Home » News » Perempuan Penyandang Disabilitas: Menuju Inklusi Sosial

Perempuan Penyandang Disabilitas: Menuju Inklusi Sosial

Aqila Shafiqa

News

Perempuan Penyandang Disabilitas Menuju Inklusi Sosial

Bincangperempuan.com– Perempuan penyandang disabilitas di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks dan sering kali berlapis. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 mencatat bahwa dari 14,2 juta penyandang disabilitas di Indonesia, 7,1 juta di antaranya adalah perempuan. Meskipun memiliki potensi yang sama dengan perempuan lainnya, mereka masih mengalami hambatan signifikan dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan partisipasi sosial.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas seharusnya memberikan perlindungan, namun implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak perempuan penyandang disabilitas masih terpinggirkan, baik dari segi aksesibilitas fisik maupun dalam peluang berkontribusi di masyarakat. Minimnya kesadaran publik tentang pentingnya inklusivitas dan hak-hak perempuan penyandang disabilitas memperparah diskriminasi yang mereka hadapi setiap hari.

Kekerasan dan diskriminasi: ancaman yang nyata

Kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas di Indonesia masih menjadi masalah serius yang minim perhatian. Keterbatasan fisik, intelektual, dan komunikasi membuat mereka lebih rentan menjadi korban, sementara perlindungan yang tersedia sering tidak memadai.

Salah satu contoh adalah kasus di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, di mana Musliyah, perempuan 30 tahun dengan disabilitas fisik dan intelektual, menjadi korban kekerasan seksual dan baru menyadari kehamilannya setelah enam bulan. Di Sulawesi Tengah, seorang gadis dengan disabilitas intelektual diduga dilecehkan oleh seorang pria berusia 70 tahun. Di Bantul, Yogyakarta, pada 2020, seorang perempuan tunarungu menjadi korban kekerasan seksual, namun proses hukumnya terhambat akibat keterbatasan komunikasi.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas menghadapi risiko yang jauh lebih besar dalam kekerasan seksual. Mereka tidak hanya berhadapan dengan diskriminasi berbasis gender, tetapi juga kerentanan fisik dan intelektual. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kesadaran publik, perbaikan kebijakan hukum yang lebih inklusif, dan infrastruktur yang lebih ramah disabilitas agar mereka mendapat perlindungan yang layak.

Laporan dari Komnas Perempuan dan Human Rights Watch (HRW) menunjukkan bahwa perempuan disabilitas lebih rentan terhadap kekerasan domestik dan pelecehan seksual, baik di rumah, tempat kerja, maupun ruang publik.

Selain itu, perempuan penyandang disabilitas sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka sendiri, sehingga memperburuk ketidakadilan yang mereka alami. Stigma sosial yang menganggap mereka sebagai ‘beban’ memperkuat diskriminasi dan menambah kesulitan yang dihadapi.

Dalam konteks ini, perspektif feminisme interseksional sangat penting untuk memahami pengalaman perempuan dengan disabilitas. Mereka tidak hanya menghadapi penindasan karena gender, tetapi juga disabilitas, yang menciptakan tantangan unik. Pendekatan ini mempertimbangkan bagaimana identitas sosial seperti gender, disabilitas, dan kelas sosial saling berinteraksi dan mempengaruhi pengalaman diskriminasi mereka.

Baca juga: Semangat Perempuan Disabilitas, Potret Tangguh di Masa Pandemi Covid-19

Diskriminasi ganda dan stigma sosial

Perempuan penyandang disabilitas di Indonesia menghadapi diskriminasi ganda karena identitas mereka. Hal ini menciptakan hambatan besar dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan, serta membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan. Keterbatasan fisik atau komunikasi sering menjadi penghalang untuk mendapatkan akses yang setara.

Menurut World Health Organization (WHO), perempuan penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan dan pengabaian. Stigma gender dalam masyarakat yang masih menganggap perempuan sebagai pihak lemah semakin memperburuk ketidakadilan yang mereka hadapi. UN Women menyebutkan bahwa stigma gender memainkan peran penting dalam marginalisasi perempuan penyandang disabilitas.

Perempuan penyandang disabilitas sering mengalami keterbatasan akses terhadap layanan hukum, kesehatan, dan perlindungan sosial. Banyak dari mereka kesulitan mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka karena kurangnya infrastruktur yang ramah disabilitas dan minimnya pelatihan bagi penyedia layanan. Laporan Human Rights Watch (HRW) menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas kerap terpinggirkan dalam sistem perlindungan sosial, yang berdampak pada kesejahteraan mereka.

Pentingnya konsep feminisme interseksional

Intersectional Feminism adalah pendekatan yang diperkenalkan oleh Kimberle Crenshaw pada tahun 1989 yang menyoroti pentingnya memahami interaksi dari berbagai identitas sosial, seperti gender, ras, kelas, dan disabilitas dalam konteks pengalaman diskriminasi. Crenshaw berpendapat bahwa diskriminasi yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas bukan hanya diakibatkan oleh satu faktor tunggal, tetapi merupakan hasil dari interaksi kompleks berbagai sistem penindasan yang saling terkait.

Konsep intersectional feminism memiliki relevansi yang kuat karena menggambarkan bagaimana identitas gender, disabilitas, dan kelas sosial saling berinteraksi untuk memperburuk pengalaman diskriminasi yang mereka hadapi. Perempuan dengan disabilitas sering kali terjebak dalam stigmatisasi ganda yang disebabkan oleh kedua identitas ini. Di satu sisi, identitas gender mereka dapat menyebabkan mereka dipandang sebagai individu yang kurang kuat secara sosial.

Sementara, di sisi lain, identitas disabilitas membuat mereka lebih terasing dari masyarakat. Selain itu, perempuan penyandang disabilitas juga sering kali menghadapi tantangan ekonomi yang serius. Akses yang terbatas terhadap pekerjaan dan pendidikan yang inklusif hanya memperburuk situasi mereka yang membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi dan diskriminasi. Kombinasi dari berbagai faktor ini menciptakan realitas yang kompleks dan menantang bagi perempuan dengan disabilitas yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan.

Teori gender dan disabilitas berfungsi untuk menjelaskan bagaimana perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi yang berakar pada gender dan kemampuan mereka. Dalam konteks masyarakat patriarki, perempuan dengan disabilitas sering kali mengalami marginalisasi dan dianggap sebagai individu yang lebih lemah dan tidak berdaya. Hal ini mengakibatkan hak-hak mereka sering kali diabaikan atau dipersempit.

Selain itu, stigma yang melekat pada disabilitas membuat mereka terisolasi dari lingkungan sosial. Banyak dari mereka yang mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan ekonomi terutama karena infrastruktur yang tidak ramah terhadap kebutuhan mereka. Gabungan dari kedua jenis diskriminasi ini menciptakan tantangan yang signifikan bagi perempuan penyandang disabilitas, yang menghalangi mereka dalam meraih hak dan kesempatan yang setara.

Baca juga: Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Mahira, Sekolah Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu

Tantangan structural intersectionality

Perempuan penyandang disabilitas sering menghadapi tantangan besar dalam berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan ekonomi. Keterbatasan fisik dan hambatan komunikasi menjadi penghalang utama, diperparah oleh sistem sosial yang kurang inklusif.

Akses ke fasilitas umum, seperti transportasi, perumahan, dan infrastruktur yang ramah disabilitas, sering kali sulit dijangkau. Kondisi ini menyebabkan mereka terpinggirkan dan menghadapi ketidakadilan yang sistemik.

Selain itu, kebijakan dan undang-undang yang bertujuan meningkatkan kesetaraan gender seringkali mengabaikan perspektif perempuan penyandang disabilitas. Mereka kerap tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka, sehingga tidak mendapatkan perlindungan yang layak atas hak-hak dasar mereka.

Inklusi suara perempuan disabilitas dalam setiap pembuatan kebijakan sangat penting untuk memastikan kebutuhan mereka terakomodasi secara adil.

Dalam media massa dan budaya populer, perempuan dengan disabilitas jarang mendapatkan representasi yang adil dan positif. Gambaran yang tidak akurat ini memperkuat stereotipe negatif dan memperburuk stigma terhadap mereka. Kesadaran dan representasi yang lebih baik diperlukan agar perempuan penyandang disabilitas diakui serta dihargai di masyarakat.

Pendekatan interseksional diberagam lini

Untuk mengatasi beragam polemik yang masih dihadapi perempuan disabilitas, pemerintah dan pembuat kebijakan perlu mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan disabilitas agar akses ke layanan publik, pendidikan, dan kesempatan kerja menjadi lebih inklusif. Kebijakan publik harus mengakomodasi kebutuhan perempuan penyandang disabilitas dengan mempertimbangkan identitas ganda mereka.

Selain itu dalam proses penegakan hukum perlu menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas, seperti juru bahasa isyarat, pendamping disabilitas, dan layanan khusus bagi perempuan penyandang disabilitas. Sehingga hak-hak mereka dapat dilindungi selama proses hukum.

Pelatihan bagi aparat penegak hukum mengenai diskriminasi ganda yang dialami perempuan dengan disabilitas sangat penting. Edukasi masyarakat tentang inklusivitas dan hak-hak disabilitas juga dapat membantu mengurangi stigma dan diskriminasi.

Penguatan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sangat dibutuhkan agar lebih responsif terhadap isu gender dan disabilitas. Implementasi undang-undang ini harus diperkuat dan diawasi agar memberikan perlindungan nyata dan keadilan bagi perempuan penyandang disabilitas.

Dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan, memperkuat perlindungan hukum, serta meningkatkan edukasi publik, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan penyandang disabilitas di Indonesia. Bersama, kita dapat menghapus stigma dan diskriminasi, serta memastikan setiap perempuan, tanpa terkecuali, menikmati hak-haknya secara penuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Polemik PP 282024Apa Benar Mempromosikan Seks Bebas

Polemik PP 28/2024: Apakah Benar Memicu Kepanikan Moral?

Sejarah Gerakan Feminisme di Indonesia

Sejarah Gerakan Feminisme di Indonesia

Mengenal KOALA, Ojek Online Khusus Perempuan di Kota Serambi Mekkah

Leave a Comment