Home » News » Konten Kreator, Rentan Jadi Korban, Mau Lapor Takut Percuma

Konten Kreator, Rentan Jadi Korban, Mau Lapor Takut Percuma

Arya Nur Prianugraha

Data, News

Di belantara ruang digital, konten kreator rentan terhadap Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Mereka kerap dikirimi konten porno, diajak video call seks, hingga berhubungan intim.

Tulisan ini bersifat eksplisit, beberapa bagian dapat menimbulkan trauma dan ketidaknyamanan pembaca.

Bincangperempuan.com– Ara merebahkan badannya ke kasur usai melewati aktivitas harian yang melelahkan. Ia bersiap-siap untuk tidur. Namun sebelum matanya benar-benar terpejam, perempuan 19 tahun itu mengambil ponselnya, sejenak berselancar di media sosial.

Seseorang ingin mengirim pesan kepada Anda,” sebuah notifikasi Instagram muncul di layar gawainya. 

Ia mulanya tak acuh. Berselang hitungan detik notifikasi yang sama kembali muncul. “Saya penasaran dong,” kata Ara. Waktu saat itu sudah hampir tengah malam, sekitar pukul 23.00 WITA. Ara pun menerima permintaan pesan tersebut. 

Ada beberapa pesan yang masuk. “Halo cantik,” “Lagi apa cantik.” Pada pesan terakhir, pengirim mengirim sebuah tautan.

“Dikira link apa, berita apa, pas dibuka. Wahh.” Ara syok, “Isi (link itu) video yang vulgar,” imbuh Ara.

Kayak video adegan dewasa, cewek dan cowok. Berhubungan seksual memang,” lanjutnya.

Malam itu menjadi malam yang tak biasa bagi Ara. Harapannya memperbaiki mood sebelum tidur usai melewati hari yang melelahkan jauh panggang dari api.

Sejak saat itu, pesan bernuansa seksual tanpa konsen kerap ia terima. Bentuknya macam-macam, ada yang berbentuk teks seperti “Halo cantik, main yuk,” ada pula audio, foto, dan video. Modusnya biasanya dikirim dengan pesan langsung sekali lihat.

“Paling saya ingat video, yang kalau Direct Message (pesan langsung) sekali lihat, tidak bisa diputar ulang. Itu paling parah, karena betul-betul mainin punyanya (alat kelamin,red) sambil navideo,” tutur Ara.

Tak sebatas itu. Awal tahun 2024, Ara kembali menerima pesan bernada jorok. Namun modusnya kali ini berbeda. Terbilang baru, kata Ara. Ia bahkan tak habis pikir ada seseorang dengan tabiat jahat melakukan hal seniat itu padanya.

Di profil Instagramnya, Ara menyertakan nomor WhatsApp admin. Orang yang ingin mengajaknya bekerja sama bisa mengontaknya lewat nomor itu. WhatsApp itu ia kelola sendiri di gawainya yang lain. 

Suatu hari, nomor tidak dikenal menelepon. Ara tak mengangkatnya. Namun telepon dari nomor yang sama terus masuk, “Sampai saya penasaran, pas diangkat. Agh alat kelamin,” orang itu menelepon dengan panggilan video. Seorang laki-laki.

“Langsung saya matikan.” 

“Langsung saya tinggal hp ku,” ucap Ara. 

Ara bukan nama sebenarnya. Ia konten kreator muda, kini berumur 22 tahun. Tergolong macro influencer, dengan pengikut antara 50.000 hingga 1 juta. 

Baca juga: Asam Manis, Jadi Jurnalis Perempuan di Bengkulu

Korban dan pelaku bisa siapa saja

Yuda, bukan nama sebenarnya, mengalami hal serupa dengan Ara. Ia seorang konten kreator yang juga berprofesi sebagai penegak hukum. Laki-laki 23 tahun itu tak menyangka, statusnya yang kini tergolong macro influencer membawa bala.

Ceritanya bermula saat ia mulai aktif membuat konten di media sosial pada awal tahun 2020.

“Kontennya edukasi tentang pekerjaanku. Ada juga random, seperti video jalan- jalan. Terus foto-foto pakai pakaian kerjaku lalu dibuat jedag-jedug,” kata Yuda.

Tiga bulan konsisten membuat konten, pengikutnya meroket. Ia mulai sering mendapat komentar dan pesan dari orang tak dikenalnya ada yang sekadar menyapa, mengajak berkenalan, ada pula yang mengirim foto tanpa diminta. Suatu hal yang mulanya dia anggap sebagai sebuah pencapaian.

Lama kelamaan, ia menyadari ada hal yang tak bisa dia kontrol. Siapa saja bisa berkomentar dan mengirim pesan apa saja padanya. Akhir 2020, Yuda menerima pesan dengan fitur sekali lihat di Instagram dari perempuan yang sebelumnya telah menyanjungnya. Isinya, seorang perempuan yang menampakkan payudara.

Yuda membatin.

“Saya berpikir saya dilecehkan,” katanya singkat.

Namun dia juga tak begitu kaget. Tapi tak pula memaklumi.

“Bukan mewajarkan. Tapi kupikir, mungkin itu konsekuensinya ketika terlalu aktif bermedia sosial,” kata Yuda.

Setelah itu, ia terus menerima pesan serupa. Bukan lagi sekadar ajakan berkenalan atau menyanjung. Ada yang mengirim foto kelaminnya tanpa konsen, mengajak panggilan video seks, hingga meminta foto kelamin dirinya. 

“Permintaan pesan itu (jumlahnya) tidak di bawah 10.000 mungkin,” akunya. Sembari menunjukkan pesan-pesan dimaksud. 

Para pengirim pesan yang melecehkan Yuda, selain usianya beragam juga dari laki-laki dan perempuan. Di antara mereka, tidak ada yang dikenalinya. Namun sejumlah di antaranya ada mengaku bisa mengidentifikasinya sebagai orang Makassar dan Sulawesi Selatan.

Pernah sekali, di penghujung tahun 2021, ia mengunggah fotonya saat berpose di kolam renang. Setelannya celana pendek dan bertelanjang dada. Belum lama diunggah ke Instagram, interaksi konten itu ‘meledak’. 

“Nah di situ banyak yang chat dan kirim fotonya . Ada yang malah kirim foto alat vital. Lalu chat “bisa dong bang, lihatin itunya.” Ada juga yang bilang, “anunya (kelaminnya) menghadap ke arah jam sekian.”

“Makanya waktu itu belum lima jam (diunggah) saya hapus. Saya mulai sadar di situ, jelek (ada yang salah) ini. Padahal awalnya saya berpikir tidak apa-apa kalau sesekali,” ucapnya.

Baca juga: Dayah Diniyah Darussalam: Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh 

Lapor, takut percuma

Ara dan Yuda paham apa yang menimpa mereka sebuah pelecehan. Dua influencer muda tersebut bahkan pernah berpikir untuk melapor. 

“Saya pernah berpikir laporkan dan semacamnya,” kata Yuda.

Ara pun demikian. “Sadar sekali (itu pelecehan). Bahkan sempat berpikir (laporkan,red), gemas sekali ya Allah.”

Namun niat itu urung karena takut percuma.

Jika ingin melapor polisi, ia melihat sejumlah kasus hanya berakhir menggantung. Dia ragu dengan institusi negara itu.

“Kulihat beberapa kasus yang lebih besar dari itu bisa ter skip (terlewati, red), hanya di situ lalu tenggelam,” ucap Ara.

Meski punya pengikut ratusan ribu, ia sadar itu tak akan berpengaruh banyak untuk menyelesaikan kasus KBGO. 

“Makanya kayak, masa urus berkas kiri kanan, mana lagi kalau melapor lama, buang-buang waktu sekali. Jangan sampai itu diutamakan yang diurus, tapi di ujung, di akhir (aparat hukum, red) tidak bisa,” keluhnya.

Di sisi lain, Yuda yang juga berprofesi sebagai penegak hukum membuat persoalannya menjadi kompleks. Sebagai abdi negara, ia mengaku takutan melapor.

“Masa kau penegak hukum, terus kau sendiri yang mengalami itu,” kata Yuda, menerka anggapan orang sekitarnya jika melapor. 

“Istilahnya nanti saya yang disalahkan, karena saya terlalu aktif di media sosial. Karena ada yang biasanya bilang, “itu konsekuensi kau aktif di media sosial.” Saya sering dengar kata-kata begitu. Jadi bukan dinormalisasi, tapi ada kekhawatiran lain. Yang mungkin kondisinya lebih buruk jika itu kulakukan,” tuturnya.

Apalagi, kata Yuda, ia seorang laki-laki. Di masyarakat, sulit mempercayai laki-laki sebagai korban pelecehan seksual.

“Orang-orang pikirnya kan laki-laki umumnya selalu jadi pelaku,” ujarnya.

Niatnya melapor, lebur dengan pikiran komentar yang mungkin dia dapat.

Seperti, “dia juga pasti suka (saat dilecehkan.” Hal yang biasa saya dengar, “jelek ini perempuannya makanya dia lapor,” atau “ Ini perempuan tidak menarik makanya dia laporkan.”

“Jadi saya berpikir seperti itu, karena sering sekali dapat komentar begitu.”

Ia pernah mencoba perjuangkan haknya dapat ruang aman di media sosial. Dia bersuara melalui konten, tapi alih-alih mendapat dukungan, interaksi kontennya tak sebanyak biasanya, dukungan pun tak ada.

“Makanya saya berpikir, kalau masalah ini saya angkat, kecurigaanku makin banyak yang serang saya daripada yang bela.”

Kasus KBGO di Kepolisian

Jika melihat data kasus KBGO yang dicatat Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Polrestabes Makassar, jumlahnya terbilang sedikit. Sejak 2022 hingga 2024 tiap tahunnya tidak sampai 15 kasus. 

Tahun ini, per 27 juni 2024, hanya ada satu kasus. Padahal kasus kekerasan seksual dengan kategori lain, merujuk data Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polrestabes Makassar di periode yang sama ada 86 kasus.

Total 27 kasus KBGO sejak 2022, di antaranya tidak ada konten kreator atau influencer yang melapor. Kepala Unit Tipidter Polrestabes Makassar, AKP Hamka mengatakan, itu terjadi karena mereka malu.

“Belum pernah ada. Malu-malu kayanya. Apa lagi tidak bagaimanaji (parah,red) toh. Apalagi bukan anunya (tubuhnya) dia diumbar. Tapi barangnya (tubuhnya) orang yang dikirim ke dia,” kata Kepala Unit Tipidter Polrestabes Makassar, AKP Hamka.

Meski begitu, ia mengakui tindakan seperti mengirim pesan bernuansa seksual tanpa konsen merupakan pelecehan seksual. Tapi itu menurutnya masuk ranah pornografi, bukan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“Pelecehan juga itu. Iya pelecehan, mengarah ke pornografi. Kalau dilihat lebih condong ke pornografi,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Makassar, Muslimin Abdullah mengatakan, KBGO masih kadang dilihat bukan sebagai pelecehan seksual. Padahal dampaknya terhadap korban juga bisa sama dengan kontak fisik langsung.

Menurutnya ada sejumlah hal yang memengaruhi korban KBGO tak melapor. Pertama, korban tidak punya perspektif, kedua dukungan sosial. Misalnya pemahaman orang di sekitar yang harusnya memberi dukungan ke korban.

“Beda ketika saya dipukul, orang bilang kau harus melapor. Tapi kalau saya dibully, foto saya disebarkan orang, belum tentu suruh saya melapor, karena dia tidak paham bahwa ada hak kita untuk dilindungi,” jelasnya.

Terakhir, kata dia, layanan. Apakah layanan untuk melapor tersedia. Melapor, bukan hanya soal laporan hukum kata Muslimin. Di UPTD PPA misalnya, ia bilang aspek pertama yang darurat dipulihkan terlebih dulu ada korbannya. 

Jika dibawa ke ranah hukum, tantangannya akan beda lagi. Muslimin mengatakan perspektif Aparat Penegak Hukum (APH) masih jadi tantangan. Padahal menurutnya, kepercayaan masyarakat pada instansi yang akan ia percayakan untuk kasusnya adalah modal utama penanganan pelecehan seksual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan, Jangan Pernah Takut Gagal

Artificial Intelligence dan Ancaman Pornografi di Ruang Digital

Lebih dari Sekedar Finansial, Alasan Gen Z Menunda Pernikahan

Leave a Comment