Home » Tokoh » Perempuan Pewaris Pengetahuan Lokal dari Hutan Rano

Perempuan Pewaris Pengetahuan Lokal dari Hutan Rano

Bincang Perempuan

Tokoh

Perempuan Pewaris Pengetahuan Lokal dari Hutan Rano

Bincangperempuan.com- Nama saya Haida atau biasa dipanggil Nyanyak. Saya lahir di Desa Rano pada tahun 1951. Saya menikah dengan seorang laki-laki dan dikaruniai empat orang anak. Saat ini, semua anak saya tinggal di Rano dan sudah menikah di sini. Saya menamatkan sekolah di PSGB Donggala pada tahun 1967 dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pertama di Rano. PSGB adalah singkatan dari Pendidikan Sekolah Guru Baru di mana mereka yang lulus dari situ akan diangkat menjadi pegawai negeri dan ditempatkan di sekolah-sekolah yang masih kekurangan guru.

Menjadi seorang pegawai bukanlah perkara mudah di tahun-tahun itu. Saya ingat persis bagaimana sulitnya menjadi seorang guru yang harus berjalan kaki dari Desa Rano menuju Desa Lero, kemudian dilanjutkan menggunakan perahu layar menuju Donggala hanya untuk mengikuti ujian PSGB. Perjalanan itu memakan waktu dua sampai tiga hari dengan kondisi yang sangat melelahkan. Tapi, sekalipun begitu, saya harus tabah menjalaninya demi menggapai sebuah cita cita.

Saya diangkat menjadi guru pada tahun 1968 dan ditempatkan di Desa Rano. Saat itu, saya mengajar mata pelajaran umum. Karena tenaga pengajar masih sangat kurang, saya juga diperbantukan untuk mengajar mata pelajaran lain bagi murid-murid.

Selama 31 tahun mengabdi, saya akhirnya memilih pensiun dini. Keputusan itu saya ambil bukan tanpa sebab. Tahun 1997, saya mengalami musibah kecelakaan yang membuat mata sebelah kiri saya mengalami kebutaan. Mau tidak mau, saya akhirnya pensiun.

Baca juga: Melawan Stigma, Menjadi Perempuan Berdaya

Kejadian itu bermula ketika saya bersama suami pergi ke kebun untuk mengumpulkan durian. Saat menunggu durian, saya melintas di bawah sebuah pohon durian. Lalu, secara tiba-tiba, sebuah durian jatuh menimpa saya. Hantaman durian itu tepat mengenai mata sebelah kiri saya sehingga saya tersungkur ke tanah. Suami saya yang melihat kejadian itu langsung mendekat dan menggotong saya menuju pondok tempat kami biasa berteduh. Melihat kondisi saya yang kian parah, akhirnya dia membawa saya pulang untuk diobati.

Sesampainya di kampung, saya dirawat oleh keluarga di sini. Nenek yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan tradisional mengusap wajah saya dengan ramuan yang telah dia racik sebelumnya. Ramuan itu untuk menghilangkan rasa nyeri yang saya rasakan. Setelah beberapa saat dirawat, saya akhirnya dibawa ke Puskemas untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut. Saat diperiksa, tenaga medis di Puskesmas menyarankan saya untuk dirujuk ke Palu. Tetapi, karena jarak yang terlalu jauh, akhirnya keluarga memilih untuk merawat saya di Desa Rano.

Setelah beberapa saat beristirahat, penglihatan sebelah kiri saya menjadi kabur. Saya tidak bisa melihat dengan jelas sesuatu yang ada di hadapan saya. Walaupun penglihatan terganggu, saya tetap berusaha agar sembuh karena ada tanggung jawab yang harus saya lakukan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Setelah membaik, saya mencoba untuk kembali mengajar di sekolah. Namun, setelah beberapa waktu berlalu, penglihatan saya semakin tidak jelas. Kepala saya juga sering sakit apabila mengingat sesuatu hal. Sekian lama beradaptasi dengan kondisi seperti itu membuat saya semakin kesulitan. Sampai akhirnya, mata sebelah kiri saya mengalami kebutaan total.

Melihat kondisi saya yang memprihatinkan, suami menyarankan agar saya mengajukan pensiun dini. Dia merasa iba bila saya harus terus-terusan mengajar dengan kondisi kesehatan yang tidak baik. Setelah mendengar saran dari suami, akhirnya saya membuat surat permohonan pensiun dini dan mengirimkannya ke Donggala.

Perempuan Pewaris 
Pengetahuan Lokal dari
Hutan Rano

Setelah berhenti mengajar, banyak waktu yang saya habiskan di rumah. Saya membuat kue, menjahit, dan membantu suami pergi ke kebun. Sesekali saya diminta oleh guru-guru yang masih mengajar untuk memberikan pelatihan-pelatihan senam bagi siswa. Saya juga melatih mereka menari apabila ada hajatan atau acara-acara besar di desa. Selain beraktivitas seperti itu, saya juga mulai menekuni pengobatan tradisional di desa. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional ini saya dapat dari nenek yang dibagikan pada saya. Nenek memperkenalkan segala jenis tanaman beserta manfaat- manfaatnya. Saya memperhatikan dengan seksama apa yang diceritakan oleh nenek sampai akhirnya saya mengenali segala macam jenis tanaman yang dapat dijadikan obat.

Pengetahuan yang saya dapat dari nenek itu akhirnya membuat saya mahir mengobati orang. Terkadang orang mengundang saya untuk mengobati kerabat mereka di rumah. Di lain waktu, mereka yang datang mengunjungi saya untuk diobati. Saya bersyukur pengetahuan yang dibagikan nenek ini sangat bermanfaat hinggasekarang. Dari hasil mengobati orang itu, saya mendapatkan sedikit pemasukan untuk memenuhi kebutuhan dapur.

Saya rasa, salah satu sebab banyak orang datang untuk berobat pada saya karena Desa Rano belum memiliki Puskesmas. Satu-satunya fasilitas kesehatan yang kami punya adalah Polindes (pondok bersalin desa). Untuk menjangkau puskesmas terdekat kita harus menempuh jarak 15 – 17 kilometer dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan. Maka dari itu, akses kepada layanan kesehatan yang memadai masih sangat sulit di Desa Rano. Sambil menunggu akses tersebut menjadi mudah, pengetahuan lokal tentang obat-obatan tradisional yang berasal dari hutan kita sendiri harus terus dilestarikan.

Desa Rano memiliki kekayaan yang tidak ternilai. Selain hasil-hasil hutan, ada banyak tumbuhan bermanfaat yang dapat dijadikan obat-obatan tradisional. Sayangnya, masyarakat di sini belum melihat potensi itu untuk dikembangkan.

Situasi itu akhirnya saya ceritakan pada Erfin. Dia adalah seorang staf lapangan di Sikola Mombine yang sedang melakukan pendampingan masyarakat untuk mendorong program Perhutsos di Desa Rano. Setiap kali datang ke Desa Rano, Erfin selalu menginap di rumah saya sehingga kami sering berbagi cerita.

Erfin yang tertarik pada potensi obat-obat tradisional itu akhirnya menceritakannya pada teman teman di Sikola Mombine. Baginya, ini adalah peluang baik untuk mengembangkan produk lokal yang berkaitan dengan obat-obatan tradisional. Sebab, selama ini, Sikola Mombine belum pernah melakukan hal tersebut. Dia juga menambahkan, bahwa ke depan, Sikola Mombine akan fokus pada pengembangan produk lokal yang berkaitan dengan obat-obatan tradisional. Apalagi bahan baku obat-obat itu masih banyak tersedia di sini.

Baca juga: Berantas Stunting pada Anak, Dimulai dari Memastikan Kesejahteraan Ibu

Mendengar cerita itu membuat saya senang. Pengetahuan mengenai obat-obatan tradisional yang saya miliki selama ini akhirnya dapat saya bagikan pada orang lain. Selain itu, berbicara tentang obat-obatan tradisional yang bersumber dari hutan tidak bisa dilakukan tanpa berbicara tentang kelestarian hutan dan alam itu sendiri. Selama ini, saya dan suami saya konsisten untuk tidak melakukan aktivitas yang bisa merusak lingkungan, misalnya kami tidak menggunakan pestisida yang bisa merusak kualitas tanah untuk lahan perkebunan dan pertanian kami.

Semangat pelestarian lingkungan juga saya turunkan ke anak saya yang pernah menjabat sebagai kepala desa. Pernah, di masa anak saya menjabat sebagai kepala desa, ia memimpin aksi penolakan tambang yang ada di Desa Rano di tahun 2012. Walaupun saat itu anak saya banyak mendapatkan ancaman, bapak-bapak yang ikut dalam aksi penolakan tersebut juga banyak yang ditangkap, tapi saya mendorong anak saya untuk tetap maju. Kalau benar, tidak perlu takut. Demi kelestarian alam Desa Rano di masa depan.

Kini, semoga dengan pendampingan program Perhutsos dari Sikola Mombine ini, masyarakat Desa Rano dapat dibantu untuk mengembangkan dan meningkatkan ekonomi mereka. Walaupun, masyarakat Desa Rano sendiri juga harus serius belajar dan mengembangkan produk lokal itu dengan baik. (**)

**) Tulisan ini direpublikasi dari Kisah perempuan pengelola perhutanan sosial di Sulawesi Tengah : Mengabdikan Perjuangan, Menggapai Kesetaraan yang diterbitkan Yayasan Sikola Mombine dan didukung The Asia Foundation.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Karina Audia Pitaloka, Perempuan dengan Profesi Kameramen

Fonika Thoyib

Fonika Thoyib, Tertantang Lakukan Penguatan Literasi Digital bagi Perempuan dalam Memilih Tontonan

Perempuan di Balik Kepiting Bakau Berkelanjutan

Leave a Comment