Bincangperempuan.com- Keterwakilan perempuan dan partisipasi pemilih perempuan adalah dua aspek penting membangun demokrasi yang inklusif serta mewujudkan kesetaraan gender. Dalam konteks politik di Indonesia, keterwakilan perempuan masih menjadi tantangan.
Padahal menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bengkulu (Unib), Wahyu Widiastuti, M.Sc keterwakilan perempuan dalam politik dapat membawa perspektif unik dan pengalaman yang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan inklusif.
“Ketika perempuan memiliki suara yang kuat dalam lembaga legislatif, kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, seperti perlindungan hak-hak perempuan, kesehatan reproduksi, dan kesetaraan gender, cenderung mendapatkan perhatian yang lebih besar,” katanya.
Namun, lanjut Widi, untuk mencapai keterwakilan perempuan yang lebih baik dalam politik, partisipasi pemilih perempuan juga sangat penting. Partisipasi pemilih perempuan yang rendah dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat terpilihnya lebih banyak perempuan dalam kursi DPD RI.
“Pemilih perempuan yang aktif secara politik dan turut serta dalam pemilihan dapat membantu memastikan bahwa calon perempuan mendapatkan dukungan yang cukup untuk terpilih,” imbuh Widi yang saat ini tengah menyelesaikan program doktor di Universiti Malaysia Terengganu (UMT), dengan spesialis Political Branding.
Pada pemilihan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2019-2024, jumlah senator perempuan yang berhasil duduk di Senayan belum sepenuhnya mencapai angka 30%. Padahal UU sudah mengamanatkan sekurangnya 30% harus diisi oleh perempuan.
Dari 136 kursi yang tersedia di parlemen untuk 34 provinsi di Indonesia dimana setiap provinsi memiliki jatah yang sama sebanyak 4 kursi, baru DPD RI periode 2019-2024 yang berhasil mendudukan 30 persen perempuan, yakni 40 kursi. Sedangkan sebelumnya masih dibawah 30 persen.
Perempuan yang berhasil duduk di kursi senator periode 2004-2009 hanya 27 orang, tahun 2009-2014 naik menjadi 31 orang, dan pada 2014-2019 naik lagi menjadi 34 orang.
Pada Juni 2022 lalu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa. Berdasarkan jenis kelamin, 50,48% penduduk Indonesia berjenis kelamin laki-laki dan ada 49,52% perempuan.
Merujuk pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 secara nasional berjumlah 192.828.520 yang terdiri dari 190.770.329 pemilih dalam negeri dan 2.058.191 pemilih luar negeri. Jumlah pemilih perempuan paling banyak dibandingkan dengan jumlah pemilih laki-laki.
Untuk pemilih dalam negeri saja pemilih perempuan sebanyak 95.401.580 orang sedangkan jumlah pemilih perempuan yang ada di luar negeri sebanyak 1.155.464 orang. Namun jumlah anggota DPD perempuan nyaris tak pernah memenuhi kuota 30%.
Sejumlah aktivis perempuan pernah mengkampanyekan #women vote women untuk mendorong agar perempuan yang duduk di kursi parlemen lebih banyak. Namun dalam praktiknya jumlah pemilih yang hampir setara dengan laki-laki tersebut tidak menjamin akan memberikan dukungan suara bagi perempuan. Sejumlah daerah bahkan diketahui memiliki nol anggota DPD perempuan.
Widi mengatakan korelasi antara keterwakilan perempuan dalam DPD RI dan jumlah pemilih perempuan dapat diartikan dalam dua arah. Pertama, ketika keterwakilan perempuan meningkat, ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi pemilih perempuan lainnya untuk berpartisipasi dan memberikan suara mereka dalam pemilihan. Keterwakilan yang kuat dapat menjadi contoh bagi perempuan di seluruh Indonesia dan mendorong mereka untuk terlibat secara aktif dalam proses politik.
Di sisi lain, partisipasi pemilih perempuan yang tinggi juga dapat berdampak positif pada keterwakilan perempuan. Ketika jumlah pemilih perempuan meningkat, partai politik dan calon lebih cenderung mempertimbangkan isu-isu perempuan dan mencalonkan lebih banyak perempuan untuk kursi DPD RI. Pemilih perempuan yang aktif dapat menjadi kekuatan yang mendorong partai politik untuk memberikan perhatian lebih pada representasi gender.
“Namun, dalam konteks pemilihan kursi DPD RI periode 2019-2024 jumlah pemilih tidak menjadi jaminan atas jumlah kursi yang akan terpilih. Belum tentu pemilih perempuan akan memilih perempuan. Tapi penting untuk diingat juga bahwa tidak semua pemilih perempuan enggan memilih calon perempuan dalam pemilu. Banyak pemilih perempuan yang aktif mendukung calon perempuan dan menganggap penting untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik,” katanya.
Berdasarkan komposisi di atas juga dapat dilihat Provinsi yang tidak memiliki senator perempuan diantaranya Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku Utara dan Papua Barat. Padahal bila dilihat dari komposisi Daftar Pemilih Tetap (DPT) provinsi tersebut memiliki jumlah pemilih perempuan yang signifikan.
Di Bali, misalnya, jumlah pemilih perempuan sebanyak 1,56 juta dari 3.130.288 DPT. Mereka tersebar di 716 kelurahan dengan 12.384 TPS. Sementara di Aceh, dari DPT sebanyak 3.523.774 orang, sekitar 1,79 juta ialah perempuan. Di provinsi ini tercatat ada 6.497 kelurahan dengan 15.610 TPS. Serta Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Bangka Belitung berjumlah 932.569. Di provinsi ini tercatat ada 391 kelurahan dengan 3.800 TPS. Jumlah pemilih laki-laki dan perempuan masing-masing 475 ribu dan 456 ribu.
Sumatera Selatan pada periode 2019-2024, menjadi satu-satunya provinsi dengan senator perempuan. Padahal bila dilihat dari jumlah DPT di Sumatera Selatan, jumlah pemilih dalam pemilu lebih banyak laki-laki.
Mereka adalah Hj. Eva Susanti, SE memperolehan suara tertinggi sebanyak 344.143, kemudian Amaliah dengan membawa dukungan suara terbanyak kedua 342.098. Jialyka Maharani, senator termuda asal Sumatera Selatan yang berusia 22 tahun dengan perolehan suara 337.954.
Serta Arniza Nilawati memiliki latar belakang sebagai dosen yang sudah mengajar lebih dari 30 tahun. Akademisi di Universitas Muhammadiyah Palembang ini berhasil mendulang suara sebanyak 298.189 suara.
Ada pula Provinsi Maluku dengan tiga senatornya adalah perempuan. Yakni Mirati Dewaningsih, adalah anggota DPD Provinsi Maluku peringkat nomor wahid dengan perolehan suara sebanyak 128.193. Kemudian, Anna Latuconsina terpilih kembali sebagai senator wakil Provinsi Maluku tahun 2014- 2019, setelah sebelumnya tahun 2009 – 2014 dia juga terpilih sebagai wakil Provinsi Maluku. Anna meraih suara 119.091.
Serta Novita Anakotta, senator wakil Provinsi Maluku periode tahun 2014-2019 setelah berhasil mendapatkan suara sebesar 62.501 suara, dan terpilih kembali menjadi Anggota DPD RI periode 2019-2024 dengan perolehan suara 85.862.
Tidak sedikit pula untuk periode pemilihan 2019-2024, beberapa provinsi berhasil mendudukan dua orang senator perempuan. Seperti Riau, Jambi, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo.
Widi mengatakan, ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab mengapa sebagian pemilih perempuan enggan memilih calon perempuan dalam pemilu. Seperti masih adanya stereotip gender yang melibatkan peran-peran tradisional, dimana beberapa orang mungkin meragukan kemampuan calon perempuan untuk memenuhi tuntutan kepemimpinan yang sering kali dianggap sebagai wilayah laki-laki.
“Ini dipengaruhi kultur patriarki, di beberapa masyarakat, terdapat kultur politik yang masih didominasi oleh laki-laki, yang dapat menghambat partisipasi perempuan dalam politik. Ini menciptakan kesulitan bagi calon perempuan untuk membangun basis dukungan dan meraih kepercayaan pemilih perempuan.
Selain itu, kata Widi, pemilih perempuan mungkin lebih tertarik dengan isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kebijakan sosial yang secara umum terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka.
“Jika calon perempuan tidak dianggap mampu atau fokus pada isu-isu tersebut, pemilih perempuan mungkin lebih memilih calon laki-laki yang dianggap memiliki pengalaman atau komitmen yang lebih besar terhadap isu-isu tersebut,” katanya.
Sedangkan faktor-faktor penghambat lain dapat berupa ketidakadilan sosial, tekanan keluarga atau masyarakat, pengalaman negatif dengan calon perempuan sebelumnya, atau ketidaktahuan tentang calon perempuan yang berpotensi mampu juga dapat mempengaruhi pemilih perempuan dalam memilih calon perempuan.
Widi mengatakan dalam menghadapi pemilihan berikutnya, pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk mendorong partisipasi pemilih perempuan yang lebih aktif dan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam DPD RI.
Kampanye kesadaran, pendidikan politik, dan dukungan lebih lanjut bagi calon perempuan dapat menjadi langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki keterwakilan perempuan dan meningkatkan partisipasi pemilih perempuan.
“Untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan demokratis, keterwakilan perempuan dan partisipasi pemilih perempuan adalah dua aspek penting yang harus diperhatikan secara serius. Dengan mendorong partisipasi pemilih perempuan yang lebih besar dan keterwakilan perempuan yang lebih kuat dalam lembaga legislatif seperti DPD RI, Indonesia dapat menuju arah yang lebih baik dalam mencapai kesetaraan gender dan menciptakan kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan,” pungkas Widi.
*) Tulisan ini sudah tayang lebih dahulu di Data Talk Asia dengan judul Melihat Hubungan Keterwakilan Perempuan dan Jumlah Pemilih Perempuan pada Pemilihan Kursi DPD RI di Indonesia Periode 2019-2024