Home » Data » Tiga Periode Pemilihan, Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi

Tiga Periode Pemilihan, Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi

Betty Herlina

Data, Politik

Afirmasi politik perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi

Bincangperempuan.com-  “Saya tidak ada misi atau isu khusus terkait perempuan, duduk di DPRD saya hanya ingin membuktikan bahwa perempuan juga mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam hal politik,” kata Mega Sulastri, anggota DPRD Provinsi Bengkulu dari Partai Golongan Karya (Golkar) saat dikonfirmasi, Rabu (28/12).  

Ini periode kedua bagi Mega duduk di DPRD Provinsi Bengkulu dengan daerah pemilih Bengkulu 7 atau Kabupaten Seluma. Pemilu 2019 lalu Mega berhasil mengkantongi suara 4.752. Sebelumnya periode 2014-2019, Mega dilantik menggantikan Salehan yang memutuskan berhenti karena ikut Pilkada Kabupaten Seluma. Saat itu rekapitulasi suara Mega berada diurutan ke-2 terbesar untuk Partai Golkar.

Awal bergabung di Partai Golkar, Mega mengaku mendapatkan tawaran langsung dari partai, katanya sebagai representasi perempuan di Kabupaten Seluma. 

“Ditawari bergabung tahun 2014, untuk mewakili srikandi-srikandi yang ada di Seluma. Semuanya difasilitasi Partai Golkar termasuk soal pemahaman dan pendidikan politiknya. Untuk mendulang suara saya melakukan pendekatan kekeluargaan, melalui ibu-ibu majelis taklim dan lainnya,” paparnya. 

Mega tidak berkomentar banyak soal apa itu affirmative action, menurutnya dengan adanya affirmative action, keharusan caleg perempuan 30 persen, memberikan peluang dan kesempatan yang cukup besar pada perempuan.

“Sebelum ada affirmative action memang sedikit perempuan yang muncul, dengan adanya affirmative action, partisipasi perempuan semakin tinggi karena memang diberi ruang untuk kuota perempuannya,” katanya.  

Lain pula Ria Oktarina, anak mantan Bupati Bengkulu Selatan, Reskan Efendi ini sudah 2 periode duduk di DPRD Provinsi Bengkulu dari dapil Bengkulu 6 atau Bengkulu Selatan dan Kaur. Menggunakan perahu yang sama,  yakni partai besutan Oesman Sapta Odang, Hanura.  Periode pertama Ria mendulang suara cukup tertinggi di dapilnya 14. 363 suara. Sedangkan periode ke dua hanya 8.320 suara. 

Awal bergabung dengan Hanura, Ria mengaku dihubungi partai untuk mengisi keterwakilan 30 persen perempuan. 

“Saat itu saya menyatakan untuk maju dalam pemilu dan pada akhirnya mereka (partai, red) menghubungi saya untuk menjadikan saya sebagai calon tetap dalam pemilu,” katanya. 

Pencalonan tersebut mengharuskan Ria mengikuti program pembekalan caleg perempuan dari Partai Hanura. Untuk mendulang suara, ia memilih turun langsung  menemui konstituen menyampaikan, melihat dan merespon hal-hal yang dikeluhkan.  Tak hanya kelompok perempuan, Ria juga menyasar pemuda dan lansia. 

Berhasil duduk di DPRD Provinsi, Ria mengaku sudah memiliki misi khusus. Yakni, mengupayakan sebanyakan mungkin anggaran pemerintah pro gender. Seperti anggaran pertanian yang diprioritaskan untuk Kelompok Wanita Tani (KWT). 

“Termasuk anggaran di bidang kesehatan yang diperuntukan untuk ibu dan anak, reproduksi perempuan, KB kesehatan mental dan lainnya. Begitu juga dengan Balai Latihan Kerja (BLK), diupayakan agar bisa mengakomodir kegiatan untuk peserta perempuan seperti tata boga, fashion, jahit, kecantikan. Sebanyak mungkin anggaran harus menyentuh kebutuhan perempuan,” paparnya. 

Menurut Ria, kebijakan affirmative action, sudah cukup proporsional dengan penempatan perempuan terhadap komposisi caleg harus ada 30 persen.  Sayangnya kebijakan tersebut belum  dimanfaatkan secara maksimal oleh perempuan. 

“Sebab dalam prakteknya peluang yang ada hanya dijadikan sebagai syarat saja bukan karena keinginan yang kuat dari kelompok perempuan. Contohnya di beberapa kabupaten sendiri minim sekali keterwakilan perempuan bahkan nol sama sekali salah satunya di Bengkulu Selatan sendiri,” tegas Ria. 

Lalu ada lagi cerita dari Erna Sari Dewi. Mantan presenter salah satu televisi lokal milik pemerintah di Kota Bengkulu tersebut mengawali karirnya di dunia politik lewat ormas Nasional Demokrat (Nasdem), medio tahun 2011.  Hingga ketika Nasdem deklarasi menjadi partai, Erna didapuk sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW). 

Kali pertama menjadi anggota DPRD, ia memulai di tingkat Kota Bengkulu. Sebagai kader sejati Nasdem,  Erna berhasil menjadi Ketua DPRD perempuan pertama di Kota Bengkulu periode 2014-2019. Hingga  akhirnya periode 2019-2024 Erna maju sebagai anggota DPRD Provinsi dapil 1, Kota Bengkulu dengan mengkantongi suara 10.434. Erna pun duduk sebagai salah satu unsur pimpinan di DPRD Provinsi Bengkulu saat ini. 

“Untuk mendapatkan dukungan, saya sudah melakukan pembinaan dari segala bidang, bukan hanya untuk mendulang suara tetapi hati nurani saya sebagai putra daerah memang ingin membantu masyarakat Bengkulu. Mulai dari memberikan bantuan bibit, membagikan buku agama sarta alquran ke masjid. Termasuk dukungan pendidikan bagi usia sekolah dasar. Saat ini saya juga didapuk sebagai Ketua Pengprov Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI), ini sebagai bentuk dukungan saya dibidang olahraga,” kata Erna. 

Duduk di DPRD, Erna berupaya untuk menempatkan dan meningkatkan serta memberikan peran yang luas terhadap perempuan parlemen dengan mengambil bagian di setiap alat kelengkapan dewan. Diantaranya Pimpinan Dewan, Badan anggaran, Bampeperda, Banmus, komisi.  

“Serta membuat perda  yang merupakan pemikiran bersama organisasi-organisasi perempuan yang ada di Bengkulu untuk melindungi hak-hak perempuan,” katanya. 

Erna menilai affirmative action dalam sistematika politik harus dilaksanakan lebih masif, karena menurutnya setiap manusia wajib memiliki kesempatan yang sama terlepas dari ras dan gender. 

“Pemberlakuan affirmative action sudah cukup baik dilaksanakan akan tetapi masih banyak hal yg dapat dioptimalisasikan, berbicara di Provinsi Bengkulu saja saya yakin  ada banyak wanita- wanita berkualitas yang dapat mencalonkan dirinya akan tetapi tidak mencalonkan dirinya, saya rasa juga kuota 30 persen yang ditujukan untuk calon wanita masih terlalu sedikit dan bisa ditingkatkan lagi,” paparnya. 

Sedikit berbeda dengan Sefty Yuslinah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Alumni Fisip Unib tersebut memulai karir politiknya dari Partai Keadilan (PK). Saat itu Sefty yang menjadi kepala sekolah Taman Kanak-kanak Auladuna diminta partai untuk mengisi kuota perempuan sebagai anggota DPRD Provinsi dapil Kota Bengkulu. Sefty diletakkan di nomor urut 3. 

“Awalnya memang diminta, dan saya ikut saya kebijakan partai. Posisi saya nomor urut 3, bukan nomor jadi.  Namun saat  keluar kebijakan suara  terbanyak yang duduk, nah saya menang,” kata Sefty yang sudah 3 periode menjadi anggota DPRD Provinsi. 

Untuk mendulang suara Sefty menyasar kelompok perempuan dan mengisi majelis taklim. Duduk di DPRD Provinsi, Sefty mengaku sudah memiliki misi khusus. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPPAP2KB) menjadi sasaran kerja Sefty. 

“Usai dilantik, Dinas PPPAP2KB dulu yang saya lihat, karena isunya perempuan, kita dorong agar anggaran dinasnya diperbesar setiap tahun, supaya bisa memberikan manfaat banyak bagi perempuan di Bengkulu,” terangnya. 

Perkara affirmative action, Sefty mengatakan PKS memberikan ruang pada kader perempuan untuk berkiprah di parlemen. Ia tidak menapik, dunia politik yang didominasi maskulin mengharuskan perempuan memiliki efford lebih untuk mendapatkan pengakuan. 

“Pencalonan pertama saya ikut saja, namun pencalonan kedua dan ketiga hati saya berharap saya ada dinomor jadi, saya harus menang, karena saya merasakan saya layak, namun saya tidak bisa mengatakan itu pada partai, meskipun akhirnya saya ada diposisi nomor urut 1,” katanya. 

Kondisi lain, lanjut Sefty, di dunia politik tidak jarang perempuan dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang berat. 

“Seperti untuk pencalonan periode 2024 mendatang, saya melihat partai memberikan ruang pada kader perempuan untuk naik jenjang dan berada di nomor namun belum tepat menganalisa apakah kader perempuan tersebut sudah sanggup. Saya sudah minta berulang kali agar incument perempuan yang baru 1 periode menjabat jangan dipindahkan dulu dapilnya,” keluh Sefty. 

Mega, Ria, Erna dan Sefty ada potret wakil rakyat yang saat ini duduk di DPRD Provinsi Bengkulu. Kisah mereka, sedikit banyak mewakili cerita 3 anggota DPRD perempuan lainnya. Meski tak sepenuhnya mirip, namun kisah tersebut jamak terjadi, di Provinsi Bengkulu. 

Jumlah Aleg perempuan terus berkurang 

Upaya pemerintah mendorong keterwakilan perempuan di parlemen sudah dimulai sejak disahkannya  UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Affirmative action di Indonesia menjadi populer seiring dengan disahkan Undang-undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dimana pada pasal 8 ayat 1 poin d berbunyi “menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. 

Hal ini diperkuat dengan UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam pasal 3 ayat 5 dinyatakan “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 

“Secara garis besar dua aturan tersebut menjadi perintah, tentang penetapan keterwakilan perempuan minimum 30 persen dari seluruh calon anggota DPR dan DPRD,” kata Komisioner KPU Provinsi Bengkulu, Irna Riza Yuliastuty. 

Hanya saja menurut Irna, affimative action yang ada saat ini baru sekadar aturan dengan sudut pandang yang berbeda. Makna memperhatikan keterwakilan perempuan bagi sebagian orang tidak menjadi keharusan adanya kehadiran perempuan di tahap akhir  proses pemilu. Meskipun dalam kepengurusan dan pencalonan diharuskan minimal 30 persen keterwakilan perempuan tapi kenyataan hasil terpilih anggota legislatif perempuan yang terpilih tidak mencapai persentase minimal itu. 

“Perlu ada polical will atas kebijakan di internal partai untuk lebih mendorong kader perempuannya bisa duduk sebagai anggota legislatif,” kata Irna. 

Secara umum lanjut Irna, partisipasi perempuan dalam proses pencalegkan di Provinsi Bengkulu mengalami perubahan yang signifikan setelah adanya kebijakan affimative action.  Namun dari hasil perempuan yang duduk, sebaliknya mengalami penurunan. Merujuk data KPU, pada pemilu periode 2009-2014 keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi awalnya hanya 8 kursi dipertengahan periode jabatan menjadi 9 setelah ada PAW antara Basri Muhamad dari Partai Persatuan Daerah (PPD) yang mundur karena mencalonkan diri sebagai Walikota Bengkulu. Proses PAW tersebut menambah jumlah kursi perempuan di DPRD Provinsi menjadi 9 kursi dengan masuknya Lenny Rafflesia. 

Sementara pemilihan umum periode 2014-2019 keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Bengkulu awalnya hanya 7 kursi, kemudian menjadi 8 kursi setelah ada PAW Salehan yang mundur karena mencalonkan diri sebagai calon Bupati, digantikan dengan Mega Lestari.  

Hal yang sama juga terjadi pada hasil pemilihan umum periode 2019-2024, dari ….caleg perempuan, hanya 7 kandidat yang berhasil duduk di DPRD Provinsi Bengkulu.  Beberapa nama yang terpilih merupakan incumbent periode sebelumnya. Seperti Srie Rezeki, S.H dari PDIP dan Mega Sulastri dari Partai Golkar, keduanya berasal dari dapil Seluma. Kemudian,  Sefty Yuslinah, S.Sos dari PKS asal dapil Kota Bengkulu. Serta Ria Oktarina, S.Sos., M.Si dari Partai Hanura asal dapil Bengkulu Selatan dan Kaur. 

Sedangkan Erna Sari Dewi yang menjadi salah satu unsur pimpinan di DPRD Provinsi Bengkulu, pada periode sebelumnya diketahui merupakan Ketua DPRD Kota Bengkulu dari Partai Nasdem. 

Dua wajah baru yang menghiasi DPRD Provinsi yakni Zulasmi Oktarina dari Partai Nasdem dapil Rejang Lebong  dan Lebong, dan Marlensi asal PDIP dengan dapil Bengkulu Utara. 

“Seperti yang saya sampaikan tadi,  keterbukan demokrasi dan sudah adanya tuntutan keharusan mememenuhi minimal keterwakilan perempuan menjadikan kandidat perempuan banyak bermunculan. Sayangnya yang berhasil duduk hanya itu-itu saja. Hasil akhir pemilu belum sepenuhnya 30 persen,” lanjut Irna. .

KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, kata Irna memiliki peran mendorong realisasi affirmative action. Secara khusus KPU tidak menyelenggarakan pelatihan atau sosialisi pada partai, namun KPU melakukan kerjasama dengan organisasi-organisasi yang memberikan ruang peningkatan kapasitas sebagai caleg perempuan. 

“KPU fokus pada sosialiasi regulasi 30 persen kuota perempuan itu, jadi KPU kemudian mengisi sebagai narasumber di kegiatan khusus untuk caleg perempuan,” katanya singkat. 

Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Bengkulu, Samsu Amana mengatakan, sesuai amanat UU, pemenuhan kuota 30 persen perempuan menjadi hal wajib bagi Partai Golkar.  Affirmative Action ini tidak hanya dalam proses pencalegkan saja namun juga dalam struktur kepengurusan di Golkar saat ini sudah lebih dari 30 persen. 

“Perempuan yang berpotensi memiliki pendidikan yang bagus dan konsisten dengan partai pasti akan mendapatkan dukungan,” katanya. 

Di internal PKS, lanjut Sujono, affirmative action bukan sekadar formalitas. Caleg perempuan atau laki-laki memiliki kedudukan yang setara, yang membedakan hanyalah kapasitas dan kapabilitas. 

“Yang penting kualitas untuk apa laki-laki kalau tidak memiliki kualitas. Di beberapa dapil PKS memberikan nomor urut prioritas untuk caleg perempuan berdasarkan kajian dan keaktifan di partai. Termasuk untuk kader perempuan cabutan, dengan catatan dia memiliki kemampuan komunikasi yang baik, basis massa, artinya ketokohan. Namun perkara siapa yang duduk silakan pemilih yang menentukan,” paparnya. 

Pabrikasi Caleg di organisasi sayap parpol 

Organisasi sayap partai politik memiliki peran besar sebagai “pabrik” untuk menghasilkan caleg perempuan. Seperti Partai Golkar. Sekretaris DPD Partai Golkar, Samsu Amana mengatakan Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) menjadi tempat untuk memberikan pendidikan politik secara intensif pada kader perempuan Golkar, sehingga Golkar tidak kesulitan menjaring caleg perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen. 

“Meskipun untuk periode ini Aleg perempuan kita hanya duduk satu di DPRD Provinsi, karena untuk siapa yang duduk hasil pemilu yang menentukan. Proses penyusunan nomor urut Caleg tidak melihat gender, namun berdasarkan kapasitas,” katanya. 

Serupa dengan Partai Nasdem, Sekretaris DPW Nasdem Provinsi Bengkulu, Erna Sari Dewi mengatakan partai besutan Surya Paloh tersebut memiliki sistem pengkaderan dan pendidikan politik bagi kader perempuan melalui Garda Wanita Malahayati, dikenal dengan Garnita Malahayati Nasdem. Tujuannya merestorasi semua hal-hal yang bisa meningkatkan kontribusi perempuan dalam bidang politik. 

“Mekanisme perekrutan bacaleg perempuan sama dengan perekrutan bacaleg laki-laki. Kami selektif dalam memilih bacaleg tidak hanya dari segi kualitas sumber daya manusia saja, tapi juga dari behavior, smart, memiliki personality dan track record yang baik. Serta harus sesuai dengan visi dan misi partai,” paparnya.  

Sedikit berbeda dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meskipun secara struktur, PKS memiliki Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga yang bersifat otonom untuk mempersiapkan caleg perempuan, namun Ketua DPW PKS Provinsi Bengkulu, Sujono SP, mengaku masih kesulitan menjaring caleg perempuan. Pasalnya tidak semua tokoh perempuan mau menjadi caleg.  

“Hanya sedikit yang mau, kesadaran ini yang perlu dibangun. Sering memperjuangkan hak perempuan tapi tidak dibarengi dengan pendidikan politik akhirnya yang duduk di parlemen sedikit. Bukan kesalahan pemilih, sebaliknya di PKS perempuan akan didahulukan,”paparnya. 

Diperlukan keseriusan parpol 

Belum terepresentasinya Aleg perempuan 30 persen di DPRD Provinsi Bengkulu, dikatakan akademisi Universitas Bengkulu, Wahyu Widiastuti akibat masih kurangnya keseriusan partai politik untuk menjadikan perempuan sebagai caleg. Kondisi ini juga dipengaruhi dengan penilaian masyarakat Bengkulu terhadap politik itu sendiri.  

“Di Bengkulu, orang melihat politik sebagai sesuatu yang buruk dan maskulin sehingga perempuan yang mau kesana akan ditakutkan dengan stigma. Belum lagi jam kerja di legislatif terkadang sampai malam akibat harus rapat, itu membuat perempuan tidak nyaman, apalagi perempuan yang punya beban di rumah,” kata Widi yang saat ini merupakan kandidat program doktoral di University Malaysia Terengganu (UMT). 

Serupa disampaikan peneliti senior dalam bidang gender dan pembangunan, Titiek Kartika Hendrastiti, realisasi affirmative action oleh partai politik lebih sekadar pada memenuhi 30 persen, sehingga parpol tidak semprit KPU.  Alias terpaksa harus memenuhi syarat. 

Parpol sendiri, lanjutnya tidak benar-benar serius karena enggan menggandeng perempuan-perempuan yang memiliki kompetensi namun terkendala finansial. 

“Karena perempuan yang pinter biasanya dianggap ngeribetin atau bikin susah partai. Sehingga peluang yang ada kalau bukan diberikan pada keluarga ya diberikan pada yang punya uang. Kadang ada kader yang dikalahkan oleh uang. Yang terjadi di Bengkulu ya begitu, yang punya uang atau kerabat,” katanya. 

Widi mengatakan, dalam dunia politik, perempuan yang benar-benar dari akar rumput dan memiliki kapasitas namun terganjal kemampuan finansial akan habis ketika bertarung. 

“Di Bengkulu money politik masih memegang peranan yang sangat penting. Orang tidak mikir isunya apa, bagus atau tidak, sara atau tidak orang peduli, termasuk pintar atau tidak. Karena pemilih yang pragmatis dan pondasi aleg yang tidak kuat akhirnya realisasi affirmative action jauh dari 30 persen di Bengkulu,” terangnya.  

Akibatnya, lanjut Widi, masyarakat bahkan pemilih perempuan sendiri tidak lagi mementingkan untuk penting yang duduk itu perempuan. Karena Aleg yang minim kapasitas tidak berusaha mengubah image ketika duduk di parlemen. 

“Kita kan jadi antipati. Ngapain milih perempuan orang dia kayak gitu. Belum lagi komunikasi setelah duduk juga kurang. Idealnya ketika terpilih mulai berjejaring, ikuti pelatihan jangan hanya bimtek pada soal teknis, namun belajar apa isu yang ada di komisi,” katanya. 

Kultur patriaki yang mengakar di Indonesia lanjut Widi juga memberikan pengaruh besar. Perempuan menjadi bersyarat dalam hal apapun. 

“Boleh begini asal urusan rumah sudah selesai. Itukan namanya bersyarat. Akibatnya yang masuk ke partai politik tidak semua karena keinginan pribadi. Bisa karena suami sudah tidak bisa mencalon lagi, faktor kekerabatan, jadi seperti family bisnis, belum tentu ingin. Akhirnya blm tentu punya kapasitas, sistem kaderisasi di parpol juga sangat buruk, mau pemilu baru cari orang,  caleg tidak ada yang pengalaman karena hasil produksi last minute,” paparnya. 

Titiek menambahkan, perlu adanya instrumen hukum yang mengikat agar affirmative action bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Titiek mencontohkan negara Skandinavia, dimana masyarakat akan menjadi malu ketika anggota parlemen yang terpilih tidak merepresntasikan affirmative action. 

“Karena masyarakat sudah mengerti apa manfaatnya. Jadi harus ada desakan. Secara substansi di Bengkulu belum, tidak merepresentasikan kepentingan perempuan, karena parpol bekerja untuk kekuasaan, bukan untuk konstituen. Harusnya perempuan yang masuk harus bisa mewakili perempuan, ada visi dan misi yang jelas,”pungkas Titiek.

Tulisan serupa sudah tayang di Jaring.id dengan judul Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Belum Maksimal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

glass ceiling

Perempuan dan Fenomena Glass Ceiling di Dunia Kerja  

Rendahnya partisipasi politik perempuan

Rendahnya Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, Solusi Datang dari Keluarga

Keterwakilan perempuan dalam politik

Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Faktor Penyebabnya

Leave a Comment