Bincangperempuan.com- Desa pesisir Pegagasan di Indonesia menawarkan pemandangan indah yang dapat ditemukan di banyak kartu pos wisata. Setiap pagi, ratusan nelayan menambatkan perahu kayu tradisional mereka di pantai, saat matahari muncul dari cakrawala, dengan sinar pagi yang mengambang di atas hamparan perairan biru jernih.
Lebih dari sekedar pemandangan yang indah, Desa Pegagasan yang terletak di pesisir selatan pulau Madura, merupakan rumah bagi beberapa komunitas pembudidaya Kepiting Rajungan terbesar. Saat fajar menyingsing, ratusan nelayan membawa hasil tangkapan mereka ke tempat pengolahan yang dimiliki oleh pengepul kepiting, yang secara lokal dikenal sebagai ‘pemasok’.
Di tingkat pamasok, kepiting bakau dikukus (dimasak, red) dan didistribusikan ke beberapa pabrik mini yang tersebar di seluruh pulau.
Baca juga: Urban Farming, Ringankan Beban Perempuan Kota
Banyak dari tempat memasak ini dikelola oleh perempuan seperti Adaifah.
Ibu tiga anak berusia 41 tahun ini bertugas memeriksa dan memilah kepiting untuk diproses lebih lanjut. Selain itu, ia juga mencatat nama-nama nelayan dan jumlah total tangkapan mereka. Termasuk mencatat jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting. Dia melaporkan semua data kepada pemilik pabrik mini. Pelaporan ini merupakan bagian utama dari sistem yang disebut ‘Dokumentasi Kontrol’ yang diprakarsai oleh Asosiasi Pengusaha Rajungan Indonesia (APRI), dengan dukungan dari UNDP.
Sistem ini dikembangkan untuk memastikan alur daging kepiting bakau dari Indonesia. Hampir 90% kepiting rajungan biru dari Indonesia diekspor – terutama ke pasar Amerika Serikat. Untuk menjaga keberlanjutan produksi kepiting rajungan biru, ia hanya menerima kepiting dengan ukuran dan kondisi tertentu.
“Saya tidak menerima kepiting berukuran kecil yang panjangnya kurang dari 10 cm, atau kepiting betina yang sedang bertelur,” ujarnya, “Dulu banyak nelayan yang marah karena saya tidak menerima kepiting kecil. Saya merasa kasihan pada mereka. Namun, perlahan-lahan, mereka menerima aturan tersebut”, jelasnya. “Sekarang sebagian besar nelayan sudah memahami aturan tersebut, meskipun terkadang mereka masih membawa satu atau dua ekor kepiting berukuran kecil, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit dari sebelumnya.”
Tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia menetapkan ukuran minimum kepiting bakau yang boleh ditangkap. Menurut peraturan tersebut, hanya kepiting dengan ukuran karapas minimal 10 cm yang boleh ditangkap. Nelayan juga dilarang menangkap kepiting yang sedang bertelur. Peraturan ini dikeluarkan untuk menjaga keberlanjutan stok kepiting di habitat aslinya.
Menurut Adaifah, setiap harinya ada 40 nelayan rajungan yang datang untuk menjual kepiting rajungan biru ke tempat pengolahannya. Pada puncak musim penangkapan Rajungan – antara bulan Maret dan Juli – ia bisa bekerja sepanjang hari dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore, karena banyaknya hasil tangkapan. “Pada musim puncak, saya bisa menerima hingga 80 kilogram rajungan setiap hari”, tambahnya.
Bagi Adaifah, memastikan bahwa proses tersebut dilakukan secara berkelanjutan telah menjadi inti dari pekerjaannya sehari-hari.
“Alam memang menyediakan sumber daya bagi kita, tetapi tergantung pada seberapa bijak kita menggunakannya,” katanya. “Semoga pekerjaan saya ini bermanfaat bagi para nelayan dan juga keluarga saya. Saya yakin industri kepiting bakau dapat terus memberikan mata pencaharian bagi banyak orang.”
Baca juga: Harga Sayur Anjlok, Perempuan Petani Tertekan
Adaifah adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang mengambil peran dalam rantai pasok perikanan kepiting rajungan biru di Indonesia yang menjadi pejuang dalam mencapai target industri perikanan nasional yang berkelanjutan.
“Perikanan kepiting rajungan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam rantai pasoknya, termasuk setidaknya 90.000 nelayan dan 185.000 perempuan yang terlibat di tempat pengolahan kepiting dan miniplant,” ujar Aik Wulandari dari APRI. “Keberhasilan upaya industri untuk terus meningkatkan keberlanjutan perikanan ini melalui Fisheries Improvement Project (FIP) tidak lepas dari kontribusi besar para mitra kami seperti Adaifa.”
“Kisah Adaifah memberikan contoh yang jelas tentang pentingnya peran perempuan dalam perikanan dan mengakui perlunya mengatasi masalah gender dalam perikanan. Untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan secara efektif, kesetaraan gender harus terus dipromosikan dalam rantai pasokan perikanan,” kata Sri Yanti, Direktur Kelautan dan Perikanan BAPPENAS (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional).
Kementeriannya, bersama UNDP, melalui proyek Komoditas Kelautan Global GEF memberikan dukungan kepada Asosiasi Kepiting Rajungan Indonesia (APRI) untuk mempercepat peningkatan perikanan kepiting di Indonesia.
“Memperkuat peran perempuan dan mendorong kesetaraan gender di sektor perikanan selaras dengan arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” tambah Sri Yanti.
*) Artikel ini diadaptasi dari Women spearheading sustainable production of Blue Swimming Crab in Indonesia yang sudah tayang lebih dahulu di Undp.org