Home » News » Softboy Simbol Maskulinitas Baru Atau Trik Manipulasi Semata? 

Softboy Simbol Maskulinitas Baru Atau Trik Manipulasi Semata? 

Ais Fahira

News

Softboy Simbol Maskulinitas Baru Atau Trik Manipulasi Semata 

Bincangperempuan.com- Pernah mendengar istilah softboy? Istilah ini belakangan marak digunakan di media sosial dan budaya pop, dan kerap disandingkan sebagai lawan dari badboy atau f***boy. Jika badboy identik dengan karakter lelaki pemberontak yang terlihat maskulin dengan cara tradisional, dan f***boy dikenal sebagai sosok manipulatif yang bermain-main dengan perasaan, softboy muncul sebagai simbol laki-laki modern yang lebih lembut, sensitif, dan peka. Cara mereka berpakaian mereka juga secara stereotip diasosiasikan dengan sifat feminin. Berbagai sumber mengatakan softboy cenderung berpakaian dengan pilihan warna-warna pastel, mengenakan kardigan, beanny hat, bahkan sampai mengecat kuku mereka.

Dalam masyarakat yang perlahan meninggalkan maskulinitas tradisional, softboy sering dirayakan sebagai perwujudan maskulinitas baru yang tidak takut menunjukkan sisi emosionalnya. Awalnya, softboy memiliki arti positif, merujuk pada laki-laki yang sensitif, emosional, dan tidak terikat pada maskulinitas tradisional. Namun, seiring waktu, istilah ini mulai diasosiasikan dengan tipe laki-laki yang berpura-pura lembut atau introspektif untuk mendapatkan perhatian atau keuntungan emosional, terutama dalam konteks romantis.

Sejarah Populernya Kata Softboy

Melansir dari Buzz Feed News, istilah softboy mulai populer di kalangan anak muda terutama pada tahun 2019 terutama di media sosial seperti TikTok, yang memperkenalkan gaya berpakaian khas, seperti pastel, sweater, dan aksesori feminin. Gaya ini banyak dipengaruhi oleh tren K-pop, di mana para idol boyband sering mengenakan busana dan gaya rambut yang lebih halus dan lembut, yang berbeda dengan maskulinitas tradisional yang keras dan agresif. Misalnya, grup K-pop seperti EXO dan SHINee memperkenalkan estetika softboy lewat video klip mereka, yang membantu mendorong penerimaan gaya ini di kalangan penggemar, khususnya di kalangan laki-laki cisgender yang ingin mengeksplorasi penampilan yang lebih feminim tanpa mengancam identitas gender mereka.

Baca juga: “Needy”, Ketergantungan Emosional yang Katanya Menguji Cinta 

Softboy dalam Budaya Populer

Masih ingat dengan drama Korea Nevertheless? Drama ini memperkenalkan karakter Park Jae-eon, seorang lelaki yang menunjukkan sifat lembut dan perhatian, tetapi sebenarnya dia menggunakan persona tersebut hanya untuk memikat Yu Na-Bi dan menghindari komitmen. Karakter ini memperlihatkan sisi manipulatif dari softboy, di mana ia menyembunyikan niat aslinya di balik perhatian palsu dan gestur lembut yang romantis. Nevertheless menjadi salah satu contoh bagaimana budaya pop mengangkat sisi gelap softboy sebagai trik manipulasi yang membungkus hubungan tanpa ikatan emosional yang nyata.

Namun, tidak semua representasi softboy di budaya populer bernuansa negatif. Seperti dalam film-film Studio Ghibli, misalnya, softboy sering digambarkan sebagai pria sejati yang penuh empati, pengertian, dan setia. Contoh yang kuat adalah karakter Jirou Horikoshi dari The Wind Rises, yang mencintai istrinya dengan tulus meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan hidup. Cinta Jirou mencerminkan karakter seorang pria lembut yang berani menunjukkan kerentanannya, sebuah keberanian yang jarang terlihat dalam maskulinitas tradisional.

Karakter lain yang menggambarkan softboy dalam sudut pandang positif adalah Ashitaka dari Princess Mononoke. Dia lembut dan penuh kasih sayang, tetapi tetap berprinsip kuat dalam memperjuangkan apa yang benar. Kelembutannya tidak membuatnya terlihat lemah, melainkan menunjukkan bahwa empati dan keberanian bisa berjalan beriringan.

Representasi softboy dalam budaya populer mencerminkan beragam interpretasi maskulinitas modern. Di satu sisi, softboy bisa menjadi alat manipulasi yang berbahaya dalam hubungan emosional. Namun, di sisi lain, karakter seperti Jirou dan Ashitaka mengingatkan bahwa maskulinitas baru ini juga bisa menjadi simbol kedewasaan emosional yang sejati.

Baca juga: Perempuan Pembela HAM: Kerja Pro Bono Hingga Dicemooh 

Apakah softboy hanya stereotip baru yang rentan dimanfaatkan, atau justru arah yang baik untuk melampaui maskulinitas toksik?

Fenomena hadirnya softboy di satu sisi mewujudkan pria yang emosional dan lembut yang menolak stereotip maskulinitas tradisional, yang agresif dan keras. Hal ini sejalan dengan upaya untuk mendekonstruksi maskulinitas yang beracun dengan menunjukkan bahwa laki-laki, yang menyerupai ekspresi gender seperti perempuan, dapat mengekspresikan emosi mereka tanpa rasa malu. Dalam konteks ini, softboy mempromosikan jenis maskulinitas yang lebih berbelas kasih dan ekspresif secara emosional, yang berkontribusi pada pergeseran budaya menuju kesetaraan gender di mana norma-norma gender tradisional dipertanyakan dan didekonstruksi.

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa softboy hanyalah bentuk manipulasi lain, yang sering digunakan untuk memikat dan membingungkan orang lain, khususnya dalam dunia kencan. Stereotip ‘woke f**kboy’ dan serigala berbulu domba menunjukkan bahwa softboy mungkin berpura-pura peka dan memiliki kedalaman emosi untuk mendapatkan keuntungan dalam hubungan, tanpa niat yang tulus atau komitmen emosional.

Pada sebuah artikel dari Happy Mag, dijelaskan bahwa tampilan fisik atau penampilan luar softboy seperti mengenakan cat kuku atau kardigan tidak menjamin seseorang terbebas dari perilaku toksik. Jadi meskipun seorang laki-laki mengadopsi penampilan atau sifat yang lembut atau lebih feminin, bukan berarti secara otomatis menjadi lebih baik atau lebih empatik dalam hubungan romantis. Softboy, yang sering dikaitkan dengan ciri-ciri seperti kelembutan, perhatian, di satu sisi bisa saja menjadi sarana untuk manipulasi jika digunakan secara tidak jujur.

Penampilan atau gaya hidup seseorang tidak seharusnya digunakan sebagai indikator perilaku atau nilai-nilai yang lebih dalam. Seorang laki-laki l yang mengenakan pakaian yang lebih feminim atau menampilkan sisi lembut dirinya bukan berarti otomatis lebih bebas dari perilaku negatif atau manipulatif dalam hubungan. Dengan kata lain, meskipun softboy bisa menawarkan alternatif terhadap model maskulinitas toksik yang keras, hal itu bukanlah jaminan bahwa ia akan bersikap lebih baik atau lebih tulus dalam hubungan romantis atau sosial. Pada akhirnya, pengkotakan softboy tidak produktif, karena sifat baik atau buruknya seseorang kembali kepada individu tersebut, bukan label yang dikenakan padanya.

Referensi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Dekonstruksi Maskulinitas dalam Dunia Kerja yang Kompetitif

Perempuan, Jangan Pernah Takut Gagal

Dampak Serius Kerentanan Iklim Terhadap Perempuan Pedesaan

Leave a Comment