Home » Isu » Kesetaraan Gender » Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Islam?

Bagaimana Kesetaraan Gender dalam Islam?

Kesetaraan gender dalam Islam

Bincangperempuan.com- Ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dialami perempuan sering kali mengatasnamakan agama dan tafsir-tafsir tertentu, termasuk agama Islam. Padahal, mengamini ketidakadilan adalah sebuah kemustahilan. Cita-cita kemanusiaan tertinggi dalam Islam adalah membuat laki-laki maupun perempuan bisa menjadi subjek penuh dalam kehidupan. Lalu, bagaimana kesetaraan gender dalam Islam?

Salah satu yang sering diperdebatkan adalah perintah menutup aurat. Perempuan diminta hanya memperlihatkan wajah dan telapak tangan. Sayangnya, perintah tersebut justru digunakan untuk menghalalkan stigma perempuan sebagai sumber fitnah. Padahal, laki-laki dan perempuan sama-sama punya potensi berbuat baik dan buruk. Keduanya bisa menjadi sumber anugrah ataupun musibah.

Hal tersebut diungkapkan oleh dua ulama, Masruchah selaku Ketua OC Kongres Ulama Perempuan Indonesia II dan Erik Tauvani Somae yang saat ini menjadi Dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Ahmad Dahlan.


Konteks Perintah Menutup Aurat

Rahmat itu bagi seluruh isi alam. Tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan,” ujar Masruchah membuka obrolan.

Menurutnya, penting untuk memahami perbedaan antara fiqih yang klasik dan kontemporer. Dalam beragama pun, ada pengetahuan yang selalu dinamis dan berubah sesuai zaman.

Awalnya, perempuan memiliki status yang rendah. Bayi-bayi perempuan dibunuh karena dianggap aib. Mereka tidak bisa memberi kehormatan pada keluarga mengingat kepala suku atau orang yang dihormati hanya berasal dari laki-laki. Situasinya membahayakan. Karena alasan itu pula, kala itu, perempuan mesti didampingi oleh mahramnya ketika keluar rumah.

“Mahram itu konteksnya melindungi. Kalau sekarang, Indonesia ini negara hukum. Mahramnya yang menjamin ya negara,” ujar Masruchah saat dihubungi Bincang Perempuan melalui sambungan telpon pada Rabu, (17/05/2023).

Baca juga: Mendorong Suara Perempuan di Meja Perundingan Iklim

Oleh sebab itu, ia menilai perempuan yang bekerja di luar negeri adalah tanggung jawab negara. Jika perempuan ingin berangkat haji dan tidak ada yang menemani, negara harus hadir sebagai penjamin.

Begitu pula dalam soal aurat. Menurut Masruchah, perempuan dianggap menjadi korban perkosaan karena bajunya yang tak tertutup. Padahal, apa pun pakaian perempuan hanya akan ditangkap sebagai tanda keberadaan mereka jika masih dilihat sebagai objek seksual semata. Cara dan pola pikir ini yang mestinya diubah,

“Perempuan dijadikan korban untuk menutup tubuhnya karena takut menimbulkan syahwat. Itu sebenarnya pikiran mereka saja,” ungkap Masruchah.


Setiap Individu Adalah Khalifah

Banyak pihak mempersoalkan tentang 25 nabi yang hanya laki-laki. Karena tidak memberi ruang pada perempuan untuk menjadi pembawa wahyu Allah, Islam kerap disebut sebagai agama yang patriarki. Namun, menurut Erik, pemahaman itu belum selesai. Menurut tafsir yang lain, bahkan ada 124.000 nabi yang diturunkan pada kaum dan zamannya masing-masing meski tidak tertulis di Al-Quran.

“Kita tidak pernah tahu yang perempuan ada berapa atau laki-laki semuanya. Namun, kajiannya seakan-akan sudah selesai ketika diajarkan pada anak-anak,” ungkap Erik kepada Bincang Perempuan pada Selasa, (16/05/2023).

Walaupun begitu, itu bukan masalah. Erik sendiri mengungkapkan jika Rasulullah saja pernah menjadi karyawan yang bekerja kepada pemilik usaha, yakni seorang perempuan yang kelak menjadi istrinya, Khadijah binti Khuwailid.

Lebih lanjut Erik mengungkapkan kepemimpinan ini juga di dalam keluarga. Ketika suami tidak mampu secara fisik, sosial, ekonomi, perempuan juga mampu mengambil alih. Hal semacam ini sudah banyak dilakukan, terbukti dengan lahirnya Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Baca juga: Edukasi Seks Pada Anak, Ini yang Harus Diketahui 

Kondisi-kondisi tersebut juga memungkinkan perempuan untuk memperoleh warisan yang lebih besar. Menurut Erik, yang paling maslahat untuk dilakukan adalah musyawarah. Jika berdasarkan nurani dan kedewasaan keluarga perempuan menjadi tulang punggung maka ia lebih berhak.

“Hukum waris itu tidak paten dan tidak stagnan. Aturan itu dibuat sesuai dengan konteks. Kalau dulu, semua itu dikontrol oleh laki-laki, termasuk dalam membiayai budak-budak,” jelasnya.

Namun, Erik juga memahami jika warisan adalah hal yang sensitif sehingga sering terjadi perselisihan. Ketika tidak bisa didamaikan, biasanya hakim yang akan turun tangan. Di sana berlaku hukum agama yang dijadikan hukum negara.

Pada kondisi-kondisi ini, Erik mengungkapkan pentingnya beragama yang tidak hanya menghadirkan teks dan akal. Namun, turut serta kepekaan dan kebijakan dalam mencapai kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.


Menikah Itu Cukup Satu

Hal lain yang sering kali diperdebatkan tentang kesetaraan gender dalam Islam adalah poligami. Karena itu, laki-laki bisa memiliki istri hingga empat orang. Menurut Erik, perlu dipahami jika poligami itu bukan perintah dalam Islam.

Dijelaskan Erik bahwa Agama Islam turun dalam kondisi poligami tanpa batas. Semakin laki-laki bisa memiliki banyak istri, ia semakin terhormat kedudukannya karena itu hanya bisa dilakukan oleh kepala suku dan orang-orang kaya. Aturan ini sebenarnya adalah pembatasan untuk mengubah keadaan secara bertahap.

“Pada agama Islam, isyarat untuk monogami itu sangat kuat,” tutur Erik.

Praktik poligami Rasulullah sendiri dilakukan pada janda-janda yang ditinggal mati suaminya karena berperang. Ada faktor kemanusiaan Nabi untuk menghidupi perempuan dan anak mereka mengingat belum adanya lembaga negara yang melindungi.

“Jika kamu tidak mampu berlaku adil pada istri-istrimu, cukup satu saja. Namun, ayat lain menyebutkan jika sesungguhnya para lelaki, tidak akan mampu berlaku adil pada istri-istrimu. Nabi saja kesulitan,” jelas Erik.

Erik bercerita jika cinta Rasulullah pada Khadijah amat luar biasa. Hingga ketika istrinya itu meninggal, Nabi belum bisa melupakannya begitu saja. Ketika menikah dengan Aisyah, ia memintanya untuk memperbanyak masakan agar bisa diberikan pada keluarga Khadijah. Nama Khadijah berulang kali disebut-disebut hingga membuat Aisyah cemburu dan membanding-bandingkan.

Adil dalam hal ini tidak soal fisik semata, tetapi juga batin. Karena itu, bukan hanya perkara membagi uang, baju, atau rumah. “Kadang agamawan saja melihat persoalan agama seperti hitam putih, halal haram. Padahal, ada aspek psikologi yang sangat kuat di situ dan tidak bisa disamakan antara satu konteks dengan yang lain,” tuturnya.


Kesetaraan Gender dalam Islam

Beragama Islam berarti tunduk mutlak hanya pada Allah dengan nilai yang menjadi kebaikan bersama. Dalam hal ini, nilai seorang manusia tidak tergantung oleh status perkawinan, organ reproduksi, sampai jumlah harta. Hanya tergantung pada kebaikan hingga bisa memperoleh puncak kenikmatan berupa surga. Gambaran surga sendiri juga berkembang sesuai dengan konstruksi budaya. Kalau laki-laki, membayangkan surga penuh dengan bidadari. Beda pula gambaran bagi masyarakat miskin.

Menurut Erik, Al-Quran menyebutkan jika surga diperuntukkan baik bagi laki-laki maupun perempuan. “Jadi bukan laki-laki dan perempuan. Posisinya itu setara. Kalau laki-laki berbuat buruk ya dapat balasan. Begitu juga perempuan.”

Erik juga memberi pesan untuk lebih banyak bergaul, termasuk pada mereka yang berbeda keyakinan maupun tidak beragama sekalipun. Hal ini penting demi membentuk perspektif yang beragam dan mampu menempatkan diri dengan bijaksana.

Masruchah juga demikian. Penting untuk tidak menghakimi perempuan akan banyak menghuni neraka ataupun sebaliknya. Komisioner Komnas Perempuan 2010-2014 dan 2015-2019 ini turut berpesan untuk saling mengenal diri masing-masing. Dengan begitu, kekurangan justru bisa jadi kekuatan untuk berkembang karena sejatinya laki-laki maupun perempuan memiliki potensi.

“Rasulullah sendiri memberi contoh ketika Khadijah bekerja, ia yang merawat anaknya. Kalau yang paham betul dengan pesan agama Islam, praktik relasi yang setara itu sudah dilakukan sejak dalam rumah,” pungkasnya.


Kesimpulannya, kesetaraan gender dalam Islam adalah prinsip fundamental yang menegaskan hak dan tanggung jawab setara bagi pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan keluarga. (Delima Purnamasari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Bisakah Indonesia Mencontoh Islandia, Soal Kesetaraan Gender

Bisakah Indonesia Mencontoh Islandia, Soal Kesetaraan Gender?

High Value Women

Kenapa High Value Women Lebih Banyak Bersinar Saat Ini?

Fragile masculinity

Fragile Masculinity dan Dampaknya pada Perempuan

Leave a Comment