Home » News » Petani Sawit Perempuan Jadi Pelopor Pertanian Ramah Lingkungan

Petani Sawit Perempuan Jadi Pelopor Pertanian Ramah Lingkungan

Dedi Supriansyah

News

Petani Sawit Perempuan Jadi Pelopor Pertanian Ramah Lingkungan

Bincangperempuan.com– Hamsiah dan Netti, dua petani sawit perempuan di dua Kabupaten, Tebo dan Tanjung Jabung Barat, Jambi, membuktikan bahwa pertanian ramah lingkungan bisa berjalan seiring dengan produktivitas. Bersama petani lainnya, mereka mulai menerapkan Pertanian Regeneratif (RA), sebuah pendekatan yang mengutamakan kesehatan tanah dan pemanfaatan sumber daya lokal.

Hamsiah, petani dari Desa Melako Intan, menekankan pentingnya memanfaatkan limbah perkebunan dan rumah tangga.

Hamsiah (33) menunjukkan hasil dari pembelajaran dalam proses pemanfaatan limbah rimah tangga. (Foto: Dedi Supriansyah)

“Limbah seperti jangkos, kohe, dan limbah dapur seperti biojus bisa jadi pupuk. Kalau selama ini limbah jeruk banyak dibuang, kenapa tidak dimanfaatkan? Dengan begini, kita bisa kurangi pupuk kimia yang mahal dan susah didapat,” ujarnya.

Baca juga: Petani Perempuan Karisma, Bangun Gerakkan Pertanian Berkelanjutan

Hal yang sama juga dilakukan Netti, anggota kelompok petani sawit swadaya di FPS MRM,Kecamatan Merlung, Tanjung Jabung Barat. Ia telah merasakan manfaat nyata setelah setahun menerapkan metode RA.

“Saya pakai pupuk dari kotoran sapi dan urin. Selain sawit, saya tanam sayuran dan pohon gaharu di kebun. Kata orang, sawit tidak bisa ditanami tanaman lain, tapi ternyata bisa asalkan tanahnya subur dengan pupuk organik,” cerita Netti.

Naryato (45) sedang memberi pakan ternak berupa salah satu tanaman yang ada di sekitar kandang. (Foto: Dedi Supriansyah)

Proses pembuatan biojus, salah satu pupuk organik yang digunakan Hamsiah dan Netti, cukup sederhana. Limbah buah dan sayur dicampur molase, lalu didiamkan dalam botol selama tiga bulan. Hasilnya adalah pupuk cair yang kaya nutrisi untuk menyuburkan tanah.

Detil foto permentasi kotoran hewan yang akan di jadikan pupuk organik. (Foto: Dedi Supriansyah)

Parwoto, pelatih lokal di Rimbo Ulu, juga mendukung upaya ini dengan membandingkan demplot dua hektar sawit yang menggunakan tangkos (limbah sawit) dengan pupuk kimia.

“Hasilnya sama baiknya, bahkan potensi peningkatan produksi ada. Tapi, cara penggunaannya harus benar, jangan ditumpuk terlalu dekat dengan pohon karena bisa jadi sarang hama,” jelasnya.

Baca juga: Konflik HGU dan Suara Perempuan Petani di Bengkulu

Pendekatan RA ini tidak hanya meningkatkan produktivitas kebun sawit, tetapi juga memberdayakan petani perempuan untuk berkontribusi lebih besar. Dengan pemanfaatan bahan organik, mereka membantu mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, menjaga lingkungan, sekaligus meningkatkan keberlanjutan ekonomi keluarga.

“Praktik ini mengubah cara pandang petani. Dulu, kalau tidak pakai pupuk kimia dianggap tidak ‘mupuk.’ Sekarang, pupuk organik justru meningkatkan hasil panen, dan itu membanggakan,” tutup Hamsiah, optimistis bahwa perubahan ini akan membawa dampak besar bagi komunitasnya.

Pengaplikasian hasil fermentasi kotoran hewan oleh petani
Pengaplikasian hasil permentasi kotoran hewan oleh petani. (Foto: Dedi Supriansyah)

Pembuatan biojus juga menjadi salah satu praktik yang diterapkan oleh petani. Biojus dibuat dari campuran limbah rumah tangga seperti buah, sayuran, dan molase (tetes tebu).

“Antusias petani dengan adanya praktek pembuatan biojus, karena pembuatan pupuk ini berada di dapur mereka ada molase, dibuat dari gula merah dan gula pasir dicampurkan air. Bahan lainnya merupakan limbah dari rumah tangga,” ungkap Koordinator lapangan Setara Jambi, Abu Amar.

Pengaplikasian hasil permentasi kotoran hewan oleh petani. (Foto: Dedi Supriansyah)

Ditambahkan Abu Amar praktik RA ini mengajak petani untuk berpikir secara lebih holistik dalam memanfaatkan sumber daya di sekitar mereka, mengurangi penggunaan bahan kimia, dan lebih memanfaatkan pupuk organik yang ada. Totalnya ada sekitar 200 orang petani di Tebo yang sudah mendapatkan pelatihan praktik RA dan 40 orang diantaranya adalah petani perempuan.

“Sebenar praktik RA ini mengajak pengurangan atau peralihan petani swadaya dalam penggunanan bahan kimia yang tidak tepat dan besar-besaran, penggunaan pupuk sembarangan tidak tepat dosis, dimana harga pupuk kimia relatif mahal, susah mendapatkan,nya, kenapa tidak memanfaatkan pupuk yang ada di sekelilingnya kita. RA ini mengajak petani berpikir mengurangi penggunaan bahan kimia, dan memanfaatkan pupuk organik yang ada di sekitar mereka. Petani berpikir tidak mupuk kalau tidak kimia. Kalau pupuk organik dimanfaatkan baik oleh petani pasti produksinya akan meningkat,” paparnya.

Sebagai upaya menuju pertanian yang lebih berkelanjutan, pembuatan biojus menjadi salah satu langkah awal. Prosesnya sederhana, di mana bahan-bahan seperti buah/sayuran limbah rumah tangga dan molase dicampurkan dalam botol plastik, lalu digoncangkan selama tujuh hari.

Pengaplikasian hasil permentasi kotoran hewan oleh petani. (Foto: Dedi Supriansyah)

Setelah tiga bulan, biojus tersebut akan menjadi pupuk organik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Pertanian regeneratif di Kabupaten Tebo, Jambi, menjadi model yang diadopsi dan direplikasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat di dua organisasi petani sawit swadaya yang bersertifikasi RSPO yaitu, APBML dan FPS MRM.

Di demplot percontohan di APBML yang menerapkan pemupukan menggunakan tangkos secara penuh, hasil produksi cenderung sebanding dengan penggunaan pupuk kimia. Bahkan, ada potensi peningkatan produksi yang mungkin akan setara dengan hasil kebun yang menggunakan pupuk kimia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Inisiatif Perempuan

Artikel Lainnya

Bumi & Anak Ciptakan Harmoni dan Gali Potensi dalam Perjalanan Tumbuh Kembang Anak

Bumi & Anak: Ciptakan Harmoni dan Gali Potensi dalam Perjalanan Tumbuh Kembang Anak

WomenUnlimited, Saatnya Mengakhiri #Malepanel

Etika penulisan media untuk kasus kekerasan seksual

Ethic Awareness dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual 

Leave a Comment