Bincangperempuan.com– Setahun lalu, seorang remaja putri berusia 16 tahun bunuh diri setelah foto-foto dirinya tanpa busana, yang diduga diambil oleh mantan pacarnya, disebarkan di media sosial.
Remaja dari Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, itu merasa “malu” setelah foto-foto tersebut disebarkan ke teman-teman sekolahnya, kata polisi.
Kasus ini terjadi lebih dari dua tahun setelah Indonesia memperkenalkan undang-undang penting yang bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan: Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual No. 12 tahun 2022.Undang-undang ini memiliki cakupan yang luas, mulai dari catcalling, kekerasan seksual di ruang digital, pemerkosaan dan eksploitasi seksual; dari pemerkosaan dalam pernikahan (untuk memperkuat Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004) hingga kekerasan seksual yang dilakukan oleh korporasi.
Di antaranya, undang-undang tersebut menetapkan sembilan jenis pelecehan seksual, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan di ruang digital.Tingkat kekerasan berbasis gender di ranah digital telah meningkat secara signifikan sejak COVID melanda, karena pandemi meningkatkan ketergantungan pada komunikasi daring. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 940 laporan pada tahun 2020, meningkat hampir 400 persen dari tahun 2019.
Pelecehan yang dialami oleh korban remaja di Nusa Tenggara Timur, yaitu penyebaran gambar seksual tanpa persetujuan, merupakan salah satu bentuk pelecehan berbasis gender online yang umum terjadi. Tindakan ini sering kali disebut sebagai ‘pornografi balas dendam’ dan mayoritas korbannya adalah perempuan, yang dilakukan oleh laki-laki.
Kekerasan semacam ini terus meningkat 70 persen kekerasan berbasis gender online melibatkan gambar, menurut Association of Women for Action and Research (AWARE).
Biasanya, dalam kasus seperti ini, korban dan pelaku memiliki hubungan personal, seperti pernah berpacaran atau menikah. Pelaku sering kali mendistribusikan, atau mengancam untuk mendistribusikan, konten intim yang diambil tanpa persetujuan korban, yang dihasilkan selama masa hubungan tersebut.
Terkadang, pelaku menggunakan gambar ‘deep fake‘ – di mana gambar buatan didapat dari korban. Bentuk pelecehan seksual berbasis gambar ini juga dapat digunakan untuk memeras korban.Pelecehan seksual berbasis gambar juga dapat terjadi ketika korban dan pelaku tidak memiliki hubungan pribadi, seperti gambar yang diambil tanpa sepengetahuan korban (“up-skirting”).
Penyebaran gambar-gambar intim tanpa persetujuan dapat menyebabkan trauma psikologis dan tekanan emosional yang luar biasa bagi korban.
Salah satu kasus yang mengilustrasikan kejahatan ini, yang dipublikasikan oleh Konde, mengisahkan seorang wanita berusia awal 20-an yang mengalami pelecehan melalui aplikasi WhatsApp dan pesan singkat di telepon pintarnya, disertai dengan ancaman untuk menyebarkan gambar-gambarnya yang diambil di tempat tidur. “Situasi ini membuatnya merasa terhina dan tidak berdaya,” demikian laporan tersebut.
Pelecehan seksual berbasis gambar memiliki “kekuatan destruktif yang besar… karena ancaman ini dapat dikirim secara langsung… dan dapat dilakukan kapan saja”. Korban merasa malu dan kehilangan kendali “karena sulitnya menghapus sebuah konten dari internet jika sudah disebarkan.”
Korban juga dapat mengalami kesulitan keuangan dan pengucilan sosial seperti isolasi dan ‘social rupture ‘.
Mereka memutuskan hubungan dengan keluarga dan teman-teman mereka, menarik diri dari media sosial dan masyarakat. Pemutusan komunikasi ini kemudian mempengaruhi kehidupan profesional korban. Mereka sering mengalami hambatan untuk kembali bekerja yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kesejahteraan finansial mereka.
Secara sosial, korban seringkali menderita karena merasa malu, atau takut orang lain, keluarga, atau pasangan barunya akan mengenali foto atau videonya ketika tersebar. Akibatnya, korban terkadang membatasi interaksinya dengan orang lain, semakin mengisolasi dirinya sendiri di saat ia membutuhkan dukungan.
Dalam kasus yang dijelaskan di Konde, korban mencari bantuan dari orang-orang terdekat dan penyedia layanan. Namun, tidak semua korban dapat mengakses bantuan ini. Remaja di Nusa Tenggara Timur adalah salah satu contoh bagaimana pelecehan ini berpotensi mematikan.
Demikian pula, seorang perempuan di Mesir bunuh diri setelah suaminya mengancam akan menyebarkan video dirinya tanpa busana kecuali ia melepaskan haknya atas uang dan perabotan rumah tangga dalam perceraian mereka.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan langkah maju yang krusial. Kehadirannya menjadi titik penting perlawanan terhadap kekerasan seksual berbasis digital di Indonesia. Beberapa regulasi terkait konten digital dan kekerasan seksual, misalnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Perlindungan Data Pribadi, masih belum mengakomodir perlindungan bagi korban kekerasan seksual berbasis digital.
Ketika UU ITE diterapkan untuk kasus kekerasan seksual berbasis digital, apalagi jika digabungkan dengan UU Pornografi dan Pornoaksi, maka korban akan mengalami kriminalisasi karena dianggap turut membuat dan menyebarkannya. Namun, UU ini tidak cukup jauh dalam menciptakan mekanisme untuk benar-benar meminta pertanggungjawaban pelaku
Masih terdapat tantangan lain yang perlu dihadapi. Banyak anggota kepolisian yang masih beranggapan bahwa kekerasan seksual harus melibatkan aksi fisik. Keterampilan digital juga sangat diperlukan untuk melacak pelaku di dunia maya. Selain itu, koordinasi antara pihak kepolisian dan platform media sosial, serta mesin pencari dalam menyediakan bukti, seringkali tidak berjalan dengan baik. Terdapat potensi konflik antara penyedia platform dan pengelola mesin pencari terkait masalah privasi.
Selain itu, belum ada mekanisme yang jelas untuk memberlakukan perintah penahanan terhadap pelaku. Dalam kasus penguntitan digital atau “revenge porn”, muncul pertanyaan penting mengenai bagaimana kita dapat memastikan bahwa pelaku tidak berusaha mengakses akun media sosial korban. Seorang hakim di Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, melarang seorang pria mengakses internet selama delapan tahun. Hukuman tersebut menimbulkan pertanyaan tentang penegakan hukum yang tepat. Bagaimana pihak berwenang dapat memastikan dia tidak akan mengakses internet selama waktu yang ditentukan? Pada akhirnya, pria tersebut dan pengacaranya berhasil mendapatkan pembatalan hukuman di tingkat banding.
Pelaku penyalahgunaan berbasis gambar juga sulit ditangkap karena banyak yang membagikan gambar secara anonim. Terutama dengan “deep fakes”, penegak hukum dan jaksa penuntut mungkin tidak dapat mengaitkan gambar-gambar yang tidak sesuai dengan si pembuatnya. Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara, tanggung jawab seringkali dibebankan kepada korban untuk menunjukkan bukti pembuatan atau atribusi konten.
Korban kekerasan gender yang terjadi secara daring memerlukan dukungan dari keluarga dan komunitas, bukan justru disalahkan. Beberapa korban kekerasan seksual digital merasa takut akan stigma akibat tampil dalam konten yang bersifat vulgar, hal ini dapat memengaruhi keinginan mereka untuk melaporkan kejahatan tersebut atau mencari bantuan.
Penting bagi pemerintah Indonesia untuk membangun mekanisme pelaporan yang lebih bersahabat bagi korban dan tidak menyalahkan mereka. Masyarakat juga perlu diberikan edukasi agar tidak menyebarkan kembali konten digital yang mengandung unsur kekerasan seksual.
Para pembuat undang-undang dan pembuat kebijakan dapat berupaya memperkenalkan konsep ‘hak untuk dilupakan’, yaitu suatu mekanisme untuk menghapus konten intim yang disebarkan tanpa persetujuan, berdasarkan permohonan dari korban. Mereka juga dapat memberlakukan peraturan yang memungkinkan korban untuk mengajukan permohonan perintah penahanan terhadap pelaku, serta mencegah pelaku untuk melakukan penguntitan atau tindak kekerasan berulang terhadap korban.
*) Penulis merupakan adalah dosen dan peneliti di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dia telah mengembangkan klinik hukum perempuan dan anak di Universitas Indonesia.
*) Artikel ini direpublikasi dari 360info.org dengan versi Bahasa Inggris “Laws haven’t kept up with online revenge porn”