiah telah membantah mitos tersebut. Akan tetapi, ia menemukan jika beberapa dokter justru mengabaikan informasi akurat tentang pendidikan seksual yang berkaitan dengan selaput dara.
Baca juga: Perempuan Lokal, Tak Surut Merawat Tradisi Seklang Putung
Studi lainnya yang dilakukan pada tahun 2011 di Dicle University, Turki, menemukan bahwa 72,1% siswa perempuan dan 74,2% siswa laki-laki mempercayai bahwa selaput dara melambangkan keperawanan. Penelitian yang sama dilakukan pada pria dewasa dan hasilnya, mereka mengatakan bahwa ‘darah’ setelah malam pertama harus diperlihatkan kepada keluarga mereka. Kondisi ini semakin memperkuat bahwa mitos ‘berdarah’ saat malam pertama dinilai dapat menentukan keperawanan seorang perempuan.
Stigma negatif tentang keperawanan ini harus diluruskan karena untuk mengurangi rasa takut yang dimiliki perempuan dalam mengeksplorasi identitas seksual mereka. Mitos-mitos yang tidak dicegah akan membuat perempuan semakin dihantui nilai-nilai keperawanan yang terus ditekankan oleh masyarakat.
Mengakhiri Stigma Seputar ‘Keperawanan’
Stigma negatif masyarakat tentang keperawanan harus segera dihilangkan. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang keperawanan diperlukan untuk mencegah pemikiran masyarakat yang melenceng. Budaya yang membentuk stigma keperawanan harus diubah untuk mengakhiri mitos tentang selaput dara.
Selain itu, mengubah nama selaput dara menjadi cincin vagina diharapkan dapat mengubah persepsi masyarakat. Ide ini telah berhasil diterapkan oleh Swedia yang mengubah pandangan orang dewasa dan profesional medis. Selain itu, melarang praktik seperti tes keperawanan dapat diajarkan selama pembelajaran untuk mengubah pandangan masyarakat secara perlahan.
Karin Milles melakukan penelitian selama hampir 10 tahun dan mendapati bahwa 86% profesional dan 22% remaja telah menggunakan istilah ‘cincin vagina’ untuk menghapuskan mitos-mitos seputar keperawanan. Mayoritas dari mereka juga menilai bahwa konsep keperawanan dianggap kuno dan hanya mitos belakang. Selain itu, sudah banyak sekolah di dunia yang mengadopsi istilah ‘cincin vagina’ untuk mengedukasi anak-anak tentang mitos keperawanan yang berkembang selama ini.
Sumber :
- Ni Luh Putu Wahyuni Sari, 2021. “Apakah Menanyakan Seseorang Tentang Keperawanan Akan Mempengaruhi Psikologisnya? Ini Penjelasannya”, dalam Tribun-Bali.com
- Sophia Smith Galer, 2022. “Mitos-mitos yang salah tentang selaput dara dan keperawanan”, dalam BBC News Indonesia