Bincangperempuan.com– Negara di kawasan Eropa mulai menerapkan hak pilih bagi perempuan dimulai dari Finlandia, yang menerapkan hak pilih universal. Setahun kemudian, perempuan di negara yang dijuluki seribu danau tersebut mulai menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum setelah memperoleh otonomi dari Kekaisaran Rusia.
Setelah melewati abad ke-20, perempuan di Eropa dan di seluruh dunia berjuang keras dan lama untuk mendapatkan hak memilih tanpa adanya persyaratan tambahan apapun. Di Belgia, upaya yang dilakukan menuju emansipasi elektoral termasuk memberlakukan aturan hingga tahun 1921, di mana hanya para janda yang diperbolehkan memilih dalam pemilu. Di Bulgaria, hak memilih diberikan kepada ibu dari anak sah dan hanya untuk pemilihan lokal. Di Portugal, hanya perempuan yang memiliki gelar sarjana yang diperbolehkan memilih pada tahun 1931.
Berbeda halnya dengan Spanyol, perempuan baru bisa mendapatkan hak pilihnya setelah demokratisasi di Perancis dan pemilu tahun 1976, yang awalnya diperoleh pada tahun 1931 tepat sebelum perang saudara terjadi. Bergeser ke negara Siprus dimana pada tahun 1960, perempuan dapat memiliki hak untuk memilih saat dibentuknya menjadi negara Republik.
Baca juga: Rendahnya Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Faktor Penyebabnya
Hambatan perempuan dalam politik
Rangkaian fakta historis ini mengungkapkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan dalam politik sudah mengakar berabad-abad. Undang-undang mengenai hak untuk memilih dan mencalonkan diri dalam pemilu telah mencapai akses yang setara antara perempuan dan laki-laki. Tetapi, partisipasi mereka dalam kehidupan politik masih ditandai dengan perbedaan-perbedaan dan hambatan-hambatan besar yang bagi perempuan yakini tidak dapat dibenarkan.
Masih banyak perempuan yang kurang terwakili di panggung politik, padahal jumlah perempuan jauh lebih banyak dari separuh populasi di kawasan Eropa. Hambatan finansial dan struktural menambah kesulitan lainnya. Tidak hanya itu saja, dalam kampanye politik, seringkali perempuan menghadapi tantangan yang tidak proporsional, dalam segi finansial maupun komitmen waktu.
Hal ini juga berpengaruh pada pengasuhan yang tidak dibayar dan tanggung jawab rumah tangga menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan. Terbatasnya akses terhadap pendanaan dan pola donasi berdasarkan gender menjadi sebuah tantangan besar yang membatasi perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan politik.
Berdasarkan data, representasi perempuan di parlemen di seluruh Eropa dan Asia Tengah mencapai 26,1%, dan tertinggal dari rata-rata global 26,5%. Akan tetapi, data ini bukan hanya sekedar angka melainkan dapat menjadi petunjuk tentang potensi masa depan yang dibentuk oleh pilihan masyarakat.
Platform Equal Future, yang telah meneliti evolusi partisipasi perempuan dalam politik dan pemerintahan sejak tahun 1995, mengintegrasikan data historis dan faktor kontekstual seperti kuota untuk mengeksplorasi berbagai skenario dan mengidentifikasi tren yang muncul. Apa yang akan terjadi ya BPer’s, jika tren di masa lalu atau saat ini terus berlanjut? Data tersebut menunjukkan bahwa kawasan ini tidak mungkin mencapai kesetaraan gender di parlemen pada tahun 2030.
Negara-negara Balkan Barat dan Turki memiliki 26,1 persen kursi parlemen yang diduduki perempuan, sedangkan di Kaukasus Selatan dan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka angkanya 25,4 persen. Di Asia Tengah, angkanya sedikit lebih tinggi, yaitu 27,4 persen. Namun, tren terbaru menunjukkan bahwa kemajuan di sub-kawasan ini kemungkinan akan melambat, dengan proyeksi hanya mencapai 28-36,7 persen keterwakilan perempuan.
Baca juga: Wujudkan Pemilu 2024 yang Inklusif dengan Keterlibatan Suara Politik Perempuan
Meskipun beberapa negara telah mencapai hasil yang menggembirakan, terutama setelah menerapkan kuota gender, berbagai hambatan masih menghambat kemajuan. Serangan balik terhadap hak-hak perempuan, hambatan struktural seperti tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan anak, dan meningkatnya kekerasan daring, semua berkontribusi pada stagnasi ini.
Disisi lain, Albania, Moldova, dan Uzbekistan menunjukkan contoh keberhasilan yang didorong oleh kombinasi langkah-langkah legislatif dan perubahan sosial. Penerapan kuota 30 persen di Albania, bersama dengan aturan penempatan, menghasilkan peningkatan signifikan dalam representasi perempuan di berbagai bidang, termasuk parlemen, peradilan, dan administrasi publik.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kemajuan ini tidak merata di seluruh Eropa. Masih banyak negara yang tertinggal dalam hal partisipasi politik perempuan, dan diperlukan upaya yang berkelanjutan untuk mengatasi norma-norma sosial yang menghambat kemajuan.Penerapan undang-undang dan kuota saja tidak cukup.
Diperlukan langkah-langkah yang lebih luas untuk mengubah norma-norma sosial dan menghilangkan hambatan struktural untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati dalam partisipasi politik di seluruh Eropa.
Sumber:
- UNDP Team, 2024, “A tapestry of progress and challenges: Women’s political participation in Europe and Central Asia”, dalam UNDP
- Stefanie Buzmaniuk, 2024, “2024, a European political year – through the eyes of women”, dalam Foundation Robert Schuman Website